Salah satu kemampuan yang harus dimiliki guru, sebagai salah satu unsur pendidik, agar mampu melaksanakan tugas profesionalnya adalah memahami bagaimana peserta didik belajar dan bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peserta didik, serta memahami proses belajar yang terjadi pada diri siswa, guru perlu menguasai hakikat dan konsep dasar belajar. Dengan menguasai hakikat dan konsep tentang belajar diharapkan guru mampu menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran, karena fungsi utama pembelajaran adalah memfasilitasi tumbuh dan berkemangnya belajar dalam diri peserta didik.
Pada abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali praktik-praktik pembelajaran di sekolah-sekolah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat berbeda dengan peranan tradisional yang selama ini dipegang erat oleh sekolah-sekolah.
Ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan memberi siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang oleh siswa sebagai mahatau dan sumber informasi. Lebih celaka lagi siswa belajar dalam situasi yang membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengejar nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi (Lie,2008:11).
Dengan melihat kondisi diatas, tampaknya perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogianyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru ke menuju siswa. Siswa juga bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya.
Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan kemampuan baru. Ketika kita berfikir informasi dan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa, maka pada saat itu juga kita harus berfikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efisien. Namun sebelumnya, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pendekatan apa yang akan kita gunakan dalam proses pencapain tujuan belajar tersebut. Karena pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran.
Persepektif atau pendekatan pendidikan berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Persepektif pendidikan saat ini, perkembangannya tidak terlepas dari persepektif pendidikan sebelumnya. Bahkan seringkali persepektif yang baru merupakan kombinasi, akumulasi ataupun senergi berbagai pandangan sebelumnya. Persepektif yang lahir kemudian juga seringkali merupakan reaksi atau koreksi terhadap persepektif yang mendahuluinya.
Pendekatan konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi “tahu” dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple persepective), bukan hanya satu penafsiran saja (Winataputra,2008:6.5).
Yang menjadi pusat perhatian dalam makalah ini, hanyalah beberapa aspek penting untuk memahami teori Konstruktivisme secara umum, kemudian akan dibahas juga mengenai pendekatan konstruktivisme sosial sebagai sebuah pendekatan terhadap proses pembelajaran serta model Group Investigation pada desain pembelajaran Sejarah dan Analisis Desain Pembelajaran Sejarah yang menggunakan pendekatan kontruktivisme sosial serta model group investigation dalam pembelajaran sejarah.
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui kesesuaian antara teori konstruktivisme dan model pembelajaran group investigation pada desain pembelajaran sejarah. Diharapkan dari pembahasan makalah ini akan memberikan sumbangsih dan wawasan kepada mahasiswa Teknologi Pendidikan yang mengikuti mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran.
Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi “tahu” dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple persepective), bukan hanya satu penafsiran saja. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain (Winataputra,2008:6.5).
Dengan demikian, peranan kontribusi siswa terhadap makna, pengalaman dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran berbagai ahli pendidikan, seperti Vogtsky, Piaget dan Jhon Dewey, terjalin menjadi persepektif konstruktivisme yang mempunyai beragam perwujudan dalam proses pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada ‘satu-satunya’pemahaman teori konstruktivisme, yang ada adalah sebagai pendekatan konstruktivis yang diterapkan dalam berbagai bidang ilmu, yang mempunyai penekanan berbeda.
Sebagai contoh, pemikir konstruktivisme Vygotsky menekankan pentingnya peran konstruksi pengetahuan sebagai proses sosial dan kebersamaan, sedangkan Piaget beranggapan bahwa faktor individual lebih penting daripada faktor sosial (Hoy & Cecil dalam Winataputra,2008:6.5).
Dengan demikian, berbagai anggapan ini tentunya akan mempengaruhi bagaimana caranya membelajarkan siswa.
Pendekatan konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berfikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan siswa “mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif da keyakinan yang dimilik (Jonassen dalam Winataputra,2008:6.6).
Dengan demikian pemahaman atau pengetahuan dapat dikatakan subjektif oleh karena sesuai dengan proses yang digunakan seseorang untuk mengkonstruksi pemahaman tersebut.
Pendekatan konstruktivisme seringkali diperbandingkan dengan persepektif tradisional objectivis, yang beranggapan bahwa pengetahuan merupakan suatu objek diluar manusia, yang mempunyai sifat objektif dengan struktur tertentu yang jelas. Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, pembelajaran ini dilakukan lebih bersifat sebagai “transfer of knowledge” dari guru kepada siswa. Dalam hal ini siswa ini siswa lebih banyak menerima apa saja yang disampaikan guru. Sedangkan menurut persepektif konstruktivisme, pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses “konstruksi” pengetahuan oleh siswa. Pendekatan kostruktivisme mengharuskan siswa bersikap aktif. Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini.
Dengan demikian, pelajaran disusun berorientasi lebih kepada kebutuhan dan kondisi siswa dengan memicu rasa ingin tahu dan keterampilan memecahkan masalah melalui inquiry learning, reflective learning, dan problem based leraning.
Meskipun konsep konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam, namun ada ciri-ciri tertentu yang dipenuhi, yaitu bahwa “belajar merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan” (Cunningham & Duffy dalam winataputra,2008:6.7). Sehingga penekanannya bukan pada bagaimana “menstransfer” ilmu sebagaimana menyuapi siswa dengan makanan jadi, tetapi pada cara “mentransform” struktur berpikir dan pengetahuan, di mana siswa mengolah pemahamannya dari yang disiapkan guru.
Konstruktivisme Individual dan Konstruktivisme Sosial
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pemahaman orang tentang konstruktivisme beragam, karena konstruktivisme memang mempunyai beberapa perwujudan tergantung dari sisi mana dilihatnya. Untuk dapat memahami persepektif kontruktivisme dengan utuh kita perlu membahas dua sisi bentuk konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual (individual constructivism) dan konstruktivisme sosial (social constructivism) (Winataputra,2008:6.7).
Dalam bagian sebelumnya dijelaskan bahwa menurut persepektif kontruktivis suatu pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dengan menggunakan pengalaman dan struktur kognitif yang sudah dimiliki. Tetapi hal ini tidaklah berarti tidak dimungkinkannya pemahaman bersama atau pemahaman yang sama terhadap suatu realitas. Sekelompok orang dapat mempunyai pemahaman yang sama terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu melalui interaksi sosial dan kolaborasi bersama dalam membangun makna.
Penjelasan diatas juga selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky dalam menjelaskan tentang belajar:
1.Konstruktivisme Menurut Piaget
Piaget (1990) menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti; tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif dan emosinya.
2.Konstruktivisme Menurut Vygotsky
Vygotsky berpendapat bahwa pengetahuan dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa peserta yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Dengan demikian proses yang terjadi akan beragam sesuai dengan konteks kulturalnya.
Pendekatan konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan pendekatan asing bagi persepektif pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantoro, seorang tokoh pendidikan nasional, sudah lama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang diungkapkan melalui tiga prinsip utama peran pendidik, yaitu; ‘ing ngarso sung tulodo’ (bila berada di depan anak didik, beri contoh tauladan), ‘ing madyo mbangun karso’(bila berada di tengah-tengah siswa, bangunkan keinginan anak untuk belajar), dan tut wuri handayani (bila dibelakang anak didik, beri dorongan semangat) (Winataputra,2008:6.6).
Dalam wawasan ini sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempaykan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat-saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
Pendekatan Konstruktivis Sosial Untuk Pengajaran
Secara umum, pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontribusi secara bersama (mutual) (Bearison & Dorval dalam Santrock, 2008). Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahamaan mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama (Guavin dalam Santrock,2008). Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid (Johnson & Johnson dalam Santrock,2008).
Teori konstruktivis Vygotsky sangat relevan, model Vygotsky menyatakan bahwa anak berada dalam konteks sosiohistoris. Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial dan aktivitas sosiokultural (Rogoff dalam Santrock,2008).
Dalam pendekatan konstruktivis Piaget, murid mengkonstruksi pengetahuan dan informasi sebelumnya. Vygotsky, menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan (Santrock,208:390).
Dalam suatu studi landasan teori Vygotsky, sepasang anak dari dua sekolah umum AS bekerja sama. Satu anggota dari pasangan itu selalu berasal dari sekolah tradisional yang jarang memberi kesempatan bagi murid untuk bekerja sama saat mereka belajar. Anggota lain dari pasangan itu selalu berasal dari sekolah yang menekankan kolaborasi di sepanjang jam pelajaran sekolah. Anak berlatar belakang sekolah yang kolaboratif lebih sering membangun pemahaman berdasarkan ide rekannya secara kolaboratif ketimbang anak dari sekolah tradisional. Anak dari sekolah tradisional biasanya menggunkan bentuk pedoman “soal” berdasarkan pada pertanyaan yang sudah dia ketahui jawabannya dan sengaja menyembunyikan informasi untuk menguji pemahaman rekannya. Periset juga menemukan bahwa pembelajaran kolaboratif sering kali bekerja baik dalam kelas yang punya tujuan pembelajaran yang dispesifikasikan dengan baik (Gabrielle & Montecinos dalam Santrock,2008:391).
Dalam salah satu analisis terhadap pendekatan konstruktivis sosial, guru dikatakan tertarik untuk melihat pembelajaran melalui tatapan mata murid. Analisis yang sama juga mencatat beberapa karakteristik kelas konstruktivis sosial berikut ini (Oldfather & dkk, dalam Santrock,2008:391):
Orientasi tujuan penting dari kelas ini adalah konstruksi makna kolaboratif.
Guru memantau persepektif, pemikiran dan perasaan murid.
Guru dan murid saling belajar dan mengajar.
Interaksi sosial mendominasi kelas.
Kurikulum dan isi fisik dari kelas mencerminkan minat murid dan dipengaruhi oleh
kultur meraka.
Startegi Pengajaran
Prinsip konstruktivisme adalah inti dari filsafat pendidikan William James dan John Dewey. Konstruktivisme, menekankan agar individu secara aktif menyusun dan membangun (to construct) pengetahuan dan pemahaman. Menurut pandangan konstruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak, akan tetapi guru harus mendorong anak untuk mengekplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis (Brooks & Brooks, dalam Santrock,2008:8).
Dewasa, ini konstruktivisme juga menekankan pada kolaborasi-anak-anak saling bekerjasama untuk mengetahui dan memahami pelajaran (Gauvain dalam Santrock,2008:8). Seorang guru yang menganut filosofi konstruktivis tidak akan meminta anak-anak sekedar menghafal informasi, tetapi juga memberi mereka peluang untuk membangun pengetahuan dan pemahaman materi pelajaran.
Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan konstruktivis ini. Beberapa pendidik lama masih percaya bahwa guru harus mengarahkan dan mengontrol cara belajar anak. Mereka juga percaya bahwa konstruktivis seringkali tidak fokus pada tugas akademik dasar atau kurang memperhatikan prestasi anak.
Guru dan Teman Sebaya Sebagai Kontributor Bersama Untuk Pembelajaran Murid
Guru dan teman sebaya atau sekelas dapat memberi kontribusi bersama untuk pembelajaran murid. Ada empat alat untuk melakukan metode ini, yakni scaffolding, pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship), tutoring dan pembelajaraan kooperatif (Bartlett dalam Santrock,2008:392).
Scaffolding
Scaffolding, sebagai teknik mengubah level dukungan di sepanjang jalannya sesi pengajaran; orang yang lebih ahli (guru atau teman sesama murid yang lebih pandai) menyesuaikan jumlah bimbingannya dengan kinerja murid. Setelah kompetensi murid meningkat, bimbingan dikurangi (Santrock,2008:392).
Bayangkan scaffolding seperti tiang penopang saat membangun jembatan. Penopang itu membantu saat dibutuhkan, namun ia disesuaikan dan secara bertahap diambil saat jembatan sudah hampir selesai. Para peneliti menemukan bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman sebaya dalam pembelajaran kolaboratif, murid akan terbantu dalam proses belajarnya (Yarrow & Topping dalam Santrock,2008:392).
Pelatihan Kognitif
Alat penting dari pendidikan adalah pelatihan kognitif (cognitve apprenticeship). Aspek kunci dari pelatihan kognitif adalah evaluasi ahli atas kapan seorang pemelajar sudah siap diajak ke langkah selanjutnya (Rogoff,1998).
Tutoring
Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan pemula. Tutoring bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak, atau antara anak yang lebih pandai dengan anak yang kurang pandai. Tutoring individual adalah startegi yang efektif yang menguntungkan banyak murid, terutama mereka yang kurang pandai dalam suatu mata pelajaran.
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif terjadi ketika murid bekerja samam dalam kelompok kecil (kelompok belajar) untuk saling membantu dalam belajar. Kelompok belajar bersama ini bervariasi dalam ukurannya, meskipun biasanya terdiri dari empat orang. Dalam beberapa kasus, kelompok belajar ini dilakukan secara berpasangan (dua murid). Ketika murid ditugaskan belajar dalam kelompok, biasanya kelompok itu akan tetap bertahan selama seminggu atau sebulan, tetapi kelompok belajar bersama biasanya tidak banyak memakan waktu murid dalam satu hari pelajaran atau satu tahun ajaran (Sherman dalam Santrock,2008:397).
Model Pembelajaran Group Investigation
Model pembelajaran yang akan dipakai dalam pembelajaran sejarah dengan Kompetendi Dasar: Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan adalah model Group Investigation. Namun sebelum dijabarkan apa itu model group investigation akan ditinjau terlebih dahulu mengenai teori awal munculnya Group Investigation itu sendiri.
Model Group Investigation (investigasi kelompok) ini dikembangkan oleh John Dewey dan Herbert A. Thelen, yang menggabungkan pandangan-pandangan proses sosial yang demokratik dengan penggunaan strategi-strategi intelektual atau ilmiah untuk membantu manusia menciptakan pengetahuan bukuny “Democracy an Education” merekomendasikan bahwa keseluruhan sekolah merupakan miniatur demokrasi dalam mana siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial dan diharapkan melalui partisipasi itu secara bertahap, belajar bagaimana menerapkan metode ilmiah untuk kesempurnaan masyarakat manusia (Wahab,2008:60).
Berdasarkan prinsip-prinsip itu Herbert A. Thelen menarik prinsip-prinsip dasar John Dewey dan mengembangkan model mengajar “Group Investigation atau investigasi kelompok”. Melalui model yang dikembangkannya itu, ia mencoba menggabungkan antara strategi mengajar bentuk dan dinamika proses demokrasi dengan proses inkuiri akademik. Hal yang ditetapkannya dalam model yang dikembangkan itu belajar yang didasarkan pada pengalaman (experienced-based learning situation) yang diharapkan dapat mengarah pada metode-metode ilmiah dan memiliki kemungkinan pengembangan dan penerapan dalam situasi kehidupan.
Model tersebut didasari pandangannya tentang citra sosial manusia. Manusia anpa merujuk manusia lainnya. Dalam hubungannya dengan sekolah maka kelas menurut Herbert merupakan bentuk kecil masyarakat, yang memiliki keteraturan dan budaya di mana para siswa memperhatikan dan memeliharanya dalam mengembangkan pandangan hidupnya yaitu ukuran dan harapan. Siswa mempelajari cara-cara ilmiah melalui berbagai pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah. Di sinilah kiranya peranan model penelitian kelompok dalam pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), tidak terkecuali untuk mata pelajaran Sejarah.
Bagaimana penerapan model mengajar ini dalam mengajar, bahwa model ini berjalan dalam fase yang berbeda. Penerapan dimulai dengan menghadapakan siswa kepada masalah, yang muncul dari sumber-sumber yang berbeda. Masalah itu bisa dalam bentuk verbal ataupun merupakan bagian dari suatu pengalaman. Hal itu dapat disediakan oleh guru ataupun muncul dari kelas. Jika siswa bereaksi terhadap masalah tersebut maka guru menarik perhatian mereka terhadap reaksi yang berbeda. Jika siswa telah menunjukan minat terhadap reaksi-reaksi yang berbeda itu maka guru mendorong siswa untuk merumuskan masalah untuk diri mereka. Setelah merumuskan siswa mengkajinya dengan memperhatikan peranan dan mengorganisasi dirinya. Kemudian bertindak dan melaporkan hasilnya inilah yang mungkin merupakan cikal-bakalnya pendekatan proses yang lazim digunakan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan merupakan salah satu ciri kurikulum tahun 1975.
Adapun sintaks dalam proses pembelajaran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.Student encountrn puzzling stuation.
2.Student explore relations to the situation.
3.Student formulate study talk and organize for study (problem definition role,
assigments,etc).
4.Independent and growth study.
5.Student analyze programs and producs.
6.Recycle activity.
Akhirnya kelompok menilai keputusan-keputusan dalam kaitannya dengan tujuan kelompok semula. Beberapa hal yang dapat ditarik dari model ini adalah;
1.Sistem sosial. Model tersebut adalah demokratik. Masalah dimunculkan oleh guru
atau ditentukan oleh guru sebagai objek pengajaran. Guru dan siswa mempunyai
status yang sama.
2.Prinsip-prinsip reaksinya adalah guru bertindak sebagai konselor tanpa mengganggu
struktur yang ada.
3.Sistem yang menunjang. Dukungan yang diberikan guru bersifat ekstensif dan
responsif terhadap kebutuhan siswa. Perpustakaan yang baik merupakan keperluan
esensial bagi model tersebut. Disamping itu hubungan dan kontak-kontak dengan
lembaga-lembaga diluar sekolah dan juga pribadi-pribadi diperlukan oleh siswa
untuk memecahkan masalah yang menjadi fokus pelajaran.
4.Model yang dapat digunakan untuk semua bidang pelajaran dan juga dapat digunakan
sebagai aspek di dalam merumuskan dan memecahkan masalah. Dengan melihat bahwa ada
berbagai keuntungan dari model ini maka juga dapat diterapkan dalam pengajaran IPS
yang sering menggunakan metode pemecahan masalah (Wahab,2008:61).
Dengan demikian, group investigation dapat juga diterapkan pada proses pembelajaran sejarah, karena metode ini berorientasi terhadap pemecahan masalah. Jadi siswa dapat berdiskusi dalam mencari makna terhadap proses pembelajaran sejarah dan model ini sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Vygotsky, bahwa belajar menekankan pada murid agar dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Analisis Desain Pembelajaran Sejarah Yang Menggunakan Pendekatan Kontruktivisme Sosial Dengan Model Group Investigation
Dalam kaitannya dengan mengajar sejarah maka guru dapat mengembangkan model mengajarnya yang dimaksudkan sebagai upaya mempengaruhi perubahan yang baik dalam perilaku siswa. Pengembangan model tersebut adalah dimaksudkan untuk membantu guru meningkatkan kemampuannya untuk lebih mengenal siswa dan menciptakan lingkungan yang lebih bervariasi bagi kepentingan belajar siswa.
Desain pembelajaran pada makalah ini merujuk pada Standar Kompetensi (SK): Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang, dengan Kompetensi Dasar (KD) yaitu; Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan. Adapun Indikator yang akan di pelajari adalah kemampuan siswa dalam menganalisis bentuk-bentuk organisasi pada masa pergerakan kebangsaan di Indonesia.
Sesuai dengan apa yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, bahwa desain yang digunakan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan kompetensi dasar diatas adalah merujuk pada pendektan yang dilakukan Vygotsky, melalui pendekatan konstruktivisme sosial dalam proses pengajaran. Penulis merujuk pada pendekatan ini dengan alasan bahwa dalam proses pembelajaran sejarah yang sifatnya adalah melakukan pemecahan terhadap suatu masalah akan mampu menciptakan suasana belajar yang di rasa sangat kondusif apabila menggunkan pendekatan kontruktivisme sosial karena pada dasarnya pembelajaran sejarah akan lebih bermakna apabila dilakukan dengan proses belajar kolaboratif, jadi siswa yang belum jelas akan suatu permasalahan maka ia akan bertanya dengan teman satu kelompoknya yang dirasa sudah memahami suatu konsep, dan demikian juga gurunya yang selalu siap menjadi fasilisator bagi siswa yang mengalami permasalahan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan kompetensi dasar tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendekatan konstruktivis yang di utarakan oleh Vygotsky, bahwasanya siswa akan mudah memahami suatu konsep apabila dalam proses belajar menekankan pada murid agar dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Dengan demikian, siswa dapat dikatakan sudah melakukan proses belajar bermakna, karena tidak saja terkait dengan ketercapaian materi belajar, namun siswa juga belajar hidup sosial ketika melakukan diskusi kelompok.
Untuk menghasilkan tujuan yang diharapkan, jika pada bagian sebelumnya telah di jelaskan pendekatan apa yang di gunakan dalam desain pembelajaran sejarah terkait dengan kompetensi dasar Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan. Maka berikutnya akan dibahas mengenai model apa yang akan digunakan dalam desain pembelajaran tersebut.
Adapun model yang akan digunaka dalam desain pembelajaran tersebut adalah Group Investigation yang merujuk pada teori awal dari John Dewey Herbert A. Thelen, yang yang menggabungkan pandangan-pandangan proses sosial yang demokratik dengan penggunaan strategi-strategi intelektual atau ilmiah untuk membantu manusia menciptakan pengetahuan.
Dengan melihat pandangan diatas sekiranya model tersebut cocok untuk diterapkan pada proses pembelajaran sejarah karena tujuan dari proses pembelajaran sejarah adalah mendidik dan membekali siswa dengan seperangkat pengetahuan, sikap, nilai, moral dan keterampilan untuk memahami lingkungan sosial masyarakat dapat dicapai. Dengan menggunakan group investigation dapat menjadikan pembelajara sejarah lebih menarik, penuh tantangan dan bergairah dalam mempelajarinya, sehingga timbul harapan adanya pengembangan potensi siswa secara optimal untuk belajar mandiri serta belajar bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Kesimpulan
Teori konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi “tahu” dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple persepective), bukan hanya satu penafsiran saja. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain (Winataputra,2008:6.5).
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran berbagai ahli pendidikan, seperti Vogtsky, Piaget dan Jhon Dewey, terjalin menjadi persepektif konstruktivisme yang mempunyai beragam perwujudan dalam proses pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada ‘satu-satunya’pemahaman teori konstruktivisme, yang ada adalah sebagai pendekatan konstruktivis yang diterapkan dalam berbagai bidang ilmu, yang mempunyai penekanan berbeda. Sebagai contoh, pemikir konstruktivisme Vygotsky menekankan pentingnya peran konstruksi pengetahuan sebagai proses sosial dan kebersamaan, sedangkan Piaget beranggapan bahwa faktor individual lebih penting daripada faktor sosial.
Model Group Investigation (investigasi kelompok) ini dikembangkan oleh John Dewey dan Herbert A. Thelen, yang menggabungkan pandangan-pandangan proses sosial yang demokratik dengan penggunaan strategi-strategi intelektual atau ilmiah untuk membantu manusia menciptakan pengetahuan bukuny “Democracy an Educatio” merekomendasikan bahwa keseluruhan sekolah merupakan miniatur demokrasi dalam mana siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial dan diharapkan melalui partisipasi itu secara bertahap, belajar bagaimana menerapkan metode ilmiah untuk kesempurnaan masyarakat manusia (Wahab,2008:60).
Dengan menggunakan group investigation dapat menjadikan pembelajara sejarah lebih menarik, penuh tantangan dan bergairah dalam mempelajarinya, sehingga timbul harapan adanya pengembangan potensi siswa secara optimal untuk belajar mandiri serta belajar bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Daftar Pustaka
Depdiknas.2006. Silabus Mata Pelajaran Sejarah.
Hergenhahn dan Matthew H. Olson. 2008. Theories Of Learning. Kencana Prenada Media: Jakarta
Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning, Memperaktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Grasindo: Jakarta.
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Solihatin, Etin dan Raharjo. Cooperative Learning. Analisis Model Pembelajaran IPS. Bumi Aksara: Jakarta.
Wahab, Abdul Azis. 2008. Metode dan Model-Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Alfabeta: Bandung.
Winataputra, Udin S. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Universitas Terbuka: Jakarta.
Blog ini memuat berbagai makalah, bahan presentasi, bahan ajar sejarah SMA,dan hal-hal lain yang berkenaan dengan Teknologi Pendidikan secara umum didapatkan dari berbagai sumber dan telah saya pelajari.
Minggu, 07 Juni 2009
Selasa, 02 Juni 2009
ANALISIS KESESUAIAN SILABUS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) TERHADAP USIA PEBELAJAR TINGKAT SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)
Pendahuluan
Perkembangan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini sangat pesat dan berpengaruh sangat signifikan terhadap pribadi maupun komunitas, segala aktivitas kehidupan, cara kerja, metoda belajar, gaya hidup maupun cara berpikir. Oleh karena itu, pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi harus diperkenalkan kepada siswa, agar mereka mempunyai bekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk bisa menerapkan dan menggunakannya dalam kegiatan belajar, bekerja serta berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Manusia secara berkelanjutan membutuhkan pemahaman dan pengalaman agar bisa memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi secara optimal dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman dan menyadari implikasinya bagi pribadi maupun masyarakat. Siswa yang telah mengikuti dan memahami serta mempraktekkan Teknologi Informasi dan Komunikasi akan memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk memahami berbagai jenis Teknologi Informasi dan Komunikasi dan menggunakannya secara efektif. Selain itu siswa memahami dampak negatif, dan keterbatasan Teknologi Informasi dan Komunikasi, serta mampu memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mendukung proses pembelajaran dalam kehidupan.
Visi mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu agar siswa dapat menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal untuk mendapatkan dan memproses informasi dalam kegiatan belajar, bekerja, dan aktifitas lainnya sehingga siswa mampu berkreasi, mengembangkan sikap inisiatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan yang baru.
Pada hakekatnya, kurikulum Teknologi Informasi dan Komunikasi menyiapkan siswa agar dapat terlibat pada perubahan yang pesat dalam dunia kerja maupun kegiatan lainnya yang mengalami penambahan dan perubahan dalam variasi penggunaan teknologi. Siswa menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mencari, mengeksplorasi, menganalisis, dan saling tukar informasi secara kreatif namun bertanggungjawab. Siswa belajar bagaimana menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi agar dengan cepat mendapatkan ide dan pengalaman dari berbagai kalangan masyarakat, komunitas, dan budaya. Penambahan kemampuan karena penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi akan mengembangkan sikap inisiatif dan kemampuan belajar mandiri, sehingga siswa dapat memutuskan dan Pendahuluan mempertimbangkan sendiri kapan dan di mana penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal, termasuk apa implikasinya saat ini dan di masa yang akan datang.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai KTSP pada mata pelajaran TIK untuk tingkat SMP. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.Menganalisis penerapan KTSP pada mata pelajaran TIK untuk tingkat SMP.
2.Menganalisis kesesuaian isi atau content kompetensi TIK terhadap KTSP.
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui kesesuaian isi atau content kompetensi TIK terhadap KTSP, dan bagaimana pencapaiannya. Diharapkan dari pembahasan makalah ini akan memberikan sumbangsih dan wawasan kepada mahasiswa Teknologi Pendidikan mengenai mata pelajaran TIK untuk tingkat SMP.
Analisis Silabus KTSP Pada Mata Pelajaran TIK SMP
Mata pelajaran TIK di SMP pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memiliki tujuan pembelajaran yang tertuang dalam SK dan dijabarkan ke dalam KD. Kemudian KD tersebut akan dikembangkan oleh setiap masing-masing sekolah yang dikembangkan melalui indikator pencapaian kompetensi dasar. Penjabaran tersebut direalisaikan kedalam skenario pembelajaran (RPP) oleh setiap guru dengan menganalisis kebutuhan setiap indikator dari mata pelajaran tersebut.
Dari uraian tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa TIK di SMP telah menjadi mata pelajaran wajib yang harus dikuasai oleh siswa sebagai bagian dari kompetensi yang harus dimiliki siswa setelah menyelesaikan studinya selama di SMP. Analisis ini akan dibuat perkelas dengan tingkat semester, pada setiap satuan pendidikan sesuai SK dan KD.
1. Kelas 7 Semester 1
2. Kelas 7 Semester 2
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342671588525780770" />
3. Kelas 8 Semester 1
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342671588625393922" />
4. Kelas 8 semester 2
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342671581873215714" />

4. Kelas 9 semester 1
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342671581274183250" />
Tahap-Tahap Perkembangan Usia Pebelajar
Untuk setiap tingkat jenjang pendidikan formal yang dimulai dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai pada tingkat perguruan tinggi (PT) memiliki karakteristik usia pebelajar yang berbeda-beda sesuai dengan tahap usia perkembangan pebelajar. Usia perkembangan tersebut sangat mempengaruhi dalam proses pembelajaran yang terkait dengan pencapaian tujuan, yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Tahapan perkembangan usia pebelajar yang digambarkan Piaget (Pratiwi, 2008) dalam urutan dari 4 tahap kualitatif tertentu, yaitu : Tahap Sensorimotor (0-18 bulan), Tahap Praoperasional (18 bln sampai 7 tahun), Tahap Operasional Konkret (7-12 tahun) dan Tahap Operasional Formal (12 tahun dan seterusnya). Urutan ini tidak berubah–ubah, sehingga tiap-tiap anak normal akan melalui tahap-tahap ini dalam urutan yang sama.
1.Tahap Sensorimotor
Pertumbuhan kognitif didasarkan pada tindakan panca indera dan motorik. Dimulai dengan tindakan yang terutama berbentuk reaksi refleks. Dalam tahap terakhir dari periode sensori motor, anak membentuk gambaran mental, dapat meniru tindakan orang lain yang telah lalu dan merancang arti baru dari pemecahan persoalan dengan menggabungkan skema yang didapat sebelumnya dengan pengetahuan secara mental. Dalam periode singkat dari 18 bulan atau 2 tahun “anak itu telah mengubah dirinya dari organisme yang sama sekali tergantung pada sifat refeleks bawaan lainnya menjadi orang yang mampu berpikir secara simbolik”
2.Tahap Praoperasional
Manipulasi symbol. Hal ini dinyatakan dalam meniru yang tertunda (menghasilkan suatu tindakan yang telah dilihat di masa lalu) dan dalam imajinasi anak-anak atau pura-pura bermain. Anak-anak sudah mampu menggunakan tanggapan simbolik. Namun pada tahap ini, anak-anak masih memiliki keterbatasan berpikir dalam beberapa hal penting. Menurut Piaget karakteristiknya adalah egosentris; anak praoperasional mempunyai kesulitan untuk membyangkan bagaimana benda-benda itu terlihat dari perspektif orang lain
3.Tahap Operasional Konkret
Penentuan pencapaian tahap operasi konkret ini ialah kemampuan untuk melakukan operasi mental yang fleksibel dan dapat diputar balikkan sepenuhnya. Anak-anak pada tahap ini mengerti peraturan dasar logis tertentu (disebut grouping oleh piaget) dan karenanya mampu berpikir logis dan kuantitatif dengan cara yang tidak kelihatan dalam tahap praoperasional. Anak-anak pada tahap ini mampu berperilaku obektif dalam mengkai kejadian. Mereka uga mampu untuk desenter, yaitu memusatkan perhatiannya pada beberapa atribut sebuah benda atau kejadian secara bersamaan dan mengerti hubungan antar dimensi.
4.Tahap Operasi Formal
Salah satu ciri jelas dalam tahap perkembangan ini ialah kemampuan untuk berpikir tentang masalah-masalah hipotetis—apa yang terjadi—maupun yang nyata dan berpikir kemungkinan-kemungkinan seperti juga yang actual. Anak sudah dapat memanipulasi gagasan tentang situasi hipotesis. Tanda lain dari pemecahan masalah dalam tahap operasi formal yaitu mencari pemecahan secara sistematis, bila berhadapan dengan sebuah masalah orang dewasa, untuk menimbang semua kemungkinan untuk memecahkan masalah dan dengan hati-hati mempelajari logika dan keefektifan masing-masing.
Dalam pemikiran operasi formal, operasi mental diorganisasi dalam urutan operasi yang lebih tinggi (Higher-order operations). Higher-order operations ialah cara mengunakan aturan abstrak untuk memecahkan sejumlah masalah.
Taksonomi Bloom
Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1.Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2.Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3.Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan
mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu: cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
a.Domain Kognitif
Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6)
1.Pengetahuan (Knowledge)
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk, dsb.
2.Pemahaman (Comprehension)
Dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dsb. Sebagai contoh, orang di level ini bisa memahami apa yg diuraikan dalam fish bone diagram, pareto chart, dsb.
3.Aplikasi (Application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram atau pareto chart.
4.Analisis (Analysis)
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan.
5.Sintesis (Synthesis)
Satu tingkat di atas analisa, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.
6.Evaluasi (Evaluation)
Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb
b.Domain Afektif
Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol.
1.Penerimaan (Receiving/Attending)
Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian, mempertahankannya, dan mengarahkannya.
2.Tanggapan (Responding)
Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
3.Penghargaan (Valuing)
Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku.
4.Pengorganisasian (Organization)
Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
5.Karakterisasi Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex)
Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya.
c.Domain Psikomotor
Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom.
1.Persepsi (Perception)
Penggunaan alat indera untuk menjadi pegangan dalam membantu gerakan.
2.Kesiapan (Set)
Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan.
3.Guided Response (Respon Terpimpin)
Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya
imitasi dan gerakan coba-coba.
4.Mekanisme (Mechanism)
Membiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan
meyakinkan dan cakap.
5.Respon Tampak yang Kompleks (Complex Overt Response)
Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang
kompleks.
6.Penyesuaian (Adaptation)
Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai
situasi.
7.Penciptaan (Origination)
Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan
tertentu.
Analisis Kesesuain Materi dengan Keadaan Siswa, Guru, dan Sekolah
Pada semester satu di kelas 7 siswa diharapkan mengenal perangkat keras dan perangkat lunak dari komputer itu sendiri, disini terjadi sebuah ketidak seimbangan mengingat siswa di SMP memiliki latar belakang yang berbeda (artinya dari berbagai SD yang berlainan). Kita ketahui bahwa di SD mata pelajaran TIK merupakan mata pelajaran muatan lokal, yang artinya mata pelajaran TIK di SD dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan SD tersebut. Melihat keadaan ini tidak semua siswa SMP memiliki latar belakang pengetahuan dasar TIK sebelumnya, sehingga akan mempersulit proses pembelajaran TIK di SMP yang diberikan oleh guru mata pelajaran TIK pada tingkat SMP.
Ketika menemukan siswa yang telah menguasai TIK sejak SD, sebagai contoh kecil SD Paramount yang mengadopsi dan mengadaptasi kurikulum TIK dari International School Tiara Bangsa, dimana siswa kelas 4 SD-nya telah mampu mengoperasi face book, dan berkomunikasi proses pembelajarannya dengan cara on-line, dengan keadaan ini akan mempermudah dalam proses pembelajaran TIK. Sekarang kalau input siswanya dari sekolah yang justru belum mengenal tentang TIK, maka siswa dikelas tersebut mengalami perbedaan latar belakang yang harus dapat diakomodir oleh seorang guru TIK.
Agar siswa yang telah bisa tidak merasa jenuh sedangkan siswa yang belum menguasai dapat dengan cepat menguasai konsep dasar tersebut, untuk menjadi latar belakang (mata pelajaran prasyarat) pembelajaran selanjutnya.
Selain dari karakteristik siswa yang berbeda, mata pelajaran TIK ini dapat dianalisis dari gurunya, melihat keadaan realita dilapangan bahwa hampir di setiap sekolah yang memiliki mata pelajaran TIK, guru TIK-nya adalah guru yang dipersiapkan dari paket pembelian perangkat komputer (agen penjualan komputer) secara berjangka, kalaupun tidak guru komputer hampir dari rata-rata bukan dari keguruan melainkan dari sarjana komputer, untuk keilmuan komputer para guru ini tidak diragukan lagi, akan tetapi apakah secara psikologi kejiwaan guru tersebut dapat menguasai karakteristik siswa yang berbeda tersebut.
Untuk jumlah guru TIK disetiap sekolah memiliki jumlah jam yang sangat banyak, terkadang disatu sekolah yang memiliki jumlah kelas rata-rata 21 kelas, dengan setiap kelas mendapatkan waktu 2 jam pelajaran dalam satu minggu, sekolah tersebut menggunakan jasa guru TIK sebanyak 1 orang, dan guru tersebutpun dalam kapasitas honorer. Artinya betapa sulit penerapan secara aplikasi realnya, sebagai contoh di SMP Negeri 19 Palembang guru TIKnya adalah guru mata pelajaran matematika. Inipun jika guru mata pelajaran lain tersebut menguasai TIK terutama dalam aplikasi pembelajaran.
Pada tahapan ini mata pelajaran TIK bertujuan agar siswa mampu mengaktifkan operasi dasar peralatan komputer. Melihat kenyataan ini, materi ini harus dipelajari secara langsung, namun tidak semua sekolah memiliki jumlah komputer sesuai dengan jumlah siswa yang dimiliki setiap kelasnya. Jika setiap kelas memiliki jumlah siswa rata-rata 40 siswa, terkadang jumlah komputer dalam satu sekolah hanya 15 sampai dengan 20 komputer, sehingga pada proses pembelajarannya siswa secara bergantian menggunakan komputer tersebut. Namun ada juga sekolah yang telah memiliki hotspot sendiri seperti SMP N 1 Palembang dan SMP N 19 Palembang, sehingga materi pengoperasian ini telah teraplikasi dalam materi yang lebih luas dari sekadar pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar pada semester ini.
Melihat kenyataan ini kurikulum yang termaktub dalam KTSP untuk tingkat SMP pun dapat berkembang ataupun berkurang sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing, pertanyaan yang muncul mungkinkah lulusan SMP ini memiliki kompetensi yang sesuai dengan acuan KTSP.
Pada kelas 9 semester 1 dan 2 siswa diharapkan memiliki kemampuan untuk menggunakan internet. Kompetensi dasar ini sesuai dengan kurikulum KTSP yang dapat dipelajari siswa ketika semua kompetensi dasar sebelumnya telah dimiliki siswa, lantas bagaimana ketika pada semester ini siswa belum memiliki kompetensi dasar sebelumnya, atau bahkan jika siswa telah menguasai materi ini lebih dahulu, sebelum masuk ke proses pembelajaran.
Kesesuaian KTSP dengan proses pembelajaran apakah harus dipertahankan, sehingga membuat siswa menunggu, atau justru kreativitas gurulah yang membuat kurikulum ini terus berkembang. Selain itu dengan adanya mata pelajaran TIK di sekolah, guru TIK diharapkan dapat menjadi fasilitator untuk guru mata pelajaran lainnya untuk mampu menerapkan TIK dalam proses pembelajarannya. Lantas mampukah guru membagikan ilmunya kepada siswa dan kepada guru.
Analisis Kesesuaian Silabus TIK terhadap Usia Pebelajar dan Taksonomi Bloom
Silabus TIK dalam kurikulum KTSP telah disesuaikan dengan usia pebelajar, karena siswa SMP rata-rata 12-15 tahun, dimana menurut teori perkembangan Peaget usia SMP adalah usia 12 tahun keatas masuk kepada perkembangan tahap operasi formal yang bercirikan untuk berpikir tentang masalah-masalah hipotetis—apa yang terjadi—maupun yang nyata dan berpikir kemungkinan-kemungkinan seperti juga yang actual. Anak sudah dapat memanipulasi gagasan tentang situasi hipotesis. Tanda lain dari pemecahan masalah dalam tahap operasi formal yaitu mencari pemecahan secara sistematis, bila berhadapan dengan sebuah masalah orang dewasa, untuk menimbang semua kemungkinan untuk memecahkan masalah dan dengan hati-hati mempelajari logika dan keefektifan masing-masing. Dalam pemikiran operasi formal, operasi mental diorganisasi dalam urutan operasi yang lebih tinggi (Higher-order operations). Higher-order operations ialah cara mengunakan aturan abstrak untuk memecahkan sejumlah masalah.
Merujuk kepada SK dan KD, maka tahapan yang dapat dikuasai siswa adalah merupakan tahapan operasi formal. Secara psikologi perkembangan seharusnya SK dan KD tidaklah menjadi kendala untuk siswa, tinggal bagaimana strategi pembelajaran TIK tersebut dapat diterima dengan baik oleh siswa, karena sesuai tahapan operasi formal ini siswa dapat belajar sendiri dimana guru memberikan panduan pembelajaran secara terukur, teratur dan terencana. Panduan tersebut dapat dibuat dengan menggunakan taksonomi Bloom. Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6).
Untuk tingkatan pertama pengetahuan, tahapan ini sesuai dengan perkembangan pebelajar di operasi formal adalah diberikan penjelasan terkait dengan materi yang akan dipelajari, kemudian diberikan modul penunjang untuk pemahaman materi lebih baik, pada bagian dua yakni kemampuan dan keterampilan intelektual adalah dengan memberikan latihan-latihan sebagai penguat pembelajaran, sebagai bentuk penguasaan kompetensi siswa.
Daftar Pustaka
Agung Setiawan. 2004. Pengantar Sistem Komputer. Informatika. Bandung.
http:\\www.google.com.
KTSP TIK 2006
Langganan:
Postingan (Atom)