Salah satu kemampuan yang harus dimiliki guru, sebagai salah satu unsur pendidik, agar mampu melaksanakan tugas profesionalnya adalah memahami bagaimana peserta didik belajar dan bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran yang mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak peserta didik, serta memahami proses belajar yang terjadi pada diri siswa, guru perlu menguasai hakikat dan konsep dasar belajar. Dengan menguasai hakikat dan konsep tentang belajar diharapkan guru mampu menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran, karena fungsi utama pembelajaran adalah memfasilitasi tumbuh dan berkemangnya belajar dalam diri peserta didik.
Pada abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali praktik-praktik pembelajaran di sekolah-sekolah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia pendidikan dalam mempersiapkan anak didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat berbeda dengan peranan tradisional yang selama ini dipegang erat oleh sekolah-sekolah.
Ada persepsi umum yang sudah berakar dalam dunia pendidikan dan juga sudah menjadi harapan masyarakat. Persepsi umum ini menganggap bahwa sudah merupakan tugas guru untuk mengajar dan memberi siswa dengan muatan-muatan informasi dan pengetahuan. Guru perlu bersikap atau setidaknya dipandang oleh siswa sebagai mahatau dan sumber informasi. Lebih celaka lagi siswa belajar dalam situasi yang membebani dan menakutkan karena dibayangi oleh tuntutan-tuntutan mengejar nilai-nilai tes dan ujian yang tinggi (Lie,2008:11).
Dengan melihat kondisi diatas, tampaknya perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogianyalah kegiatan belajar mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru ke menuju siswa. Siswa juga bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnya.
Pembelajaran pada dasarnya adalah proses penambahan informasi dan kemampuan baru. Ketika kita berfikir informasi dan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa, maka pada saat itu juga kita harus berfikir strategi apa yang harus dilakukan agar semua itu dapat tercapai secara efektif dan efisien. Namun sebelumnya, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pendekatan apa yang akan kita gunakan dalam proses pencapain tujuan belajar tersebut. Karena pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran.
Persepektif atau pendekatan pendidikan berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Persepektif pendidikan saat ini, perkembangannya tidak terlepas dari persepektif pendidikan sebelumnya. Bahkan seringkali persepektif yang baru merupakan kombinasi, akumulasi ataupun senergi berbagai pandangan sebelumnya. Persepektif yang lahir kemudian juga seringkali merupakan reaksi atau koreksi terhadap persepektif yang mendahuluinya.
Pendekatan konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi “tahu” dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple persepective), bukan hanya satu penafsiran saja (Winataputra,2008:6.5).
Yang menjadi pusat perhatian dalam makalah ini, hanyalah beberapa aspek penting untuk memahami teori Konstruktivisme secara umum, kemudian akan dibahas juga mengenai pendekatan konstruktivisme sosial sebagai sebuah pendekatan terhadap proses pembelajaran serta model Group Investigation pada desain pembelajaran Sejarah dan Analisis Desain Pembelajaran Sejarah yang menggunakan pendekatan kontruktivisme sosial serta model group investigation dalam pembelajaran sejarah.
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui kesesuaian antara teori konstruktivisme dan model pembelajaran group investigation pada desain pembelajaran sejarah. Diharapkan dari pembahasan makalah ini akan memberikan sumbangsih dan wawasan kepada mahasiswa Teknologi Pendidikan yang mengikuti mata kuliah Teori Belajar dan Pembelajaran.
Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi “tahu” dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple persepective), bukan hanya satu penafsiran saja. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain (Winataputra,2008:6.5).
Dengan demikian, peranan kontribusi siswa terhadap makna, pengalaman dan proses belajar melalui kegiatan individual dan sosial menjadi sangat penting.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran berbagai ahli pendidikan, seperti Vogtsky, Piaget dan Jhon Dewey, terjalin menjadi persepektif konstruktivisme yang mempunyai beragam perwujudan dalam proses pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada ‘satu-satunya’pemahaman teori konstruktivisme, yang ada adalah sebagai pendekatan konstruktivis yang diterapkan dalam berbagai bidang ilmu, yang mempunyai penekanan berbeda.
Sebagai contoh, pemikir konstruktivisme Vygotsky menekankan pentingnya peran konstruksi pengetahuan sebagai proses sosial dan kebersamaan, sedangkan Piaget beranggapan bahwa faktor individual lebih penting daripada faktor sosial (Hoy & Cecil dalam Winataputra,2008:6.5).
Dengan demikian, berbagai anggapan ini tentunya akan mempengaruhi bagaimana caranya membelajarkan siswa.
Pendekatan konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berfikir seseorang. Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan siswa “mengkonstruksi” atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan pengalaman, struktur kognitif da keyakinan yang dimilik (Jonassen dalam Winataputra,2008:6.6).
Dengan demikian pemahaman atau pengetahuan dapat dikatakan subjektif oleh karena sesuai dengan proses yang digunakan seseorang untuk mengkonstruksi pemahaman tersebut.
Pendekatan konstruktivisme seringkali diperbandingkan dengan persepektif tradisional objectivis, yang beranggapan bahwa pengetahuan merupakan suatu objek diluar manusia, yang mempunyai sifat objektif dengan struktur tertentu yang jelas. Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, pembelajaran ini dilakukan lebih bersifat sebagai “transfer of knowledge” dari guru kepada siswa. Dalam hal ini siswa ini siswa lebih banyak menerima apa saja yang disampaikan guru. Sedangkan menurut persepektif konstruktivisme, pembelajaran di kelas dilihat sebagai proses “konstruksi” pengetahuan oleh siswa. Pendekatan kostruktivisme mengharuskan siswa bersikap aktif. Dalam proses ini siswa mengembangkan gagasan atau konsep baru berdasarkan analisis dan pemikiran ulang terhadap pengetahuan yang diperoleh pada masa lalu dan masa kini.
Dengan demikian, pelajaran disusun berorientasi lebih kepada kebutuhan dan kondisi siswa dengan memicu rasa ingin tahu dan keterampilan memecahkan masalah melalui inquiry learning, reflective learning, dan problem based leraning.
Meskipun konsep konstruktivisme mempunyai interpretasi perwujudan yang beragam, namun ada ciri-ciri tertentu yang dipenuhi, yaitu bahwa “belajar merupakan proses aktif untuk mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menerima pengetahuan” (Cunningham & Duffy dalam winataputra,2008:6.7). Sehingga penekanannya bukan pada bagaimana “menstransfer” ilmu sebagaimana menyuapi siswa dengan makanan jadi, tetapi pada cara “mentransform” struktur berpikir dan pengetahuan, di mana siswa mengolah pemahamannya dari yang disiapkan guru.
Konstruktivisme Individual dan Konstruktivisme Sosial
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pemahaman orang tentang konstruktivisme beragam, karena konstruktivisme memang mempunyai beberapa perwujudan tergantung dari sisi mana dilihatnya. Untuk dapat memahami persepektif kontruktivisme dengan utuh kita perlu membahas dua sisi bentuk konstruktivisme, yaitu konstruktivisme individual (individual constructivism) dan konstruktivisme sosial (social constructivism) (Winataputra,2008:6.7).
Dalam bagian sebelumnya dijelaskan bahwa menurut persepektif kontruktivis suatu pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa dengan menggunakan pengalaman dan struktur kognitif yang sudah dimiliki. Tetapi hal ini tidaklah berarti tidak dimungkinkannya pemahaman bersama atau pemahaman yang sama terhadap suatu realitas. Sekelompok orang dapat mempunyai pemahaman yang sama terhadap suatu fenomena atau realitas tertentu melalui interaksi sosial dan kolaborasi bersama dalam membangun makna.
Penjelasan diatas juga selaras dengan teori yang dikemukakan oleh Piaget dan Vygotsky dalam menjelaskan tentang belajar:
1.Konstruktivisme Menurut Piaget
Piaget (1990) menjelaskan pentingnya berbagai faktor internal seseorang seperti; tingkat kematangan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri dan keyakinan dalam proses belajar. Berbagai faktor internal tersebut mengindikasikan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif dan emosinya.
2.Konstruktivisme Menurut Vygotsky
Vygotsky berpendapat bahwa pengetahuan dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa peserta yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Dengan demikian proses yang terjadi akan beragam sesuai dengan konteks kulturalnya.
Pendekatan konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan pendekatan asing bagi persepektif pendidikan di Indonesia. Ki Hajar Dewantoro, seorang tokoh pendidikan nasional, sudah lama memperkenalkan pendekatan pendidikan yang diungkapkan melalui tiga prinsip utama peran pendidik, yaitu; ‘ing ngarso sung tulodo’ (bila berada di depan anak didik, beri contoh tauladan), ‘ing madyo mbangun karso’(bila berada di tengah-tengah siswa, bangunkan keinginan anak untuk belajar), dan tut wuri handayani (bila dibelakang anak didik, beri dorongan semangat) (Winataputra,2008:6.6).
Dalam wawasan ini sebenarnya siswalah yang mempunyai peranan penting dalam belajar, sedangkan guru secara fleksibel menempaykan diri sebagaimana diperlukan oleh siswa dalam proses memahami dunianya. Pada suatu saat guru memberi contoh atau model bagi siswanya, dan pada saat yang lain guru membangunkan rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mempelajari sesuatu yang baru. Pada saat-saat tertentu guru membiarkan anak mengeksplorasi dan bereksperimen sendiri dengan lingkungannya, guru cukup memberi semangat dan arahan saja.
Pendekatan Konstruktivis Sosial Untuk Pengajaran
Secara umum, pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikontribusi secara bersama (mutual) (Bearison & Dorval dalam Santrock, 2008). Keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahamaan mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama (Guavin dalam Santrock,2008). Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid (Johnson & Johnson dalam Santrock,2008).
Teori konstruktivis Vygotsky sangat relevan, model Vygotsky menyatakan bahwa anak berada dalam konteks sosiohistoris. Dari Piaget ke Vygotsky ada pergeseran konseptual dari individual ke kolaborasi, interaksi sosial dan aktivitas sosiokultural (Rogoff dalam Santrock,2008).
Dalam pendekatan konstruktivis Piaget, murid mengkonstruksi pengetahuan dan informasi sebelumnya. Vygotsky, menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur di mana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan (Santrock,208:390).
Dalam suatu studi landasan teori Vygotsky, sepasang anak dari dua sekolah umum AS bekerja sama. Satu anggota dari pasangan itu selalu berasal dari sekolah tradisional yang jarang memberi kesempatan bagi murid untuk bekerja sama saat mereka belajar. Anggota lain dari pasangan itu selalu berasal dari sekolah yang menekankan kolaborasi di sepanjang jam pelajaran sekolah. Anak berlatar belakang sekolah yang kolaboratif lebih sering membangun pemahaman berdasarkan ide rekannya secara kolaboratif ketimbang anak dari sekolah tradisional. Anak dari sekolah tradisional biasanya menggunkan bentuk pedoman “soal” berdasarkan pada pertanyaan yang sudah dia ketahui jawabannya dan sengaja menyembunyikan informasi untuk menguji pemahaman rekannya. Periset juga menemukan bahwa pembelajaran kolaboratif sering kali bekerja baik dalam kelas yang punya tujuan pembelajaran yang dispesifikasikan dengan baik (Gabrielle & Montecinos dalam Santrock,2008:391).
Dalam salah satu analisis terhadap pendekatan konstruktivis sosial, guru dikatakan tertarik untuk melihat pembelajaran melalui tatapan mata murid. Analisis yang sama juga mencatat beberapa karakteristik kelas konstruktivis sosial berikut ini (Oldfather & dkk, dalam Santrock,2008:391):
Orientasi tujuan penting dari kelas ini adalah konstruksi makna kolaboratif.
Guru memantau persepektif, pemikiran dan perasaan murid.
Guru dan murid saling belajar dan mengajar.
Interaksi sosial mendominasi kelas.
Kurikulum dan isi fisik dari kelas mencerminkan minat murid dan dipengaruhi oleh
kultur meraka.
Startegi Pengajaran
Prinsip konstruktivisme adalah inti dari filsafat pendidikan William James dan John Dewey. Konstruktivisme, menekankan agar individu secara aktif menyusun dan membangun (to construct) pengetahuan dan pemahaman. Menurut pandangan konstruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak, akan tetapi guru harus mendorong anak untuk mengekplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis (Brooks & Brooks, dalam Santrock,2008:8).
Dewasa, ini konstruktivisme juga menekankan pada kolaborasi-anak-anak saling bekerjasama untuk mengetahui dan memahami pelajaran (Gauvain dalam Santrock,2008:8). Seorang guru yang menganut filosofi konstruktivis tidak akan meminta anak-anak sekedar menghafal informasi, tetapi juga memberi mereka peluang untuk membangun pengetahuan dan pemahaman materi pelajaran.
Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan konstruktivis ini. Beberapa pendidik lama masih percaya bahwa guru harus mengarahkan dan mengontrol cara belajar anak. Mereka juga percaya bahwa konstruktivis seringkali tidak fokus pada tugas akademik dasar atau kurang memperhatikan prestasi anak.
Guru dan Teman Sebaya Sebagai Kontributor Bersama Untuk Pembelajaran Murid
Guru dan teman sebaya atau sekelas dapat memberi kontribusi bersama untuk pembelajaran murid. Ada empat alat untuk melakukan metode ini, yakni scaffolding, pelatihan kognitif (cognitive apprenticeship), tutoring dan pembelajaraan kooperatif (Bartlett dalam Santrock,2008:392).
Scaffolding
Scaffolding, sebagai teknik mengubah level dukungan di sepanjang jalannya sesi pengajaran; orang yang lebih ahli (guru atau teman sesama murid yang lebih pandai) menyesuaikan jumlah bimbingannya dengan kinerja murid. Setelah kompetensi murid meningkat, bimbingan dikurangi (Santrock,2008:392).
Bayangkan scaffolding seperti tiang penopang saat membangun jembatan. Penopang itu membantu saat dibutuhkan, namun ia disesuaikan dan secara bertahap diambil saat jembatan sudah hampir selesai. Para peneliti menemukan bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman sebaya dalam pembelajaran kolaboratif, murid akan terbantu dalam proses belajarnya (Yarrow & Topping dalam Santrock,2008:392).
Pelatihan Kognitif
Alat penting dari pendidikan adalah pelatihan kognitif (cognitve apprenticeship). Aspek kunci dari pelatihan kognitif adalah evaluasi ahli atas kapan seorang pemelajar sudah siap diajak ke langkah selanjutnya (Rogoff,1998).
Tutoring
Tutoring pada dasarnya adalah pelatihan kognitif antara pakar dengan pemula. Tutoring bisa terjadi antara orang dewasa dan anak-anak, atau antara anak yang lebih pandai dengan anak yang kurang pandai. Tutoring individual adalah startegi yang efektif yang menguntungkan banyak murid, terutama mereka yang kurang pandai dalam suatu mata pelajaran.
Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif terjadi ketika murid bekerja samam dalam kelompok kecil (kelompok belajar) untuk saling membantu dalam belajar. Kelompok belajar bersama ini bervariasi dalam ukurannya, meskipun biasanya terdiri dari empat orang. Dalam beberapa kasus, kelompok belajar ini dilakukan secara berpasangan (dua murid). Ketika murid ditugaskan belajar dalam kelompok, biasanya kelompok itu akan tetap bertahan selama seminggu atau sebulan, tetapi kelompok belajar bersama biasanya tidak banyak memakan waktu murid dalam satu hari pelajaran atau satu tahun ajaran (Sherman dalam Santrock,2008:397).
Model Pembelajaran Group Investigation
Model pembelajaran yang akan dipakai dalam pembelajaran sejarah dengan Kompetendi Dasar: Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan adalah model Group Investigation. Namun sebelum dijabarkan apa itu model group investigation akan ditinjau terlebih dahulu mengenai teori awal munculnya Group Investigation itu sendiri.
Model Group Investigation (investigasi kelompok) ini dikembangkan oleh John Dewey dan Herbert A. Thelen, yang menggabungkan pandangan-pandangan proses sosial yang demokratik dengan penggunaan strategi-strategi intelektual atau ilmiah untuk membantu manusia menciptakan pengetahuan bukuny “Democracy an Education” merekomendasikan bahwa keseluruhan sekolah merupakan miniatur demokrasi dalam mana siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial dan diharapkan melalui partisipasi itu secara bertahap, belajar bagaimana menerapkan metode ilmiah untuk kesempurnaan masyarakat manusia (Wahab,2008:60).
Berdasarkan prinsip-prinsip itu Herbert A. Thelen menarik prinsip-prinsip dasar John Dewey dan mengembangkan model mengajar “Group Investigation atau investigasi kelompok”. Melalui model yang dikembangkannya itu, ia mencoba menggabungkan antara strategi mengajar bentuk dan dinamika proses demokrasi dengan proses inkuiri akademik. Hal yang ditetapkannya dalam model yang dikembangkan itu belajar yang didasarkan pada pengalaman (experienced-based learning situation) yang diharapkan dapat mengarah pada metode-metode ilmiah dan memiliki kemungkinan pengembangan dan penerapan dalam situasi kehidupan.
Model tersebut didasari pandangannya tentang citra sosial manusia. Manusia anpa merujuk manusia lainnya. Dalam hubungannya dengan sekolah maka kelas menurut Herbert merupakan bentuk kecil masyarakat, yang memiliki keteraturan dan budaya di mana para siswa memperhatikan dan memeliharanya dalam mengembangkan pandangan hidupnya yaitu ukuran dan harapan. Siswa mempelajari cara-cara ilmiah melalui berbagai pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah. Di sinilah kiranya peranan model penelitian kelompok dalam pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), tidak terkecuali untuk mata pelajaran Sejarah.
Bagaimana penerapan model mengajar ini dalam mengajar, bahwa model ini berjalan dalam fase yang berbeda. Penerapan dimulai dengan menghadapakan siswa kepada masalah, yang muncul dari sumber-sumber yang berbeda. Masalah itu bisa dalam bentuk verbal ataupun merupakan bagian dari suatu pengalaman. Hal itu dapat disediakan oleh guru ataupun muncul dari kelas. Jika siswa bereaksi terhadap masalah tersebut maka guru menarik perhatian mereka terhadap reaksi yang berbeda. Jika siswa telah menunjukan minat terhadap reaksi-reaksi yang berbeda itu maka guru mendorong siswa untuk merumuskan masalah untuk diri mereka. Setelah merumuskan siswa mengkajinya dengan memperhatikan peranan dan mengorganisasi dirinya. Kemudian bertindak dan melaporkan hasilnya inilah yang mungkin merupakan cikal-bakalnya pendekatan proses yang lazim digunakan dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan merupakan salah satu ciri kurikulum tahun 1975.
Adapun sintaks dalam proses pembelajaran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.Student encountrn puzzling stuation.
2.Student explore relations to the situation.
3.Student formulate study talk and organize for study (problem definition role,
assigments,etc).
4.Independent and growth study.
5.Student analyze programs and producs.
6.Recycle activity.
Akhirnya kelompok menilai keputusan-keputusan dalam kaitannya dengan tujuan kelompok semula. Beberapa hal yang dapat ditarik dari model ini adalah;
1.Sistem sosial. Model tersebut adalah demokratik. Masalah dimunculkan oleh guru
atau ditentukan oleh guru sebagai objek pengajaran. Guru dan siswa mempunyai
status yang sama.
2.Prinsip-prinsip reaksinya adalah guru bertindak sebagai konselor tanpa mengganggu
struktur yang ada.
3.Sistem yang menunjang. Dukungan yang diberikan guru bersifat ekstensif dan
responsif terhadap kebutuhan siswa. Perpustakaan yang baik merupakan keperluan
esensial bagi model tersebut. Disamping itu hubungan dan kontak-kontak dengan
lembaga-lembaga diluar sekolah dan juga pribadi-pribadi diperlukan oleh siswa
untuk memecahkan masalah yang menjadi fokus pelajaran.
4.Model yang dapat digunakan untuk semua bidang pelajaran dan juga dapat digunakan
sebagai aspek di dalam merumuskan dan memecahkan masalah. Dengan melihat bahwa ada
berbagai keuntungan dari model ini maka juga dapat diterapkan dalam pengajaran IPS
yang sering menggunakan metode pemecahan masalah (Wahab,2008:61).
Dengan demikian, group investigation dapat juga diterapkan pada proses pembelajaran sejarah, karena metode ini berorientasi terhadap pemecahan masalah. Jadi siswa dapat berdiskusi dalam mencari makna terhadap proses pembelajaran sejarah dan model ini sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Vygotsky, bahwa belajar menekankan pada murid agar dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Analisis Desain Pembelajaran Sejarah Yang Menggunakan Pendekatan Kontruktivisme Sosial Dengan Model Group Investigation
Dalam kaitannya dengan mengajar sejarah maka guru dapat mengembangkan model mengajarnya yang dimaksudkan sebagai upaya mempengaruhi perubahan yang baik dalam perilaku siswa. Pengembangan model tersebut adalah dimaksudkan untuk membantu guru meningkatkan kemampuannya untuk lebih mengenal siswa dan menciptakan lingkungan yang lebih bervariasi bagi kepentingan belajar siswa.
Desain pembelajaran pada makalah ini merujuk pada Standar Kompetensi (SK): Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang, dengan Kompetensi Dasar (KD) yaitu; Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan. Adapun Indikator yang akan di pelajari adalah kemampuan siswa dalam menganalisis bentuk-bentuk organisasi pada masa pergerakan kebangsaan di Indonesia.
Sesuai dengan apa yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, bahwa desain yang digunakan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan kompetensi dasar diatas adalah merujuk pada pendektan yang dilakukan Vygotsky, melalui pendekatan konstruktivisme sosial dalam proses pengajaran. Penulis merujuk pada pendekatan ini dengan alasan bahwa dalam proses pembelajaran sejarah yang sifatnya adalah melakukan pemecahan terhadap suatu masalah akan mampu menciptakan suasana belajar yang di rasa sangat kondusif apabila menggunkan pendekatan kontruktivisme sosial karena pada dasarnya pembelajaran sejarah akan lebih bermakna apabila dilakukan dengan proses belajar kolaboratif, jadi siswa yang belum jelas akan suatu permasalahan maka ia akan bertanya dengan teman satu kelompoknya yang dirasa sudah memahami suatu konsep, dan demikian juga gurunya yang selalu siap menjadi fasilisator bagi siswa yang mengalami permasalahan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan kompetensi dasar tersebut.
Hal ini sesuai dengan pendekatan konstruktivis yang di utarakan oleh Vygotsky, bahwasanya siswa akan mudah memahami suatu konsep apabila dalam proses belajar menekankan pada murid agar dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Dengan demikian, siswa dapat dikatakan sudah melakukan proses belajar bermakna, karena tidak saja terkait dengan ketercapaian materi belajar, namun siswa juga belajar hidup sosial ketika melakukan diskusi kelompok.
Untuk menghasilkan tujuan yang diharapkan, jika pada bagian sebelumnya telah di jelaskan pendekatan apa yang di gunakan dalam desain pembelajaran sejarah terkait dengan kompetensi dasar Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan. Maka berikutnya akan dibahas mengenai model apa yang akan digunakan dalam desain pembelajaran tersebut.
Adapun model yang akan digunaka dalam desain pembelajaran tersebut adalah Group Investigation yang merujuk pada teori awal dari John Dewey Herbert A. Thelen, yang yang menggabungkan pandangan-pandangan proses sosial yang demokratik dengan penggunaan strategi-strategi intelektual atau ilmiah untuk membantu manusia menciptakan pengetahuan.
Dengan melihat pandangan diatas sekiranya model tersebut cocok untuk diterapkan pada proses pembelajaran sejarah karena tujuan dari proses pembelajaran sejarah adalah mendidik dan membekali siswa dengan seperangkat pengetahuan, sikap, nilai, moral dan keterampilan untuk memahami lingkungan sosial masyarakat dapat dicapai. Dengan menggunakan group investigation dapat menjadikan pembelajara sejarah lebih menarik, penuh tantangan dan bergairah dalam mempelajarinya, sehingga timbul harapan adanya pengembangan potensi siswa secara optimal untuk belajar mandiri serta belajar bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Kesimpulan
Teori konstruktivisme berakar dari filsafat tertentu tentang manusia dan pengetahuan. Makna pengetahuan, sifat-sifat pengetahuan dan bagaimana seseorang menjadi “tahu” dan berpengetahuan, menjadi perhatian penting bagi aliran konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa pengetahuan lebih bersifat kontekstual daripada absolut, yang memungkinkan adanya penafsiran jamak (multiple persepective), bukan hanya satu penafsiran saja. Hal ini berarti bahwa pengetahuan dibentuk menjadi pemahaman individual melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain (Winataputra,2008:6.5).
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran berbagai ahli pendidikan, seperti Vogtsky, Piaget dan Jhon Dewey, terjalin menjadi persepektif konstruktivisme yang mempunyai beragam perwujudan dalam proses pembelajaran. Dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada ‘satu-satunya’pemahaman teori konstruktivisme, yang ada adalah sebagai pendekatan konstruktivis yang diterapkan dalam berbagai bidang ilmu, yang mempunyai penekanan berbeda. Sebagai contoh, pemikir konstruktivisme Vygotsky menekankan pentingnya peran konstruksi pengetahuan sebagai proses sosial dan kebersamaan, sedangkan Piaget beranggapan bahwa faktor individual lebih penting daripada faktor sosial.
Model Group Investigation (investigasi kelompok) ini dikembangkan oleh John Dewey dan Herbert A. Thelen, yang menggabungkan pandangan-pandangan proses sosial yang demokratik dengan penggunaan strategi-strategi intelektual atau ilmiah untuk membantu manusia menciptakan pengetahuan bukuny “Democracy an Educatio” merekomendasikan bahwa keseluruhan sekolah merupakan miniatur demokrasi dalam mana siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial dan diharapkan melalui partisipasi itu secara bertahap, belajar bagaimana menerapkan metode ilmiah untuk kesempurnaan masyarakat manusia (Wahab,2008:60).
Dengan menggunakan group investigation dapat menjadikan pembelajara sejarah lebih menarik, penuh tantangan dan bergairah dalam mempelajarinya, sehingga timbul harapan adanya pengembangan potensi siswa secara optimal untuk belajar mandiri serta belajar bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Daftar Pustaka
Depdiknas.2006. Silabus Mata Pelajaran Sejarah.
Hergenhahn dan Matthew H. Olson. 2008. Theories Of Learning. Kencana Prenada Media: Jakarta
Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning, Memperaktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Grasindo: Jakarta.
Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan. Kencana Prenada Media Group: Jakarta.
Solihatin, Etin dan Raharjo. Cooperative Learning. Analisis Model Pembelajaran IPS. Bumi Aksara: Jakarta.
Wahab, Abdul Azis. 2008. Metode dan Model-Model Mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial. Alfabeta: Bandung.
Winataputra, Udin S. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Universitas Terbuka: Jakarta.
Blog ini memuat berbagai makalah, bahan presentasi, bahan ajar sejarah SMA,dan hal-hal lain yang berkenaan dengan Teknologi Pendidikan secara umum didapatkan dari berbagai sumber dan telah saya pelajari.
Minggu, 07 Juni 2009
Selasa, 02 Juni 2009
ANALISIS KESESUAIAN SILABUS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) TERHADAP USIA PEBELAJAR TINGKAT SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)
Pendahuluan
Perkembangan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi saat ini sangat pesat dan berpengaruh sangat signifikan terhadap pribadi maupun komunitas, segala aktivitas kehidupan, cara kerja, metoda belajar, gaya hidup maupun cara berpikir. Oleh karena itu, pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi harus diperkenalkan kepada siswa, agar mereka mempunyai bekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk bisa menerapkan dan menggunakannya dalam kegiatan belajar, bekerja serta berbagai aspek kehidupan sehari-hari.
Manusia secara berkelanjutan membutuhkan pemahaman dan pengalaman agar bisa memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi secara optimal dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman dan menyadari implikasinya bagi pribadi maupun masyarakat. Siswa yang telah mengikuti dan memahami serta mempraktekkan Teknologi Informasi dan Komunikasi akan memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk memahami berbagai jenis Teknologi Informasi dan Komunikasi dan menggunakannya secara efektif. Selain itu siswa memahami dampak negatif, dan keterbatasan Teknologi Informasi dan Komunikasi, serta mampu memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mendukung proses pembelajaran dalam kehidupan.
Visi mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi yaitu agar siswa dapat menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal untuk mendapatkan dan memproses informasi dalam kegiatan belajar, bekerja, dan aktifitas lainnya sehingga siswa mampu berkreasi, mengembangkan sikap inisiatif, mengembangkan kemampuan eksplorasi mandiri, dan mudah beradaptasi dengan perkembangan yang baru.
Pada hakekatnya, kurikulum Teknologi Informasi dan Komunikasi menyiapkan siswa agar dapat terlibat pada perubahan yang pesat dalam dunia kerja maupun kegiatan lainnya yang mengalami penambahan dan perubahan dalam variasi penggunaan teknologi. Siswa menggunakan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk mencari, mengeksplorasi, menganalisis, dan saling tukar informasi secara kreatif namun bertanggungjawab. Siswa belajar bagaimana menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi agar dengan cepat mendapatkan ide dan pengalaman dari berbagai kalangan masyarakat, komunitas, dan budaya. Penambahan kemampuan karena penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi akan mengembangkan sikap inisiatif dan kemampuan belajar mandiri, sehingga siswa dapat memutuskan dan Pendahuluan mempertimbangkan sendiri kapan dan di mana penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi secara tepat dan optimal, termasuk apa implikasinya saat ini dan di masa yang akan datang.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai KTSP pada mata pelajaran TIK untuk tingkat SMP. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1.Menganalisis penerapan KTSP pada mata pelajaran TIK untuk tingkat SMP.
2.Menganalisis kesesuaian isi atau content kompetensi TIK terhadap KTSP.
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui kesesuaian isi atau content kompetensi TIK terhadap KTSP, dan bagaimana pencapaiannya. Diharapkan dari pembahasan makalah ini akan memberikan sumbangsih dan wawasan kepada mahasiswa Teknologi Pendidikan mengenai mata pelajaran TIK untuk tingkat SMP.
Analisis Silabus KTSP Pada Mata Pelajaran TIK SMP
Mata pelajaran TIK di SMP pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memiliki tujuan pembelajaran yang tertuang dalam SK dan dijabarkan ke dalam KD. Kemudian KD tersebut akan dikembangkan oleh setiap masing-masing sekolah yang dikembangkan melalui indikator pencapaian kompetensi dasar. Penjabaran tersebut direalisaikan kedalam skenario pembelajaran (RPP) oleh setiap guru dengan menganalisis kebutuhan setiap indikator dari mata pelajaran tersebut.
Dari uraian tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa TIK di SMP telah menjadi mata pelajaran wajib yang harus dikuasai oleh siswa sebagai bagian dari kompetensi yang harus dimiliki siswa setelah menyelesaikan studinya selama di SMP. Analisis ini akan dibuat perkelas dengan tingkat semester, pada setiap satuan pendidikan sesuai SK dan KD.
1. Kelas 7 Semester 1
2. Kelas 7 Semester 2
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342671588525780770" />
3. Kelas 8 Semester 1
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342671588625393922" />
4. Kelas 8 semester 2
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342671581873215714" />

4. Kelas 9 semester 1
alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5342671581274183250" />
Tahap-Tahap Perkembangan Usia Pebelajar
Untuk setiap tingkat jenjang pendidikan formal yang dimulai dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai pada tingkat perguruan tinggi (PT) memiliki karakteristik usia pebelajar yang berbeda-beda sesuai dengan tahap usia perkembangan pebelajar. Usia perkembangan tersebut sangat mempengaruhi dalam proses pembelajaran yang terkait dengan pencapaian tujuan, yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Tahapan perkembangan usia pebelajar yang digambarkan Piaget (Pratiwi, 2008) dalam urutan dari 4 tahap kualitatif tertentu, yaitu : Tahap Sensorimotor (0-18 bulan), Tahap Praoperasional (18 bln sampai 7 tahun), Tahap Operasional Konkret (7-12 tahun) dan Tahap Operasional Formal (12 tahun dan seterusnya). Urutan ini tidak berubah–ubah, sehingga tiap-tiap anak normal akan melalui tahap-tahap ini dalam urutan yang sama.
1.Tahap Sensorimotor
Pertumbuhan kognitif didasarkan pada tindakan panca indera dan motorik. Dimulai dengan tindakan yang terutama berbentuk reaksi refleks. Dalam tahap terakhir dari periode sensori motor, anak membentuk gambaran mental, dapat meniru tindakan orang lain yang telah lalu dan merancang arti baru dari pemecahan persoalan dengan menggabungkan skema yang didapat sebelumnya dengan pengetahuan secara mental. Dalam periode singkat dari 18 bulan atau 2 tahun “anak itu telah mengubah dirinya dari organisme yang sama sekali tergantung pada sifat refeleks bawaan lainnya menjadi orang yang mampu berpikir secara simbolik”
2.Tahap Praoperasional
Manipulasi symbol. Hal ini dinyatakan dalam meniru yang tertunda (menghasilkan suatu tindakan yang telah dilihat di masa lalu) dan dalam imajinasi anak-anak atau pura-pura bermain. Anak-anak sudah mampu menggunakan tanggapan simbolik. Namun pada tahap ini, anak-anak masih memiliki keterbatasan berpikir dalam beberapa hal penting. Menurut Piaget karakteristiknya adalah egosentris; anak praoperasional mempunyai kesulitan untuk membyangkan bagaimana benda-benda itu terlihat dari perspektif orang lain
3.Tahap Operasional Konkret
Penentuan pencapaian tahap operasi konkret ini ialah kemampuan untuk melakukan operasi mental yang fleksibel dan dapat diputar balikkan sepenuhnya. Anak-anak pada tahap ini mengerti peraturan dasar logis tertentu (disebut grouping oleh piaget) dan karenanya mampu berpikir logis dan kuantitatif dengan cara yang tidak kelihatan dalam tahap praoperasional. Anak-anak pada tahap ini mampu berperilaku obektif dalam mengkai kejadian. Mereka uga mampu untuk desenter, yaitu memusatkan perhatiannya pada beberapa atribut sebuah benda atau kejadian secara bersamaan dan mengerti hubungan antar dimensi.
4.Tahap Operasi Formal
Salah satu ciri jelas dalam tahap perkembangan ini ialah kemampuan untuk berpikir tentang masalah-masalah hipotetis—apa yang terjadi—maupun yang nyata dan berpikir kemungkinan-kemungkinan seperti juga yang actual. Anak sudah dapat memanipulasi gagasan tentang situasi hipotesis. Tanda lain dari pemecahan masalah dalam tahap operasi formal yaitu mencari pemecahan secara sistematis, bila berhadapan dengan sebuah masalah orang dewasa, untuk menimbang semua kemungkinan untuk memecahkan masalah dan dengan hati-hati mempelajari logika dan keefektifan masing-masing.
Dalam pemikiran operasi formal, operasi mental diorganisasi dalam urutan operasi yang lebih tinggi (Higher-order operations). Higher-order operations ialah cara mengunakan aturan abstrak untuk memecahkan sejumlah masalah.
Taksonomi Bloom
Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1.Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2.Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3.Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan
mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu: cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, dan pengamalan.
Dari setiap ranah tersebut dibagi kembali menjadi beberapa kategori dan subkategori yang berurutan secara hirarkis (bertingkat), mulai dari tingkah laku yang sederhana sampai tingkah laku yang paling kompleks. Tingkah laku dalam setiap tingkat diasumsikan menyertakan juga tingkah laku dari tingkat yang lebih rendah, seperti misalnya dalam ranah kognitif, untuk mencapai “pemahaman” yang berada di tingkatan kedua juga diperlukan “pengetahuan” yang ada pada tingkatan pertama.
a.Domain Kognitif
Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6)
1.Pengetahuan (Knowledge)
Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dsb. Sebagai contoh, ketika diminta menjelaskan manajemen kualitas, orang yg berada di level ini bisa menguraikan dengan baik definisi dari kualitas, karakteristik produk yang berkualitas, standar kualitas minimum untuk produk, dsb.
2.Pemahaman (Comprehension)
Dikenali dari kemampuan untuk membaca dan memahami gambaran, laporan, tabel, diagram, arahan, peraturan, dsb. Sebagai contoh, orang di level ini bisa memahami apa yg diuraikan dalam fish bone diagram, pareto chart, dsb.
3.Aplikasi (Application)
Di tingkat ini, seseorang memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori, dsb di dalam kondisi kerja. Sebagai contoh, ketika diberi informasi tentang penyebab meningkatnya reject di produksi, seseorang yg berada di tingkat aplikasi akan mampu merangkum dan menggambarkan penyebab turunnya kualitas dalam bentuk fish bone diagram atau pareto chart.
4.Analisis (Analysis)
Di tingkat analisis, seseorang akan mampu menganalisa informasi yang masuk dan membagi-bagi atau menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang lebih kecil untuk mengenali pola atau hubungannya, dan mampu mengenali serta membedakan faktor penyebab dan akibat dari sebuah skenario yg rumit. Sebagai contoh, di level ini seseorang akan mampu memilah-milah penyebab meningkatnya reject, membanding-bandingkan tingkat keparahan dari setiap penyebab, dan menggolongkan setiap penyebab ke dalam tingkat keparahan yg ditimbulkan.
5.Sintesis (Synthesis)
Satu tingkat di atas analisa, seseorang di tingkat sintesa akan mampu menjelaskan struktur atau pola dari sebuah skenario yang sebelumnya tidak terlihat, dan mampu mengenali data atau informasi yang harus didapat untuk menghasilkan solusi yg dibutuhkan. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas mampu memberikan solusi untuk menurunkan tingkat reject di produksi berdasarkan pengamatannya terhadap semua penyebab turunnya kualitas produk.
6.Evaluasi (Evaluation)
Dikenali dari kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan, metodologi, dsb dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yg ada untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya. Sebagai contoh, di tingkat ini seorang manajer kualitas harus mampu menilai alternatif solusi yg sesuai untuk dijalankan berdasarkan efektivitas, urgensi, nilai manfaat, nilai ekonomis, dsb
b.Domain Afektif
Pembagian domain ini disusun Bloom bersama dengan David Krathwol.
1.Penerimaan (Receiving/Attending)
Kesediaan untuk menyadari adanya suatu fenomena di lingkungannya. Dalam pengajaran bentuknya berupa mendapatkan perhatian, mempertahankannya, dan mengarahkannya.
2.Tanggapan (Responding)
Memberikan reaksi terhadap fenomena yang ada di lingkungannya. Meliputi persetujuan, kesediaan, dan kepuasan dalam memberikan tanggapan.
3.Penghargaan (Valuing)
Berkaitan dengan harga atau nilai yang diterapkan pada suatu objek, fenomena, atau tingkah laku. Penilaian berdasar pada internalisasi dari serangkaian nilai tertentu yang diekspresikan ke dalam tingkah laku.
4.Pengorganisasian (Organization)
Memadukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan konflik di antaranya, dan membentuk suatu sistem nilai yang konsisten.
5.Karakterisasi Berdasarkan Nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex)
Memiliki sistem nilai yang mengendalikan tingkah-lakunya sehingga menjadi karakteristik gaya-hidupnya.
c.Domain Psikomotor
Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang dibuat Bloom.
1.Persepsi (Perception)
Penggunaan alat indera untuk menjadi pegangan dalam membantu gerakan.
2.Kesiapan (Set)
Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan.
3.Guided Response (Respon Terpimpin)
Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya
imitasi dan gerakan coba-coba.
4.Mekanisme (Mechanism)
Membiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan
meyakinkan dan cakap.
5.Respon Tampak yang Kompleks (Complex Overt Response)
Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang
kompleks.
6.Penyesuaian (Adaptation)
Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai
situasi.
7.Penciptaan (Origination)
Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan
tertentu.
Analisis Kesesuain Materi dengan Keadaan Siswa, Guru, dan Sekolah
Pada semester satu di kelas 7 siswa diharapkan mengenal perangkat keras dan perangkat lunak dari komputer itu sendiri, disini terjadi sebuah ketidak seimbangan mengingat siswa di SMP memiliki latar belakang yang berbeda (artinya dari berbagai SD yang berlainan). Kita ketahui bahwa di SD mata pelajaran TIK merupakan mata pelajaran muatan lokal, yang artinya mata pelajaran TIK di SD dapat diterapkan sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan SD tersebut. Melihat keadaan ini tidak semua siswa SMP memiliki latar belakang pengetahuan dasar TIK sebelumnya, sehingga akan mempersulit proses pembelajaran TIK di SMP yang diberikan oleh guru mata pelajaran TIK pada tingkat SMP.
Ketika menemukan siswa yang telah menguasai TIK sejak SD, sebagai contoh kecil SD Paramount yang mengadopsi dan mengadaptasi kurikulum TIK dari International School Tiara Bangsa, dimana siswa kelas 4 SD-nya telah mampu mengoperasi face book, dan berkomunikasi proses pembelajarannya dengan cara on-line, dengan keadaan ini akan mempermudah dalam proses pembelajaran TIK. Sekarang kalau input siswanya dari sekolah yang justru belum mengenal tentang TIK, maka siswa dikelas tersebut mengalami perbedaan latar belakang yang harus dapat diakomodir oleh seorang guru TIK.
Agar siswa yang telah bisa tidak merasa jenuh sedangkan siswa yang belum menguasai dapat dengan cepat menguasai konsep dasar tersebut, untuk menjadi latar belakang (mata pelajaran prasyarat) pembelajaran selanjutnya.
Selain dari karakteristik siswa yang berbeda, mata pelajaran TIK ini dapat dianalisis dari gurunya, melihat keadaan realita dilapangan bahwa hampir di setiap sekolah yang memiliki mata pelajaran TIK, guru TIK-nya adalah guru yang dipersiapkan dari paket pembelian perangkat komputer (agen penjualan komputer) secara berjangka, kalaupun tidak guru komputer hampir dari rata-rata bukan dari keguruan melainkan dari sarjana komputer, untuk keilmuan komputer para guru ini tidak diragukan lagi, akan tetapi apakah secara psikologi kejiwaan guru tersebut dapat menguasai karakteristik siswa yang berbeda tersebut.
Untuk jumlah guru TIK disetiap sekolah memiliki jumlah jam yang sangat banyak, terkadang disatu sekolah yang memiliki jumlah kelas rata-rata 21 kelas, dengan setiap kelas mendapatkan waktu 2 jam pelajaran dalam satu minggu, sekolah tersebut menggunakan jasa guru TIK sebanyak 1 orang, dan guru tersebutpun dalam kapasitas honorer. Artinya betapa sulit penerapan secara aplikasi realnya, sebagai contoh di SMP Negeri 19 Palembang guru TIKnya adalah guru mata pelajaran matematika. Inipun jika guru mata pelajaran lain tersebut menguasai TIK terutama dalam aplikasi pembelajaran.
Pada tahapan ini mata pelajaran TIK bertujuan agar siswa mampu mengaktifkan operasi dasar peralatan komputer. Melihat kenyataan ini, materi ini harus dipelajari secara langsung, namun tidak semua sekolah memiliki jumlah komputer sesuai dengan jumlah siswa yang dimiliki setiap kelasnya. Jika setiap kelas memiliki jumlah siswa rata-rata 40 siswa, terkadang jumlah komputer dalam satu sekolah hanya 15 sampai dengan 20 komputer, sehingga pada proses pembelajarannya siswa secara bergantian menggunakan komputer tersebut. Namun ada juga sekolah yang telah memiliki hotspot sendiri seperti SMP N 1 Palembang dan SMP N 19 Palembang, sehingga materi pengoperasian ini telah teraplikasi dalam materi yang lebih luas dari sekadar pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar pada semester ini.
Melihat kenyataan ini kurikulum yang termaktub dalam KTSP untuk tingkat SMP pun dapat berkembang ataupun berkurang sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing, pertanyaan yang muncul mungkinkah lulusan SMP ini memiliki kompetensi yang sesuai dengan acuan KTSP.
Pada kelas 9 semester 1 dan 2 siswa diharapkan memiliki kemampuan untuk menggunakan internet. Kompetensi dasar ini sesuai dengan kurikulum KTSP yang dapat dipelajari siswa ketika semua kompetensi dasar sebelumnya telah dimiliki siswa, lantas bagaimana ketika pada semester ini siswa belum memiliki kompetensi dasar sebelumnya, atau bahkan jika siswa telah menguasai materi ini lebih dahulu, sebelum masuk ke proses pembelajaran.
Kesesuaian KTSP dengan proses pembelajaran apakah harus dipertahankan, sehingga membuat siswa menunggu, atau justru kreativitas gurulah yang membuat kurikulum ini terus berkembang. Selain itu dengan adanya mata pelajaran TIK di sekolah, guru TIK diharapkan dapat menjadi fasilitator untuk guru mata pelajaran lainnya untuk mampu menerapkan TIK dalam proses pembelajarannya. Lantas mampukah guru membagikan ilmunya kepada siswa dan kepada guru.
Analisis Kesesuaian Silabus TIK terhadap Usia Pebelajar dan Taksonomi Bloom
Silabus TIK dalam kurikulum KTSP telah disesuaikan dengan usia pebelajar, karena siswa SMP rata-rata 12-15 tahun, dimana menurut teori perkembangan Peaget usia SMP adalah usia 12 tahun keatas masuk kepada perkembangan tahap operasi formal yang bercirikan untuk berpikir tentang masalah-masalah hipotetis—apa yang terjadi—maupun yang nyata dan berpikir kemungkinan-kemungkinan seperti juga yang actual. Anak sudah dapat memanipulasi gagasan tentang situasi hipotesis. Tanda lain dari pemecahan masalah dalam tahap operasi formal yaitu mencari pemecahan secara sistematis, bila berhadapan dengan sebuah masalah orang dewasa, untuk menimbang semua kemungkinan untuk memecahkan masalah dan dengan hati-hati mempelajari logika dan keefektifan masing-masing. Dalam pemikiran operasi formal, operasi mental diorganisasi dalam urutan operasi yang lebih tinggi (Higher-order operations). Higher-order operations ialah cara mengunakan aturan abstrak untuk memecahkan sejumlah masalah.
Merujuk kepada SK dan KD, maka tahapan yang dapat dikuasai siswa adalah merupakan tahapan operasi formal. Secara psikologi perkembangan seharusnya SK dan KD tidaklah menjadi kendala untuk siswa, tinggal bagaimana strategi pembelajaran TIK tersebut dapat diterima dengan baik oleh siswa, karena sesuai tahapan operasi formal ini siswa dapat belajar sendiri dimana guru memberikan panduan pembelajaran secara terukur, teratur dan terencana. Panduan tersebut dapat dibuat dengan menggunakan taksonomi Bloom. Bloom membagi domain kognisi ke dalam 6 tingkatan. Domain ini terdiri dari dua bagian: Bagian pertama berupa adalah Pengetahuan (kategori 1) dan bagian kedua berupa Kemampuan dan Keterampilan Intelektual (kategori 2-6).
Untuk tingkatan pertama pengetahuan, tahapan ini sesuai dengan perkembangan pebelajar di operasi formal adalah diberikan penjelasan terkait dengan materi yang akan dipelajari, kemudian diberikan modul penunjang untuk pemahaman materi lebih baik, pada bagian dua yakni kemampuan dan keterampilan intelektual adalah dengan memberikan latihan-latihan sebagai penguat pembelajaran, sebagai bentuk penguasaan kompetensi siswa.
Daftar Pustaka
Agung Setiawan. 2004. Pengantar Sistem Komputer. Informatika. Bandung.
http:\\www.google.com.
KTSP TIK 2006
Sabtu, 02 Mei 2009
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN PRANCIS DAN INDONESIA
PERBANDINGAN SISTEM PENDIDIKAN PRANCIS DAN INDONESIA
(Tinjauan Pustaka Analisis Jenjang dan Kurikulum Pendidikan Prancis dan Indonesia)*
MIFTAHUL JANNAH**
Pendahuluan
Dalam menghadapi masa depan, banyak di antara negara maju dan yang belum maju, telah mengidentifikasi problema kependidikan masing-masing. Problema yang mereka temukan pada dasarnya terletak pada sistem dan metoda apa dan bagaimana agar pendidikan yang mereka selenggarakan itu mampu berperan efektif dan efisien dalam mempersiapkan generasi mudanya di masa depan.
Mereka sepenuhnya menyadari bahwa kedudukan generasi muda di negara masing-masing adalah sangat strategis bagi pelestarian dan pengembangan cita-cita dalam rangka memperkokoh eksistensi dan kemajuan negara dan bangsa. Oleh karena itu permasalahan pembinaan generasi muda benar-benar menjadi pusat perhatian pemerintah masing-masing agar tunas-tunas bangsa memiliki kualitas hidup dan kehidupan lebih tinggi mutunya dalam segala bidang, tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga dalam bidang mental dan moralitas.
Untuk mencapai kualitas yang tinggi dalam hidup dan kehidupan itu, satu-satunya jalan ialah mengusahakan peningkatan mutu dan kedayagunaan serta kehasilgunaan kependidikan. Berbicara soal mutu, berarti harus dikaitkan dengan masalah tuntutan hidup masyarakat yang senantiasa cenderung makin maju sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Itulah sebabnya, sistem dan pola pendidikan nasional masing-masing negara juga harus lentur terhadap tuntutan demikian, terutama kurikulum dan metoda kependidikannya, beserta pendidik-pendidiknya harus peka dan tanggap terhadap aspirasi dari tuntutan kemajuan itu (Arifin,2003:66).
Dapat pula dikatakan bahwa dalam proses pembangunan nasional atau suatu negara menjadi negara yang maju dan modern, sistem pendidikan menjadi sangat dominan perannya. Namun pendidikan bukanlah barang yang mudah dan murah. Untuk mengembangkan sistem pendidikan, apalagi sistem pendidikan modern, diperlukan sumber daya dan dana yang tinggi. Untuk penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang diperlukan untuk pengembangan industri, diperlukan dalam proses perindustrian juga tidak terlepas dari tersedianya biaya dan dana yang besar.
Jadi nampaknya terdapat hubungan kausal antara sistem pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi modern, proses perindustrian dan kekayaan serta kemakmuran negara/masyarakat. Tampak pula bahwa sistem pendidikan adalah merupakan titik sentralnya. Oleh karena itu pendidikan di negara-negara modern sangat relevan dan diperlukan bagi negara-negara yang sedang berkembang dan membangun, seperti halnya Indonesia sekarang ini. Tentunya masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara modern tersebut, dalam menumbuhkembangkan sistem pendidikan nasionalnya, dan cara-cara pemecahannya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sistem pendidikan tersebut, akan sangat berarti bagi pengembangan sistem pendidikan nasional kita sekarang.
Menurut Tadjab (1994), studi perbandingan akan menjadikan sistem pendidikan nasional negara Perancis, Inggris dan Amerika Serikat sebagai sasaran studi. Sistem pendidikan negara Perancis misalnya, dianggap sebagai wakil istimewa dari tradisi pendidikan daratan Eropa dengan seleksinya yang keras di bidang pendidikan menengah.
Yang menjadi pusat perhatian dalam studi ini, hanyalah beberapa aspek penting dari sistem pendidikan negara Prancis. Pertama-tama akan ditinjau tentang sejarah pendidikannya secara singkat; penjenjangan pendidikanya, kewajiban belajar, dan akan dibahas pula tentang kurikulumnya.
Sejarah Pendidikan Prancis
Sebagaimana juga negara-negara lain yang mempunyai sejarah panjang, Prancis memiliki sistem pendidikan yang sudah sangat melembaga dan selalu berupaya melakukan reformasi. Sejarah menceritakan kenapa Prancis sangat bersifat sentralistis dan birokratis dalam bentuk pemerintahan dan pendidikannya. Dunia sepertinya telah membangunkan raksasa tidur (sleeping giant) kata J.C.Eicher (1995) karena, (1) pembukaan sekolah menengah dan universitas bagi siswa-siswa baru, yang mayoritas berasal dari kelompok sosial yang dulunya tidak pernah dapat tempat; (2) karena adanya reformasi yang terus-menerus yang selama ini tidak bisa diterima oleh pihak-pihak penguasa (Syah Nur, 2001: 200).
Perancis adalah tergolong negara yang telah maju industrinya dari antara negara maju di Barat lainnya. Problema-problema yang dirasa belum dapat diselesaikan secara tuntas adalah yang menyangkut masalah kependidikan dari abad ke abad.
Sebelum pecah revolusi tahun 1789, pendidikan di Perancis berada di tangan Gereja Katholik atau yang berkaitan dengan Gereja. Sejak permulaan abad ke 18 boleh dikatakan masyarakat/bangsa Perancis secara kultural terbagi dua golongan yaitu:
1.Golongan Katholik yang pada umumnya tradisional.
2.Golongan sekuler yang berjiwa revolusioner (Tadjab,1994:98).
Sistem kependidikan berubah dari satu kurun waktu sebelum Perang Dunia II sampai sesudah Perang Dunia II. Akan tetapi sampai sekarang yang dijadikan prinsip kependidikan di Perancis ialah cetusan ide revolusi tahun 1789 yang berintikan pada semboyan politik revolusi yaitu: Liberte, Egalite dan Fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan) (Arifin,2003:84).
Namun semboyan yang ideal itu bagi rakyat Perancis tidaklah mudah untuk direalisasikan dalam program pendidikan, akibat kurang adanya kesamaan langkah dari kalangan pemimpin masyarakat dan pemerintahan.
Pada tahun-tahun permulaan revolusi, para pemimpin revolusi merasa curiga terhadap kaum gereja Katholik, yang dianggapnya anti revolusioner. Ditakutkan oleh mereka, bahwa anak-anak yang diasuh di sekolah-sekolah yang kebanyakan di bawah pimpinan Gereja itu, kelak akan menjadi orang-orang anti republik. Sebenarnya para pemimpin revolusi itu bukanlah anti, karena sebagian besar adalah anggota Gereja itu sendiri; yang dilawan oleh mereka adalah kekuasaan yang selama itu dipegang oleh kaum klerik (pejabat-pejabat Gereja) atas politik dan pendidikan (Tadjab,1994:98).
Kaum republik yang menghendaki berdirinya suatu sistem pendidikan yang “bebas dari pembayaran uang sekolah, terbuka untuk semua dan bersifat sekuler”. Mengenai dasar-dasarnya dimaksudkan agar sistem pendidikan itu bersifat republiken dan dalam soal keagamaan bersifat netral. Yang ingin ditanamkan dalam jiwa anak-anak adalah jiwa revolusioner dan nasional. Kaum Katholik tidak setuju akan sekolah umum yang demikian itu dan dianggapnya sebagai lembaga yang “tak berTuhan”. Dengan demikian terjadilah persaingan antara sekolah-sekolah pemerintah yang bercorak sekuler itu dengan sekolah-sekolah Gereja (Tadjab,1994:98).
Ide pendidikan yang bersifat sentralisasi, timbul atas usul Condercet tahun 1792, agar diadakan suatu sistem pendidikan untuk semua orang, disebar luas di seluruh commune, yang akan merupakan dasar bagi suatu piramida susunan pendidikan dengan universitas-universitas dan Kementrian Pendidikan umumnya sebagai puncaknya(Tadjab,1994:98).
Pada tahun 1808 Napoleon Bonaparte mengambil alih masalah pengelolaan kependidikan di negerinya dengan mendirikan apa yang disebut “Universitie Imperiali de France” (Universitas Kerajaan Perancis), yang pengertiannya berbeda dengan arti universitas pada umumnya. Karena istilah itu mengandung arti pembagian wilayah Perancis menjadi “daerah-daerah kependidikan” yang masing-masing disebut “Academic” yang memiliki satu universitas sebagai pusatnya. Presiden universitas itulah yang mengepalai daerah kependidikan yang disebut “academic” yang menjadi bawahan langsung dari kantor pusatnya di Paris (Arifin, 2003:84).
Dengan demikian, academic mempunyai satu universitas sebagai pusatnya, dan Presiden universitas inilah yang bertanggu jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan, pengajaran menengah tinggi.
Menurut Tadjab, monopoli pendidikan oleh negara, yang dimulai oleh Napoleon ini berakhir tahun 1850, dengan diperkenankannya perguruan-perguruan swasta berdiri. Dimana sampai saat ini ciri dan jiwa organisasi ciptaan Napoleon masih terus berlaku, dan sistem sentralisasi inilah yang merupakan ciri yang paling khas dari sistem pendidikan Prancis. (Tadjab,1994:99)
Jenjang Pendidikan Prancis
Tujuan utama pendidikan Perancis pada mulanya adalah untuk meningkatkan nasionalisme. Upaya peningkatan nasionalisme ini dilakukan melalui sekolah dengan mempromosikan buku-buku teks yang seragam isinya antara lain menekankan perlunya melanjutkan negara Perancis yang sudah ada semenjak rezim lama (kerajaan) dan pembentukan sistem baru bersifat sentralistis yang ketat.
Hampir seluruh sistem pendidikan formal di Perancis dilaksanakan secara tersentralisasi yang ketat dan dikontrol oleh Kementerian Pendidikan. Jenjang pendidikan di negara Perancis terdiri atas tiga jenjang, yaitu:
1.Pendidikan Dasar (pra-sekolah dan sekolah rendah).
2.Pendidikan Menengah.
3.Pendidikan Tinggi (Tadjab,1994:99).
Kurikulum Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Prancis
1. Pendidikan Dasar Prancis
Di Prancis Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) yang pendidikannya adalah gratis, wajib dan tidak membedakan aliran keagamaan, terdapat dua jenis pendidikan pararel; sekolah umum pemerintah dan sekolah-sekolah menengah kecil yang disebut “lycees”. Yang terakhir ini sering menampung murid-murid yang berasal dari kelas menengah borjuis, yang selalu keberatan mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang sama bersama anak-anak rakyat biasa.
Dari umur 6 sampai 11 tahun anak-anak memasuki sekolah rendah. Pelajaran di tingkat ini sama bagi semua anak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun sebelum memasuki sekolah rendah itu, anak-anak memasuki pendidikan pra-sekolah, yang disebut ”ecoles maternelles” atau sekolah ibu, mulai umur 2 tahun. Pusat perhatian pendidikan pra-sekolah ini, adalah perkembangan fisik, intelek dan moral anak. Untuk mencapai tujuan tersebut kurikulumnya terdiri atas gerak badan, bermain-main, bernyanyi, menggambar dan melukis serta membuat barang-barang dengan tangan; dan diadakan latihan observasi terhadap benda-benda yang ada disekitar lingkungan anak (Tadjab,1994:100).
Pada tahun terakhir anak-anak pra-sekolah mulai diperkenalkan dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan rendah dibagi atas 3 bagian, yaitu:
1.Persiapan, bagi anak yang berumur 6 sampai 7 tahun.
2.Elementer, bagi anak yang berumur 7 sampai 9 tahun.
3.Pertengahan, bagi anak yang berumur 9 sampai 11 tahun.
Kurikulum pendidikan rendah terdiri atas: bahasa Prancis, membaca dan menulis, berhitung, sejarah dan ilmu bumi, pelajaran budi pekerti dan kewarganegaraan, dasar-dasar ilmu pasti dan alam, dasar-dasar menggambar, pekerjaan tangan, bernyanyi dan gerak badan (Tadjab,1994:100).
2. Pendidikan Menengah Prancis
Pendidikan menengah di Prancis, dimulai dengan memasuki kelas percobaan (cycle d’observation), yang pada masa lalu, melalu seleksi yang ketat; tetapi sekarang semua yang lulus sekolah dasar negeri yang memenuhi syarat dapat memasuki kelas ini tanpa seleksi. Yang diterima pada kelas percobaan ini ialah anak yang berumur paling sedikit 11 tahun dan tidak lebih dari 12 tahun (Tadjab,1994:100).
Setelah anak menyelesaikan cycle d’observation yang lamanya 2 tahun ini, terbukalah 5 jenis pendidikan bagi anak sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Jenis pertama adalah Pendidikan Penutupan, yang lamanya 3 tahun dan tidak ada lanjutannya. Kurikulumnya adalah merupakan lanjutan dari pendidikan umum sekolah dasar dan ditambah dengan mata pelajaran praktis untuk kehidupan sehari-hari. Pendidikan ini dimaksudkan bagi anak-anak yang bakatnya paling tipis dan yang kemampuan intelektualnya paling rendah. Dengan berlakunya Undang-undang wajib belajar sampai umur 16 tahun, maka pendidikan ini di akhiri dengan ujian dan ijazah pendidikan wajib. Jenis kedua adalah Pendidikan Umum Pendek, yang disebut juga dengan sekolah Menengah Umum, yang lamanya 3 tahun. Lulusan pendidikan umum ini, dapat memasuki jabatan-jabatan yang tidak bersifat teknis dan bisa memasuki Sekolah Normal (Guru). Jenis ketiga adalah Pendidikan Kejuruan Pendek, yang diberikan dalam Sekolah Menengah Kejuruan, yang lamanya 4 tahun. Pendidikan ini dimaksudkan bagi anak-anak yang berbakat teknis. Disamping memperluas pendidikan umum, pendidikan ini meliputi latihan teori dan praktek dalam suatu kejuruan dan juga diberikan spesialisasi agak mendalam. Jenis keempat adalah Pendidikan Kejuruan Panjang, yang diperuntukan bagi mereka yang berbakat teknis yang mempunyai kemampuan intelektual tinggi. Pendidikan ini terdiri dari pendidikan agen teknik, selama 4 tahun dan pendidikan ahli selama 5 tahun. Jenis kelima adalah Pendidikan Umum Panjang, yang menyiapkan anak atau lulusannya untuk memasuki pendidikan tinggi. Lama pendidikannya adalah 7 tahun, termasuk masa penentuan jurusan (kelas percobaan) (Tadjab,1994:100).
3. Pendidikan Tinggi Prancis
Jenjang pendidikan tinggi, diberikan di universitas-universitas. Universitas Sarbonne di Paris adalah Universitas Pusat. Disetiap academie ada sebuah universitas sebagai pusat. Setiap universitas, baik di pusat, maupun yang di academie-academie, terdiri dari sejumlah fakultas. Suatu universitas dapat juga meliputi lembaga-lembaga yang meliputi suatu akademi dalam ilmu-ilmu tertentu. Fakultas atau institut penelitian atau sekolah tinggi yang menjadi bagian dari suatu universitas, mempunyai otonomi yang luas; dan mempunyai fasilitas-fasilitas sendiri seperti laboratorium dan perpustakaan. Universitas Paris misalnya; mempunyai lebih dari 100 perpustakaan khusus dalam bidang-bidang tertentu dan tersebar di berbagai tempat (Tadjab,1994:101).
Pendidikan Tinggi (universitas), dibagi dalam 3 cycle, masing-masing 2 tahun lamanya dan diakhiri dengan ujian.
1.Cycle pertama mengenai ”science” terdiri dari 4 jurusan yang dapat dipilih
mahasiswa. Kalau lulus ujian pada cycle science ini, mahasiswa mendapat ijazah
D.U.E.S. dan diberi kesempatan untuk melanjutkan ke institusi lain, atau akan
terus belajar pada universitas yang sama.
2.Cycle kedua mengenai kesenian, mempunyai 5 jurusan, untuk mahasiswa yang tidak
ingin menjadi guru. Yang lulus ujian akhir cycle kesenian ini mendapat ijazah
D.U.E.L.
3.Cycle ketiga, ditujukan untuk menghasilkan para peneliti dengan gelar
”maitreise”. Bagian science terdiri dari 12 jurusan. Selama cycle ini, mahasiswa
bagian science harus mendapatkan 4 ijazah (2 ijazah) setiap tahun, sedangkan
bagian kesenian 2 ijazah. Untuk mendapatkan gelar ”maitrase” seorang mahasiswa
harus membuat thesis; pada akhir tahun ketiga diberi ijazah ”licence”, yang
menghendaki pengkhususan dalam satu atau dua mata pelajaran di sekolah. Ijazah
untuk menjadi guru Lycee diperoleh setelah menamatkan IPES (Institut de
Preparation Aux Enseignenments Du Second Degree), dan menempuh ujian negara yang
diadakan tiap tahun dan bersifat kompetitif dan selektif. Pada akhir cycle ketiga,
mahasiswa yang lulus ujian, mendapat gelar doktor (Tadjab,1994:102).
Sekolah normal diadakan untuk pendidikan guru, yang disebut ”Ecole Normale”. Sekolah Normal ini dalam setiap wilayah (academie) ada dua buah, satu untuk pria dan lainnya untuk wanita yang diterima adalah anak-anak berumur antara 15-17 tahun dan lulus ujian masuk; mereka sekurang-kurangnya harus sudah tamat kelas III sekolah menengah. Lama belajarnya 4 tahun, 3 tahun pertama untuk melengkapi pendidikan calon guru sampai tingkat baccalaureat dan pada tahun keempat untuk pendidikan keguruan serta prakteknya. Sedangkan untuk sekolah guru menengah (lycee) harus mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi dan IPES sebagaimana telah dikemukakan. Beberapa lulusan menengah yang terbaik dalam ujian masuk, dapat diterima di Sekolah Normal Tinggi (Ecole Normale Superieur), yang merupakan salah satu bentuk ”Grand Ecole” atau sekolah tinggi bukan universitas. Oleh karena lulusan Grand Ecole ini terjamin kedudukannya setelah tamat, bebas uang kuliah, malahan diberi uang pemondokan dan uang saku, maka banyak sekali yang ingin masuk, tetapi tempatnya sangat terbatas; karenanya ujian masuk diperberat.
Jenjang Pendidikan Indonesia
Berdasarkan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, jenjang pendidikan di Indonesia ada 3 yaitu;
1.Pendidikan Dasar
2.Pendidikan Menengah
3.Pendidikan Tinggi
Kurikulum Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Indonesia
1.Pendidikan Dasar Indonesia
Pendidikan Dasar di Indonesia, dimulai dengan jenjang pendidikan yang pertama yaitu: Pendidikan anak usia dini.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal (UU, Sisdiknas, pasal 28;2003).
Menurut Sisdiknas Pasal 28 ayat 3, Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1.Taman Kanak-kanak (TK),
2.Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Di Indonesia Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
1.Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat; serta
2.Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain
yang sederajat.
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal (UU, Sisdiknas, pasal 37:2003).
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah (UU, Sisdiknas, pasal 38;2003).
2.Pendidikan Menengah Indonesia
Di Indonesia pendidikan menengah juga terdiri dari beberapa jenis pendidikan. Pendidikan Menengah merupakan lanjutan dari pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas:
1. Pendidikan menengah umum, dan
2. Pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1.Sekolah Menengah Atas (SMA),
2.Madrasah Aliyah (MA),
3.Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4.Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat (UU, Sisdiknas, pasal 18, 2003).
Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan menengah umum maupun kejuruan lama pendidikannya 3 tahun (sisdiknas, pasal 15, 2003).
Kurikulum Pendidikan Menengah wajib memuat; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal (UU, Sisdiknas, pasal 37:2003).
3.Pendidikan Tinggi Indonesia
Jenjang Pendidikan Tinggi di Indonesia terdiri dari beberapa macam dimana, pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (UU, Sisdiknas, pasal 19: 2003).
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. Akademi,
2. Politeknik,
3. Sekolah tinggi,
4. Institut, atau
5. Universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi (UU, Sisdiknas, pasal 20,2003).
Kerangka dasar dan struktur kurikulum Pendidikan Tinggi di Indonesia dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Dimana kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa.
Analisis Aspek Jenjang dan Kurikulum Pendidikan Prancis dan Indonesia.
Berikut adalah tabel mengenai perbandingan antara sistem pendidikan Prancis dan Indonesia, merujuk pada pembahasan mengenai jenjang dan kurikulumnya.

Berdasarkan tabel diatas jika dilihat pendidikan dasar antara Indonesia dan Prancis terdapat perbedaan dalam hal pembagian jenjangnya, jika di Indonesia pendidikan dasar meliputi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menegah Pertama (SMP) dengan tingkat usia peserta didik 7-15 tahun wajib mengenyam pendidikan, untuk mendukung program pemerintah yaitu, terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara. Sedangkan di Perancis Pendidikan Dasar terbagi lagi dalam 3 tingkatan, di mana sistem pendidikan memiliki aturan untuk menjamin bahwa semua siswa wajib memperoleh satu batang kompetensi dan pengetahuan dalam tujuh domain berikut: Bahasa Perancis, Satu bahasa asing lainnya, Matematika dan ilmu Sastra, Informasi dan Teknologi, Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan, Semangat otonomi dan inisiatif.
Berdasarkan tabel diatas pada Pendidikan Menengah, sistem pendidikan antara Indonesia dan Prancis banyak terdapat perbedaan. Untuk pendidikan menengah Indonesia lama pendidikan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 3 tahun. Sementara pada sistem pendidikan Prancis masih terdapat 5 jenis pendidikan bagi siswa yang disesuaikan dengan bakat dan kemampuannya. Lama pendidikan yang ditempuh sesuai dengan jenis pendidikan yang dipilih, rata-rata waktu pendidikan ada yang 3 tahun, 4 tahun bahkan sampai 7 tahun. Ini menunjukan adanya perbedaan antara pendidikan menengah antara Indonesia dan Perancis. Demikian juga pada kurikulumnya di Prancis sudah terspesifikasi dalam satu bidang ilmu yang akan digeluti sesuai dengan kemampuan siswa itu sendiri. Sementara di Indonesia ada dua pendidikan menengah yang bisa dippilih siswa sesuai dengan kemampuannya, baik untuk pendidikan umum maupun pendidikan kejuruan.
Terdapat perbedaan-perbedaan sistem pendidikan tinggi di Indonesia dan Prancis, di Prancis untuk memperoleh pendidikan tinggi harus mengikuti beberapa tahapan yang pada akhirnya akan mendapatkan gelar setelah mengikuti ujian negara sesuai dengan jurusan yang di pilih mahasiswa sementara mengenai kurikulum pendidikan tinggi secara keseluruhan bersifat sentralisasi yang diatur oleh sebuah komisi nasional pendidikan. Di Indonesia pun demikian juga bahwa pendidikan tinggi terdiri dari berbagai bentuk baik akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas namun pada persoalan kurikulum pendidikan tinggi Indonesia memiliki wewenang dalam hal penyelanggaraan pendidikan, hal ini terlihat pada kurikulum pendidikan tinggi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dengan menagcu pada standar nasional pendidikan. Jadi terdapat perbedaan antara pendidikan tinggi Indonesia dan Perancis terutama dalam hal penyelenggaraan kurikulum.
Kesimpulan
Sistem pendidikan Indonesia dan Prancis pada pembagian jenis dan jenjang pendidikannya hampir memiliki kesamaan mulai dari pendidikan dasar yang terdiri dari pendidikan pra-sekolah dan sekolah dasar, pendidikan menengah yang terbagi dalam pendidikan menengah umum dan kejuruan, dan pendidikan tinggi yang terdiri dari berbagai jenis jurusan, hanya saja terdapat perbedaan dalam tahapan penerimaan mahasiswa pada pendidikan tinggi.
Di Prancis sistem pendidikan bersifat sentralistis, maka pengembangan kurikulum sekolah diatur oleh sebuah komisi nasional beranggotakan terutama anggota korp Inspektur Jendral. Cakupan kurikulum bersifat nasional dan sedikit sekali peluang yang diberikan untuk muatan lokal daerah. Dengan demikian, kurikulum yang dirancang oleh Perancis Departemen Pendidikan Nasional berlaku untuk semua sekolah di Perancis.
Di Indonesia sistem pendidikan Indonesia bersifat desentralisasi, walaupun masih ada hal-hal tertentu yang bersifat sentralisasi, contohnya ujian nasional. Namun pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan, serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
Arifin. 2003. Ilmu Perbandingan Pendidikan. Cetakan ke 6. Golden Terayon Press. Jakarta.
Himpunan Perundang-Undangan RI Tentang sistem Pendidikan Nasional. 2003.
Nur, Agustiar Syah. 2001. Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Lubuk Agung. Bandung.
Tadjab. 1994. Perbandingan Pendidikan. Karya Abditama. Surabaya.
(Tinjauan Pustaka Analisis Jenjang dan Kurikulum Pendidikan Prancis dan Indonesia)*
MIFTAHUL JANNAH**
Pendahuluan
Dalam menghadapi masa depan, banyak di antara negara maju dan yang belum maju, telah mengidentifikasi problema kependidikan masing-masing. Problema yang mereka temukan pada dasarnya terletak pada sistem dan metoda apa dan bagaimana agar pendidikan yang mereka selenggarakan itu mampu berperan efektif dan efisien dalam mempersiapkan generasi mudanya di masa depan.
Mereka sepenuhnya menyadari bahwa kedudukan generasi muda di negara masing-masing adalah sangat strategis bagi pelestarian dan pengembangan cita-cita dalam rangka memperkokoh eksistensi dan kemajuan negara dan bangsa. Oleh karena itu permasalahan pembinaan generasi muda benar-benar menjadi pusat perhatian pemerintah masing-masing agar tunas-tunas bangsa memiliki kualitas hidup dan kehidupan lebih tinggi mutunya dalam segala bidang, tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga dalam bidang mental dan moralitas.
Untuk mencapai kualitas yang tinggi dalam hidup dan kehidupan itu, satu-satunya jalan ialah mengusahakan peningkatan mutu dan kedayagunaan serta kehasilgunaan kependidikan. Berbicara soal mutu, berarti harus dikaitkan dengan masalah tuntutan hidup masyarakat yang senantiasa cenderung makin maju sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Itulah sebabnya, sistem dan pola pendidikan nasional masing-masing negara juga harus lentur terhadap tuntutan demikian, terutama kurikulum dan metoda kependidikannya, beserta pendidik-pendidiknya harus peka dan tanggap terhadap aspirasi dari tuntutan kemajuan itu (Arifin,2003:66).
Dapat pula dikatakan bahwa dalam proses pembangunan nasional atau suatu negara menjadi negara yang maju dan modern, sistem pendidikan menjadi sangat dominan perannya. Namun pendidikan bukanlah barang yang mudah dan murah. Untuk mengembangkan sistem pendidikan, apalagi sistem pendidikan modern, diperlukan sumber daya dan dana yang tinggi. Untuk penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang diperlukan untuk pengembangan industri, diperlukan dalam proses perindustrian juga tidak terlepas dari tersedianya biaya dan dana yang besar.
Jadi nampaknya terdapat hubungan kausal antara sistem pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi modern, proses perindustrian dan kekayaan serta kemakmuran negara/masyarakat. Tampak pula bahwa sistem pendidikan adalah merupakan titik sentralnya. Oleh karena itu pendidikan di negara-negara modern sangat relevan dan diperlukan bagi negara-negara yang sedang berkembang dan membangun, seperti halnya Indonesia sekarang ini. Tentunya masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara modern tersebut, dalam menumbuhkembangkan sistem pendidikan nasionalnya, dan cara-cara pemecahannya, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sistem pendidikan tersebut, akan sangat berarti bagi pengembangan sistem pendidikan nasional kita sekarang.
Menurut Tadjab (1994), studi perbandingan akan menjadikan sistem pendidikan nasional negara Perancis, Inggris dan Amerika Serikat sebagai sasaran studi. Sistem pendidikan negara Perancis misalnya, dianggap sebagai wakil istimewa dari tradisi pendidikan daratan Eropa dengan seleksinya yang keras di bidang pendidikan menengah.
Yang menjadi pusat perhatian dalam studi ini, hanyalah beberapa aspek penting dari sistem pendidikan negara Prancis. Pertama-tama akan ditinjau tentang sejarah pendidikannya secara singkat; penjenjangan pendidikanya, kewajiban belajar, dan akan dibahas pula tentang kurikulumnya.
Sejarah Pendidikan Prancis
Sebagaimana juga negara-negara lain yang mempunyai sejarah panjang, Prancis memiliki sistem pendidikan yang sudah sangat melembaga dan selalu berupaya melakukan reformasi. Sejarah menceritakan kenapa Prancis sangat bersifat sentralistis dan birokratis dalam bentuk pemerintahan dan pendidikannya. Dunia sepertinya telah membangunkan raksasa tidur (sleeping giant) kata J.C.Eicher (1995) karena, (1) pembukaan sekolah menengah dan universitas bagi siswa-siswa baru, yang mayoritas berasal dari kelompok sosial yang dulunya tidak pernah dapat tempat; (2) karena adanya reformasi yang terus-menerus yang selama ini tidak bisa diterima oleh pihak-pihak penguasa (Syah Nur, 2001: 200).
Perancis adalah tergolong negara yang telah maju industrinya dari antara negara maju di Barat lainnya. Problema-problema yang dirasa belum dapat diselesaikan secara tuntas adalah yang menyangkut masalah kependidikan dari abad ke abad.
Sebelum pecah revolusi tahun 1789, pendidikan di Perancis berada di tangan Gereja Katholik atau yang berkaitan dengan Gereja. Sejak permulaan abad ke 18 boleh dikatakan masyarakat/bangsa Perancis secara kultural terbagi dua golongan yaitu:
1.Golongan Katholik yang pada umumnya tradisional.
2.Golongan sekuler yang berjiwa revolusioner (Tadjab,1994:98).
Sistem kependidikan berubah dari satu kurun waktu sebelum Perang Dunia II sampai sesudah Perang Dunia II. Akan tetapi sampai sekarang yang dijadikan prinsip kependidikan di Perancis ialah cetusan ide revolusi tahun 1789 yang berintikan pada semboyan politik revolusi yaitu: Liberte, Egalite dan Fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan) (Arifin,2003:84).
Namun semboyan yang ideal itu bagi rakyat Perancis tidaklah mudah untuk direalisasikan dalam program pendidikan, akibat kurang adanya kesamaan langkah dari kalangan pemimpin masyarakat dan pemerintahan.
Pada tahun-tahun permulaan revolusi, para pemimpin revolusi merasa curiga terhadap kaum gereja Katholik, yang dianggapnya anti revolusioner. Ditakutkan oleh mereka, bahwa anak-anak yang diasuh di sekolah-sekolah yang kebanyakan di bawah pimpinan Gereja itu, kelak akan menjadi orang-orang anti republik. Sebenarnya para pemimpin revolusi itu bukanlah anti, karena sebagian besar adalah anggota Gereja itu sendiri; yang dilawan oleh mereka adalah kekuasaan yang selama itu dipegang oleh kaum klerik (pejabat-pejabat Gereja) atas politik dan pendidikan (Tadjab,1994:98).
Kaum republik yang menghendaki berdirinya suatu sistem pendidikan yang “bebas dari pembayaran uang sekolah, terbuka untuk semua dan bersifat sekuler”. Mengenai dasar-dasarnya dimaksudkan agar sistem pendidikan itu bersifat republiken dan dalam soal keagamaan bersifat netral. Yang ingin ditanamkan dalam jiwa anak-anak adalah jiwa revolusioner dan nasional. Kaum Katholik tidak setuju akan sekolah umum yang demikian itu dan dianggapnya sebagai lembaga yang “tak berTuhan”. Dengan demikian terjadilah persaingan antara sekolah-sekolah pemerintah yang bercorak sekuler itu dengan sekolah-sekolah Gereja (Tadjab,1994:98).
Ide pendidikan yang bersifat sentralisasi, timbul atas usul Condercet tahun 1792, agar diadakan suatu sistem pendidikan untuk semua orang, disebar luas di seluruh commune, yang akan merupakan dasar bagi suatu piramida susunan pendidikan dengan universitas-universitas dan Kementrian Pendidikan umumnya sebagai puncaknya(Tadjab,1994:98).
Pada tahun 1808 Napoleon Bonaparte mengambil alih masalah pengelolaan kependidikan di negerinya dengan mendirikan apa yang disebut “Universitie Imperiali de France” (Universitas Kerajaan Perancis), yang pengertiannya berbeda dengan arti universitas pada umumnya. Karena istilah itu mengandung arti pembagian wilayah Perancis menjadi “daerah-daerah kependidikan” yang masing-masing disebut “Academic” yang memiliki satu universitas sebagai pusatnya. Presiden universitas itulah yang mengepalai daerah kependidikan yang disebut “academic” yang menjadi bawahan langsung dari kantor pusatnya di Paris (Arifin, 2003:84).
Dengan demikian, academic mempunyai satu universitas sebagai pusatnya, dan Presiden universitas inilah yang bertanggu jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan, pengajaran menengah tinggi.
Menurut Tadjab, monopoli pendidikan oleh negara, yang dimulai oleh Napoleon ini berakhir tahun 1850, dengan diperkenankannya perguruan-perguruan swasta berdiri. Dimana sampai saat ini ciri dan jiwa organisasi ciptaan Napoleon masih terus berlaku, dan sistem sentralisasi inilah yang merupakan ciri yang paling khas dari sistem pendidikan Prancis. (Tadjab,1994:99)
Jenjang Pendidikan Prancis
Tujuan utama pendidikan Perancis pada mulanya adalah untuk meningkatkan nasionalisme. Upaya peningkatan nasionalisme ini dilakukan melalui sekolah dengan mempromosikan buku-buku teks yang seragam isinya antara lain menekankan perlunya melanjutkan negara Perancis yang sudah ada semenjak rezim lama (kerajaan) dan pembentukan sistem baru bersifat sentralistis yang ketat.
Hampir seluruh sistem pendidikan formal di Perancis dilaksanakan secara tersentralisasi yang ketat dan dikontrol oleh Kementerian Pendidikan. Jenjang pendidikan di negara Perancis terdiri atas tiga jenjang, yaitu:
1.Pendidikan Dasar (pra-sekolah dan sekolah rendah).
2.Pendidikan Menengah.
3.Pendidikan Tinggi (Tadjab,1994:99).
Kurikulum Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Prancis
1. Pendidikan Dasar Prancis
Di Prancis Pada tingkat Sekolah Dasar (SD) yang pendidikannya adalah gratis, wajib dan tidak membedakan aliran keagamaan, terdapat dua jenis pendidikan pararel; sekolah umum pemerintah dan sekolah-sekolah menengah kecil yang disebut “lycees”. Yang terakhir ini sering menampung murid-murid yang berasal dari kelas menengah borjuis, yang selalu keberatan mengirimkan anak-anaknya ke sekolah yang sama bersama anak-anak rakyat biasa.
Dari umur 6 sampai 11 tahun anak-anak memasuki sekolah rendah. Pelajaran di tingkat ini sama bagi semua anak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun sebelum memasuki sekolah rendah itu, anak-anak memasuki pendidikan pra-sekolah, yang disebut ”ecoles maternelles” atau sekolah ibu, mulai umur 2 tahun. Pusat perhatian pendidikan pra-sekolah ini, adalah perkembangan fisik, intelek dan moral anak. Untuk mencapai tujuan tersebut kurikulumnya terdiri atas gerak badan, bermain-main, bernyanyi, menggambar dan melukis serta membuat barang-barang dengan tangan; dan diadakan latihan observasi terhadap benda-benda yang ada disekitar lingkungan anak (Tadjab,1994:100).
Pada tahun terakhir anak-anak pra-sekolah mulai diperkenalkan dengan pelajaran membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan rendah dibagi atas 3 bagian, yaitu:
1.Persiapan, bagi anak yang berumur 6 sampai 7 tahun.
2.Elementer, bagi anak yang berumur 7 sampai 9 tahun.
3.Pertengahan, bagi anak yang berumur 9 sampai 11 tahun.
Kurikulum pendidikan rendah terdiri atas: bahasa Prancis, membaca dan menulis, berhitung, sejarah dan ilmu bumi, pelajaran budi pekerti dan kewarganegaraan, dasar-dasar ilmu pasti dan alam, dasar-dasar menggambar, pekerjaan tangan, bernyanyi dan gerak badan (Tadjab,1994:100).
2. Pendidikan Menengah Prancis
Pendidikan menengah di Prancis, dimulai dengan memasuki kelas percobaan (cycle d’observation), yang pada masa lalu, melalu seleksi yang ketat; tetapi sekarang semua yang lulus sekolah dasar negeri yang memenuhi syarat dapat memasuki kelas ini tanpa seleksi. Yang diterima pada kelas percobaan ini ialah anak yang berumur paling sedikit 11 tahun dan tidak lebih dari 12 tahun (Tadjab,1994:100).
Setelah anak menyelesaikan cycle d’observation yang lamanya 2 tahun ini, terbukalah 5 jenis pendidikan bagi anak sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Jenis pertama adalah Pendidikan Penutupan, yang lamanya 3 tahun dan tidak ada lanjutannya. Kurikulumnya adalah merupakan lanjutan dari pendidikan umum sekolah dasar dan ditambah dengan mata pelajaran praktis untuk kehidupan sehari-hari. Pendidikan ini dimaksudkan bagi anak-anak yang bakatnya paling tipis dan yang kemampuan intelektualnya paling rendah. Dengan berlakunya Undang-undang wajib belajar sampai umur 16 tahun, maka pendidikan ini di akhiri dengan ujian dan ijazah pendidikan wajib. Jenis kedua adalah Pendidikan Umum Pendek, yang disebut juga dengan sekolah Menengah Umum, yang lamanya 3 tahun. Lulusan pendidikan umum ini, dapat memasuki jabatan-jabatan yang tidak bersifat teknis dan bisa memasuki Sekolah Normal (Guru). Jenis ketiga adalah Pendidikan Kejuruan Pendek, yang diberikan dalam Sekolah Menengah Kejuruan, yang lamanya 4 tahun. Pendidikan ini dimaksudkan bagi anak-anak yang berbakat teknis. Disamping memperluas pendidikan umum, pendidikan ini meliputi latihan teori dan praktek dalam suatu kejuruan dan juga diberikan spesialisasi agak mendalam. Jenis keempat adalah Pendidikan Kejuruan Panjang, yang diperuntukan bagi mereka yang berbakat teknis yang mempunyai kemampuan intelektual tinggi. Pendidikan ini terdiri dari pendidikan agen teknik, selama 4 tahun dan pendidikan ahli selama 5 tahun. Jenis kelima adalah Pendidikan Umum Panjang, yang menyiapkan anak atau lulusannya untuk memasuki pendidikan tinggi. Lama pendidikannya adalah 7 tahun, termasuk masa penentuan jurusan (kelas percobaan) (Tadjab,1994:100).
3. Pendidikan Tinggi Prancis
Jenjang pendidikan tinggi, diberikan di universitas-universitas. Universitas Sarbonne di Paris adalah Universitas Pusat. Disetiap academie ada sebuah universitas sebagai pusat. Setiap universitas, baik di pusat, maupun yang di academie-academie, terdiri dari sejumlah fakultas. Suatu universitas dapat juga meliputi lembaga-lembaga yang meliputi suatu akademi dalam ilmu-ilmu tertentu. Fakultas atau institut penelitian atau sekolah tinggi yang menjadi bagian dari suatu universitas, mempunyai otonomi yang luas; dan mempunyai fasilitas-fasilitas sendiri seperti laboratorium dan perpustakaan. Universitas Paris misalnya; mempunyai lebih dari 100 perpustakaan khusus dalam bidang-bidang tertentu dan tersebar di berbagai tempat (Tadjab,1994:101).
Pendidikan Tinggi (universitas), dibagi dalam 3 cycle, masing-masing 2 tahun lamanya dan diakhiri dengan ujian.
1.Cycle pertama mengenai ”science” terdiri dari 4 jurusan yang dapat dipilih
mahasiswa. Kalau lulus ujian pada cycle science ini, mahasiswa mendapat ijazah
D.U.E.S. dan diberi kesempatan untuk melanjutkan ke institusi lain, atau akan
terus belajar pada universitas yang sama.
2.Cycle kedua mengenai kesenian, mempunyai 5 jurusan, untuk mahasiswa yang tidak
ingin menjadi guru. Yang lulus ujian akhir cycle kesenian ini mendapat ijazah
D.U.E.L.
3.Cycle ketiga, ditujukan untuk menghasilkan para peneliti dengan gelar
”maitreise”. Bagian science terdiri dari 12 jurusan. Selama cycle ini, mahasiswa
bagian science harus mendapatkan 4 ijazah (2 ijazah) setiap tahun, sedangkan
bagian kesenian 2 ijazah. Untuk mendapatkan gelar ”maitrase” seorang mahasiswa
harus membuat thesis; pada akhir tahun ketiga diberi ijazah ”licence”, yang
menghendaki pengkhususan dalam satu atau dua mata pelajaran di sekolah. Ijazah
untuk menjadi guru Lycee diperoleh setelah menamatkan IPES (Institut de
Preparation Aux Enseignenments Du Second Degree), dan menempuh ujian negara yang
diadakan tiap tahun dan bersifat kompetitif dan selektif. Pada akhir cycle ketiga,
mahasiswa yang lulus ujian, mendapat gelar doktor (Tadjab,1994:102).
Sekolah normal diadakan untuk pendidikan guru, yang disebut ”Ecole Normale”. Sekolah Normal ini dalam setiap wilayah (academie) ada dua buah, satu untuk pria dan lainnya untuk wanita yang diterima adalah anak-anak berumur antara 15-17 tahun dan lulus ujian masuk; mereka sekurang-kurangnya harus sudah tamat kelas III sekolah menengah. Lama belajarnya 4 tahun, 3 tahun pertama untuk melengkapi pendidikan calon guru sampai tingkat baccalaureat dan pada tahun keempat untuk pendidikan keguruan serta prakteknya. Sedangkan untuk sekolah guru menengah (lycee) harus mendapatkan pendidikan di perguruan tinggi dan IPES sebagaimana telah dikemukakan. Beberapa lulusan menengah yang terbaik dalam ujian masuk, dapat diterima di Sekolah Normal Tinggi (Ecole Normale Superieur), yang merupakan salah satu bentuk ”Grand Ecole” atau sekolah tinggi bukan universitas. Oleh karena lulusan Grand Ecole ini terjamin kedudukannya setelah tamat, bebas uang kuliah, malahan diberi uang pemondokan dan uang saku, maka banyak sekali yang ingin masuk, tetapi tempatnya sangat terbatas; karenanya ujian masuk diperberat.
Jenjang Pendidikan Indonesia
Berdasarkan UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, jenjang pendidikan di Indonesia ada 3 yaitu;
1.Pendidikan Dasar
2.Pendidikan Menengah
3.Pendidikan Tinggi
Kurikulum Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Indonesia
1.Pendidikan Dasar Indonesia
Pendidikan Dasar di Indonesia, dimulai dengan jenjang pendidikan yang pertama yaitu: Pendidikan anak usia dini.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal (UU, Sisdiknas, pasal 28;2003).
Menurut Sisdiknas Pasal 28 ayat 3, Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1.Taman Kanak-kanak (TK),
2.Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Di Indonesia Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Pendidikan dasar berbentuk:
1.Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat; serta
2.Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain
yang sederajat.
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal (UU, Sisdiknas, pasal 37:2003).
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah dibawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah (UU, Sisdiknas, pasal 38;2003).
2.Pendidikan Menengah Indonesia
Di Indonesia pendidikan menengah juga terdiri dari beberapa jenis pendidikan. Pendidikan Menengah merupakan lanjutan dari pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas:
1. Pendidikan menengah umum, dan
2. Pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1.Sekolah Menengah Atas (SMA),
2.Madrasah Aliyah (MA),
3.Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4.Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat (UU, Sisdiknas, pasal 18, 2003).
Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan, pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan menengah umum maupun kejuruan lama pendidikannya 3 tahun (sisdiknas, pasal 15, 2003).
Kurikulum Pendidikan Menengah wajib memuat; pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal (UU, Sisdiknas, pasal 37:2003).
3.Pendidikan Tinggi Indonesia
Jenjang Pendidikan Tinggi di Indonesia terdiri dari beberapa macam dimana, pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (UU, Sisdiknas, pasal 19: 2003).
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. Akademi,
2. Politeknik,
3. Sekolah tinggi,
4. Institut, atau
5. Universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi (UU, Sisdiknas, pasal 20,2003).
Kerangka dasar dan struktur kurikulum Pendidikan Tinggi di Indonesia dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Dimana kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan dan bahasa.
Analisis Aspek Jenjang dan Kurikulum Pendidikan Prancis dan Indonesia.
Berikut adalah tabel mengenai perbandingan antara sistem pendidikan Prancis dan Indonesia, merujuk pada pembahasan mengenai jenjang dan kurikulumnya.

Berdasarkan tabel diatas jika dilihat pendidikan dasar antara Indonesia dan Prancis terdapat perbedaan dalam hal pembagian jenjangnya, jika di Indonesia pendidikan dasar meliputi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menegah Pertama (SMP) dengan tingkat usia peserta didik 7-15 tahun wajib mengenyam pendidikan, untuk mendukung program pemerintah yaitu, terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara. Sedangkan di Perancis Pendidikan Dasar terbagi lagi dalam 3 tingkatan, di mana sistem pendidikan memiliki aturan untuk menjamin bahwa semua siswa wajib memperoleh satu batang kompetensi dan pengetahuan dalam tujuh domain berikut: Bahasa Perancis, Satu bahasa asing lainnya, Matematika dan ilmu Sastra, Informasi dan Teknologi, Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan, Semangat otonomi dan inisiatif.
Berdasarkan tabel diatas pada Pendidikan Menengah, sistem pendidikan antara Indonesia dan Prancis banyak terdapat perbedaan. Untuk pendidikan menengah Indonesia lama pendidikan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 3 tahun. Sementara pada sistem pendidikan Prancis masih terdapat 5 jenis pendidikan bagi siswa yang disesuaikan dengan bakat dan kemampuannya. Lama pendidikan yang ditempuh sesuai dengan jenis pendidikan yang dipilih, rata-rata waktu pendidikan ada yang 3 tahun, 4 tahun bahkan sampai 7 tahun. Ini menunjukan adanya perbedaan antara pendidikan menengah antara Indonesia dan Perancis. Demikian juga pada kurikulumnya di Prancis sudah terspesifikasi dalam satu bidang ilmu yang akan digeluti sesuai dengan kemampuan siswa itu sendiri. Sementara di Indonesia ada dua pendidikan menengah yang bisa dippilih siswa sesuai dengan kemampuannya, baik untuk pendidikan umum maupun pendidikan kejuruan.
Terdapat perbedaan-perbedaan sistem pendidikan tinggi di Indonesia dan Prancis, di Prancis untuk memperoleh pendidikan tinggi harus mengikuti beberapa tahapan yang pada akhirnya akan mendapatkan gelar setelah mengikuti ujian negara sesuai dengan jurusan yang di pilih mahasiswa sementara mengenai kurikulum pendidikan tinggi secara keseluruhan bersifat sentralisasi yang diatur oleh sebuah komisi nasional pendidikan. Di Indonesia pun demikian juga bahwa pendidikan tinggi terdiri dari berbagai bentuk baik akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas namun pada persoalan kurikulum pendidikan tinggi Indonesia memiliki wewenang dalam hal penyelanggaraan pendidikan, hal ini terlihat pada kurikulum pendidikan tinggi yang dikembangkan oleh perguruan tinggi dengan menagcu pada standar nasional pendidikan. Jadi terdapat perbedaan antara pendidikan tinggi Indonesia dan Perancis terutama dalam hal penyelenggaraan kurikulum.
Kesimpulan
Sistem pendidikan Indonesia dan Prancis pada pembagian jenis dan jenjang pendidikannya hampir memiliki kesamaan mulai dari pendidikan dasar yang terdiri dari pendidikan pra-sekolah dan sekolah dasar, pendidikan menengah yang terbagi dalam pendidikan menengah umum dan kejuruan, dan pendidikan tinggi yang terdiri dari berbagai jenis jurusan, hanya saja terdapat perbedaan dalam tahapan penerimaan mahasiswa pada pendidikan tinggi.
Di Prancis sistem pendidikan bersifat sentralistis, maka pengembangan kurikulum sekolah diatur oleh sebuah komisi nasional beranggotakan terutama anggota korp Inspektur Jendral. Cakupan kurikulum bersifat nasional dan sedikit sekali peluang yang diberikan untuk muatan lokal daerah. Dengan demikian, kurikulum yang dirancang oleh Perancis Departemen Pendidikan Nasional berlaku untuk semua sekolah di Perancis.
Di Indonesia sistem pendidikan Indonesia bersifat desentralisasi, walaupun masih ada hal-hal tertentu yang bersifat sentralisasi, contohnya ujian nasional. Namun pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan, serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
Daftar Pustaka
Arifin. 2003. Ilmu Perbandingan Pendidikan. Cetakan ke 6. Golden Terayon Press. Jakarta.
Himpunan Perundang-Undangan RI Tentang sistem Pendidikan Nasional. 2003.
Nur, Agustiar Syah. 2001. Perbandingan Sistem Pendidikan 15 Negara. Lubuk Agung. Bandung.
Tadjab. 1994. Perbandingan Pendidikan. Karya Abditama. Surabaya.
Selasa, 24 Maret 2009
Analisis Kebutuhan Pada Mata Pelajaran Sejarah
ANALISIS KEBUTUHAN PADA MATA PELAJARAN SEJARAH*
Miftahul Jannah**
Pendahuluan
Menganalisis kebutuhan merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam mendesain pembelajaran. Hal ini sesuai dengan tujuan desain yang dikembangkan untuk siswa. Mendesain pembelajaran yang diawali dengan studi kebutuhan memungkinkan hasilnya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh individu yang memerlukannya.
Dalam konteks pengembangan kurikulum,John McNeil (1985) mendefinisikan need assesment sebagai: “the process by which one defines educational needs and decides what their priorities are”. Jadi menurut McNeil, assessment itu adalah proses menentukan prioritas kebutuhan pendidikan. Selanjutnya, ia mendefinisikan tentang kebutuhan sebagai “...a condition in which there is a discrepancy between an acceptable state of learner behavior or attitude and an observed learner state”.
Sejalan dengan pendapat McNeil, Seels dan Glasgow (1990) menjelaskan tentang pengertian need assessment: “it means a plan for gathering information about discrepancies an for using that information to make decisions about priorities”. Kebutuhan itu pada dasarnya adalah kesenjangan (discrepancies) antara apa yang telah tersedia dengan apa yang diharapkan dan need assessment adalah proses mengumpulkan informasi tentang kesenjangan dan menentukan prioritas dari kesenjangan untuk dipecahkan (Sanjaya,2008:92).
Ada beberapa hal yang melekat pada pengertian need assessment, seperti yang dikemukakan baik oleh McNeil maupun Glasgow. Pertama, need assessment merupakan suatu proses artinya ada rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan need assessment. Need assessment bukanlah suatu hasil, akan tetapi suatu aktivitas tertentu dalam upaya mengambil keputusan tertentu. Kedua, kebutuhan itu sendiri pada hakikatnya adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Sanjaya,2008:92).
Dengan demikian, maka need assessment itu adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang kesenjangan yang seharusnya dimiliki setiap siswa dengan apa yang telah dimiliki.
Kegiatan melaksanakan need assessment merupakan suatu kegiatan yang pertama kali harus dilakukan dalam setiap model desain instruksional. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya melacak informasi tentang harapan dan kenyataan, yakni kemampuan yang diharus dimiliki dengan kemampuan yang telah dimiliki. Dimana need assessment adalah penelusuran tentang proses belajar, kebutuhan peserta didik serta harapan yang harus dicapai dalam proses belajar lanjutan (Prawiradilaga,2007:27).
Need assessment yang akan dibahas pada makalah ini adalah analisis yang terkait pada mata pelajaran Sejarah. Need assessment, yang akan dilakukan pada mata pelejaran sejarah adalah mengenai cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional dan spiritual peserta didik.
Langkah-langkah analisi kebutuhan (need assessment), sebagai suatu proses, need assessment terdiri atas rangkaian kegiatan yang diawali oleh kegiatan mengumpulkan informasi dan berakhir pada perumusan masalah (Sanjaya,2008:92).
Menurut Sanjaya (2008:93), adapun langkah-langkah analisis kebutuhan adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan informasi
2. Identifikasi kesenjangan
3. Analisis performance
4. Identifikasi hambatan dan sumber
5. Identifikasi karakteristik siswa
6. Identifikasi prioritas dan tujuan
7. Merumuskan masalah
Analisis kebutuhan yang akan dilakukan adalah mata pelajaran Sejarah, dengan standar kompetensi: Memahami prinsip dasar ilmu sejarah.
Analisis Kebutuhan Pada Mata Pelajaran Sejarah
1. Tahap Pengumpulan Informasi
Dalam merancang pembelajaran pertama kali seorang desainer perlu memahami terlebih dahulu informasi tentang siapa dapat mengerjakan apa, siapa memahami apa, siapa yang akan belajar, kendala-kendala apa yang dihadapi, dan bagaimana pengaruh keadaan tertentu terhadap karakteristik siswa (Sanjaya,2008:93).
Pengumpulan informasi pada analisis kebutuhan ini akan terkait pada standar kompetensi Menganalisis Peradaban Indonesia dan Dunia. Hal –hal yang perlu dibahas pada standar kompetensi ini adalah mengapa standar kompetensi ini perlu diberikan kepada peserta didik? Kendala-kendala apa yang dihadapi? Dan bagaimana pengaruh keadaan tertentu terhadap karakteristik siswa dalam proses pembelajaran?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas akan dijawab dengan cara menganalisis secara seksama mengapa standar kompetensi ini perlu diberikan kepada peserta didik? Terkait dengan salah satu tujuan dari proses pembelajaran sejarah maka standar kompetensi ini, wajib diberikan kepada siswa dengan harapan siswa akan dapat memahami prinsip dasar ilmu sejarah. Karena pada konsepnya sejarah terkait dengan masa lampau. Masa lampau ini berisi peristiwa dan setiap peristiwa sejarah hanya terjadi sekali. Jadi pembelajaran sejarah adalah pembelajaran peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang telah terjadi. Sementara materi pokok pembelajaran sejarah adalah produk masa kini berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada.
Karena itu dalam pembelajaran sejarah harus lebih cermat, kritis, berdasarkan sumber-sumber dan tidak memihak menurut kehendak sendiri dan kehendak pihak-pihak tertentu.
Siswa Sebagai Objek Belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai materi pelajaran. Mereka dianggap sebagai organisme yang pasif, yang belum memahami apa yang harus dipahami, sehingga melalui proses pengajaran mereka dituntut memahami segala sesuatu yang diberikan guru. Peran siswa adalah sebagai penerima informasi yang diberikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang harus dipelajari kadang-kadang tidak berpijak dari kebutuhan siswa, baik dari segi pengembangan bakat maupun dari minat siswa, akan tetapi berangkat dari pandangan apa yang menurut guru dianggap baik dan bermanfaat (Sanjaya,2008:96).
Dengan keadaan diatas, jika siswa sebagai objek belajar, kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk belajar dengan gayanya, sangat terbatas. Sebab, dalam proses pembelajaran segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.
Namun tidak demikian perlakuan yang didapatkan oleh siswa di SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III, khususnya mata pelajaran Sejarah, disini siswa bisa memberikan pendapat tentang proses pembelajaran yang diinginkan. Apakah dengan metode ceramah atau diskusi kelompok (cooperative learning), dengan demikian diharapkan siswa akan dapat dalam merangkai satu fakta dengan fakta yang lain, dalam menjelaskan peristiwa sejarah yang satu dengan peristiwa sejarah yang lain perlu mengingat prinsip sebab-akibat, dimana peristiwa yang satu diakibatkan oleh peristiwa sejarah lain dan peristiwa sejarah yang satu akan menjadi sebab peristiwa sejarah berikutnya.
Mengapa Need Assessment dibutuhkan?
Jika berbicara mengapa need assessment dibutuhkan? ini terkait pada hasil proses pembelajaran. Pada mata pelajaran Sejarah need assessment yang dibutuhkan adalah penilaian kognitif dan afektif, karena materi pelajaran sejarah mencakup fakta, konsep, prinsip atau hukum. Pemilihan materi pembelajaran harus sesuai dengan tuntutan kompetensi. Need assessment dibutuhkan karena dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan hasil belajar, pada mata pelajaran sejarah apabila setiap siswa telah mengerjakan tugas yang diberikan akan diberi penialain sesuai dengan tingkat kognitif siswa masing-masing dengan demikian akan memotivasi siswa untuk menjadi lebih baik, hal ini dapat dilihat dari ekspresi siswa ketika mengatahui hasi dari tes maupun tugas yang diberikan.
Meliputi apa saja need assessment
Pada mata pelajaran Sejarah need assessment yang dibutuhkan adalah penilaian yang bersifat kognitif dan afektif. Seperti yang dikatakan Bloom (1977), tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berpikir disebut tujuan dalam kawasan kognitif. Kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sesuatu merupakan jenjang kemampuan dalam kawasan ini. Jika merujuk pada pendapat Bloom diatas maka siswa SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III, belum sepenuhnya memiliki tingkat kognitif yang tinggi hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian Identifikasi Hambatan dan Sumber.
Afektif tujuannya, berintikan pada kemampuan bersikap. Sejauh mana sikap siswa terhadap segala sesuatu baik sikap terhadap pengaplikasian hasil belajar maupun sikap terhadap lingkungan sosial, hal ini akan menambah penilaian bagi siswa, jadi tidak hanya kognitif yang diutamakan afektif juga memegang peranan penting terhadap proses pembelajaran. Dengan adanya need assessment ini diharapkan nantinya dapat menyusun Tujuan Instruksional Umum untuk mata pelajaran sejarah.
2.Tahap Identifikasi Kesenjangan
Dalam mengidentifikasikan kesenjangan Kaufman dan English (1979), menjelaskan identifikasi kesenjangan melalui Organizational Elements Model (OEM). Dalam model OEM, Kaufman menjelaskan adanya lima elemen yang saling berkaitan. Dua elemen pertama, yaitu input dan proses adalah bagaimana menggunakan setiap potensi dan sumber yang ada; sedangkan elemen terakhir meliputi produk output dan outcome merupakan hasil akhir dari suatu proses (Sanjaya,2008:95).
Dengan demikian yang termasuk komponen input, meliputi kondisi yang tersedia diantaranya adalah guru, siswa, problem, tujuan, materi kurikulum yang ada. Jika dikaitkan dengan kategori diatas maka guru untuk mata pelajaran sejarah pada SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III terdapat dua orang guru, dengan jumlah siswa sekitar 147 orang, problem yang dihadapi adalah kekurangan sarana dan prasarana penunjang dalam proses pembelajaran, materi kurikulum yang dipakai adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), khususnya untuk mata pelajaran sejarah siswa diharapkan mampu untuk menganalisis setiap peristiwa sejarah.
Komponen proses, meliputi pelaksanaan pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan kurikulum, dalam pembelajaran sejarah indikator merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.
Komponen output, meliputi ijazah kelulusan, ketrampilan prasyarat, lisensi. Komponen outcome, meliputi kecukupan dan kontribusi individu atau kelompok saat ini dan masa depan. Outcome, merupakan hasil akhir yang diperoleh dan dapat diterima dalam masyarakat. Melalui analisis hasil, desainer dapat menentukan sejauh mana hasil yang diperoleh dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan khususnya tujuan dari proses pembelajaran tersebut.
3. Analisis Performance
Menganalisis performance dilakukan setelah desainer memahami berbagai informasi dan mengidentifikasi kesenjangan yang ada (Sanjaya,2008:96). Analisis performance meliputi beberapa hal diantaranya adalah:
§ Mengidentifikasi guru. Bagaimana kinerja guru selama ini dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam penglolaan pembelajaran? Sejauh pengamatan saya jika berkaitan dengan kinerja dan tanggung jawab guru dalam proses pembelajaran pada SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III, sudah cukup baik, hal ini dapat dilihat dari kedatangan guru yang selalu tepat waktu dan selalu melakukan proses pembelajaran yang baik dengan harapan apa yang dijelaskan akan dipahami oleh siswa.
§ Mengidentifikasi sarana dan kelengkapan penunjang. Bagaimana kelengkapan sarana dan prasarana yang dapat menunjang keberhasilan pembelajaran? Harus diakui secara umum, jika berkaitan dengan saran dan prasarana penunjang dalam proses pembelajaran pada SMA kami masih banyak kekurangan, pada SMA ini hanya menggunakan buku paket saja. Untuk sumber belajar yang lain belum tersedia, khususnya untuk mata pelajaran sejarah.
§ Mengidentifikasi kebijakan sekolah. Bagaimana kebijakan-kebijakan sekolah dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran? Sejauh ini kebijakan-kebijakan yang ada sudah dirasakan cukup baik.
§ Mengidentifikasi iklim sosial dan iklim psikologis. Bagaimana suasana disekolah? Apakah sekolah memiliki iklim yang baik sehingga dapat mendukung keberhasilan dalam setiap program? Iklim sosial yang ada pada SMA PGRI Pulau Harapan sejauh ini sudah terjalin dengan baik antara semua unsur sekolah; sedangkan iklim psikologis yang berkaitan dengan suasana kebersamaan antara semua unsur sekolah juga sudah terjalin dengan baik.
Dengan demikian, secara keselurahan analisis performance pada SMA PGRI Pulau Harapan Bayuasin III, sudah cukup baik hanya saja masih kekurangan dalam kelengkapan sarana dan prasarana sebagai faktor pendukung keberhasilan dalam proses pembelajaran.
4. Mengidentifikasi Kendala Beserta Sumber-sumbernya
Dalam pelaksanaan suatu program berbagai kendala bisa muncul sehingga dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu program. Kendala pada mata pelajaran sejarah pada SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III diantaranya adalah kekurangan media pembelajaran. Karena strategi pembelajaran sejarah yang biasa digunakan adalah strategi ekspositori peran guru cenderung lebih dominan. Pemilihan strategi ekspositori berdasarkan karakteristik materi yang dominan pada konsep dan prinsip, serta lebih abstrak. Sementara sumber belajar langsung berupa alat atau model yang tersedia terbatas.
5. Identifikasi Karakteristik Siswa
Tujuan utama dalam desain pembelajaran adalah memecahkan berbagai problema yang dihadapi siswa, oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan siswa adalah bagian dari need assessment. Identifikasi yang berkaitan dengan siswa diantaranya adalah; tentang usia, jenis kelamin, level pendidikan, tingkat sosial ekonomi, latar belakang, gaya belajar dan sikap (Sanjaya,2008:99).
Berdasarkan identifikasi yang berkaitan dengan siswa diatas dapat diambil secara garis besar bahwa gaya belajar siswa ada yang gaya belajar visual, auditori, kinestetik dan ada juga gabungan dari ketiga gaya belajar tersebut hanya saja biasanya satu gaya yang mendominasi. Sedangkan pada tingkat sosial ekonomi, jika dilihat dari penghasilan orang tua siswa banyak berasal dari keluarga yang mapan dengan diimbangi hubungan sosial yang baik.
6. Identifikasi Prioritas dan Tujuan
Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional diperoleh jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh siswa. Jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar. Ia merupakan hasil belajar yang diharapkan dikuasai siswa setelah menyelesaikan sekolah. Karena sifatnya yang masih umum, maka disebut tujuan instruksional umum (Suparman,2001:75).
Tujuan instruksional dalam kawasan manapun harus dirumuskan dengan kata kerja operasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Dalam proses pembelajaran sejarah dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar (KD)/TIU. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
7. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah yang dimaksud disini adalah hasil analisis kebutuhan untuk merumuskan tujuan instruksional umum (TIU), yang sekarang disebut sebagai Kompetensi Dasar (KD), yang pada prinsipnya fungsi antara TIU dan KD sama saja hanya dalam penyebutan istilah yang berbeda. Dalam makalah ini akan lebih cenderung menggunakan istilah kompetensi dasar (KD).
Kompetensi dasar mata pelajaran sejarah dirumuskan berdasarkan struktur keilmuan sejarah dan tuntutan kompetensi lulusannya. Jika melihat pada standar kompetensi mata pelajaran sejarah adalah kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan siswa untuk mata pelajaran sejarah; kompetensi mata pelajaran sejarah yang harus dimiliki siswa; kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan SMA dalam mata pelajaran sejarah. Sesuai dengan pengertian tersebut maka standar kompetensi mata pelajaran sejarah adalah kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan siswa untuk mata pelajaran sejarah (Depdiknas,2006).
Berdasarkan penjabaran diatas maka akan dicoba untuk menyusun kompetensi dasar (KD). Dengan standar kompetensi yang telah ditentukan yaitu “Memahami Prinsip Dasar Ilmu Sejarah”. Berdasarkan langkah-langkah Analisis Kebutuhan yang telah dilakukan diatas, maka dalam merumuskan kompetensi dasar perlu diperhatikan karakteristik Standar kompetensi (SK), melalui telaah kata kerja operasional yang digunakan. Untuk kompetensi yang menuntut penguasaan konsep dan prinsip menggunakan kata kerja operasional yang sesuai dan berbeda untuk kompetensi yang menuntut kemampuan operasional atau prosedural.
Sehingga timbul pertanyaan kenapa KD diperlukan? Karena KD merupakan tolak ukur akan keberhasilan standar kompetensi (SK) mata pelajaran, melalui KD dapat diharapakan bahwa keberhasilan itu akan tercapai, dimana nantinya KD ini akan terbagi dalam sub-sub judul kecil yang disebut indikator. Indikator harus memadai sehingga mencapai kompetensi yang diperlukan. Keseluruhan indikator dalam satu KD minimal harus mencapai tingkat kompetensi dalam KD, meskipun dapat dikembangkan lebih tinggi jika kondisinya memungkinkan.
Berikut ini akan dijabarkan KD yang merujuk pada standar kompetensi “Memahami Prinsip Dasar Ilmu Sejarah”. Penjabaran standar kompetensi (SK) menjadi Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan analisis kebutuhan yang telah dilakukan sebelumnya.
Penjabaran Standar Kompetensi (SK) Menjadi Kompetensi Dasar (KD).
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami prinsip dasar
ilmu sejarah 1.1.Menjelaskan pengertian ruang lingkup
ilmu sejarah.
1.2.Mendeskripsikan tradisi sejarah dalam
masyarakat Indonesia masa pra-aksara
dan masa aksara.
1.3.Menggunakan prinsip-prinsip dasar
penelitian sejarah
Berikut ini akan dijelaskan satu perstu mengenai KD diatas kenapa harus diberikan kepada siswa? KD harus diberikan kepada siswa dengan tujuan untuk mempermudah penyampaian materi pelajaran kepada siswa karena sifatnya sebagai kompetensi dasar yang harus dicapai oleh setiap siswa yang nantinya dalam penjabaran akan menjadi indikator-indikator yang disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan sekolah.
Untuk KD yang pertama 1.1. Menjelaskan pengertian ruang lingkup ilmu sejarah kenapa KD ini harus diberikan kepada siswa?
Pada KD ini nantinya siswa akan dapat menjelaskan segala sesuatu yang termasuk dalam ruang lingkup ilmu sejarah, pada KD ini siswa akan dapat mengetahui apa pengertian sejarah baik secara umum maupun khusus, manfaat sejarah, pengertian sumber, bukti dan fakta sejarah serta periodesasi dan kronologi sejarah Indonesia. Yang nantinya ketercapaian KD ini akan dilihat dari keberhasilan yang dicapai siswa melalui indikator-indikator yang dijabarkan.
Untuk KD yang kedua 1.2. Mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra-aksara dan masa aksara kenapa KD ini harus diberikan kepada siswa?
Karena pada prinsipnya sejarah bersifat kronologis. Oleh karena itu, dalam mengorganisasikan proses pembelajaran sejarah haruslah didasarkan pada urutan kronologis peristiwa sejarah. Dengan adanya KD ini siswa akan dapat menjelaskan tradisi sejarah pada masyarakat pra-aksara dan masyarakat pada masa aksara, yang nantinya akan dijabarkan dalam indikator-indikator yang mudah dipahami siswa.
Untuk KD yang ketiga 1.3. Menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian sejarah, kenapa KD ini harus diberikan kepada siswa?
Dengan adanya KD ini siswa akan dapat menjelaskan mengenai prinsip-prinsp dasar penelitian sejarah, baik prinsip sebab-akibat dalam kajian sejarah maupun prinsip kronologis dalam kajian sejarah.
Berdasarkan analisis diatas maka dengan adanya KD dapat mempermudah seorang guru dalam mengembangkan bahan ajar, yang disesuaikan dengan indikator-indikator yang akan dijabarkan, karena indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Kesimpulan
Analisis kebutuhan adalah penelusuran tentang proses belajar, kebutuhan peserta didik serta harapan yang harus dicapai dalam proses belajar lanjutan. Analisis kebutuhan bermanfaat antara lain untuk :
§ Rumusan tujuan pembelajaran serta analisis tugas yang harus dilaksanakan;
§ Pengalaman belajar yang harus dimiliki
§ Dukungan dan hambatan terhadap proses belajar
Analisis kebutuhan disusun berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:
§ Pengumpulan informasi
§ Identifikasi kesenjangan
§ Analisis performance
§ Identifikasi hambatan dan sumber
§ Identifikasi karakteristik siswa
§ Identifikasi prioritas dan tujuan
§ Merumuskan masalah
Berdasarkan analisis kebutuhan yang telah dilakukan pada mata pelajaran sejarah, terdapat kesenjangan dalam hal ketersediaan media pembelajaran. Karena sifat pembelajaran sejarah cenderung abstrak, sehingga sangat diperlukan sarana dan prasarana penunjang dalam proses pembelajaran agar KD yang diharapkan akan dapat tercapai oleh siswa-siswa.
Daftar Pustaka
Prawiradilaga, Salma Dewi. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. UNJ: Jakarta
Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Kencana: Jakarta
Suparman, Atwi. 2001. Desain Instruksional. Depdiknas: Jakarta.
Miftahul Jannah**
Pendahuluan
Menganalisis kebutuhan merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam mendesain pembelajaran. Hal ini sesuai dengan tujuan desain yang dikembangkan untuk siswa. Mendesain pembelajaran yang diawali dengan studi kebutuhan memungkinkan hasilnya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh individu yang memerlukannya.
Dalam konteks pengembangan kurikulum,John McNeil (1985) mendefinisikan need assesment sebagai: “the process by which one defines educational needs and decides what their priorities are”. Jadi menurut McNeil, assessment itu adalah proses menentukan prioritas kebutuhan pendidikan. Selanjutnya, ia mendefinisikan tentang kebutuhan sebagai “...a condition in which there is a discrepancy between an acceptable state of learner behavior or attitude and an observed learner state”.
Sejalan dengan pendapat McNeil, Seels dan Glasgow (1990) menjelaskan tentang pengertian need assessment: “it means a plan for gathering information about discrepancies an for using that information to make decisions about priorities”. Kebutuhan itu pada dasarnya adalah kesenjangan (discrepancies) antara apa yang telah tersedia dengan apa yang diharapkan dan need assessment adalah proses mengumpulkan informasi tentang kesenjangan dan menentukan prioritas dari kesenjangan untuk dipecahkan (Sanjaya,2008:92).
Ada beberapa hal yang melekat pada pengertian need assessment, seperti yang dikemukakan baik oleh McNeil maupun Glasgow. Pertama, need assessment merupakan suatu proses artinya ada rangkaian kegiatan dalam pelaksanaan need assessment. Need assessment bukanlah suatu hasil, akan tetapi suatu aktivitas tertentu dalam upaya mengambil keputusan tertentu. Kedua, kebutuhan itu sendiri pada hakikatnya adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Sanjaya,2008:92).
Dengan demikian, maka need assessment itu adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang kesenjangan yang seharusnya dimiliki setiap siswa dengan apa yang telah dimiliki.
Kegiatan melaksanakan need assessment merupakan suatu kegiatan yang pertama kali harus dilakukan dalam setiap model desain instruksional. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya melacak informasi tentang harapan dan kenyataan, yakni kemampuan yang diharus dimiliki dengan kemampuan yang telah dimiliki. Dimana need assessment adalah penelusuran tentang proses belajar, kebutuhan peserta didik serta harapan yang harus dicapai dalam proses belajar lanjutan (Prawiradilaga,2007:27).
Need assessment yang akan dibahas pada makalah ini adalah analisis yang terkait pada mata pelajaran Sejarah. Need assessment, yang akan dilakukan pada mata pelejaran sejarah adalah mengenai cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran, sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional dan spiritual peserta didik.
Langkah-langkah analisi kebutuhan (need assessment), sebagai suatu proses, need assessment terdiri atas rangkaian kegiatan yang diawali oleh kegiatan mengumpulkan informasi dan berakhir pada perumusan masalah (Sanjaya,2008:92).
Menurut Sanjaya (2008:93), adapun langkah-langkah analisis kebutuhan adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan informasi
2. Identifikasi kesenjangan
3. Analisis performance
4. Identifikasi hambatan dan sumber
5. Identifikasi karakteristik siswa
6. Identifikasi prioritas dan tujuan
7. Merumuskan masalah
Analisis kebutuhan yang akan dilakukan adalah mata pelajaran Sejarah, dengan standar kompetensi: Memahami prinsip dasar ilmu sejarah.
Analisis Kebutuhan Pada Mata Pelajaran Sejarah
1. Tahap Pengumpulan Informasi
Dalam merancang pembelajaran pertama kali seorang desainer perlu memahami terlebih dahulu informasi tentang siapa dapat mengerjakan apa, siapa memahami apa, siapa yang akan belajar, kendala-kendala apa yang dihadapi, dan bagaimana pengaruh keadaan tertentu terhadap karakteristik siswa (Sanjaya,2008:93).
Pengumpulan informasi pada analisis kebutuhan ini akan terkait pada standar kompetensi Menganalisis Peradaban Indonesia dan Dunia. Hal –hal yang perlu dibahas pada standar kompetensi ini adalah mengapa standar kompetensi ini perlu diberikan kepada peserta didik? Kendala-kendala apa yang dihadapi? Dan bagaimana pengaruh keadaan tertentu terhadap karakteristik siswa dalam proses pembelajaran?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas akan dijawab dengan cara menganalisis secara seksama mengapa standar kompetensi ini perlu diberikan kepada peserta didik? Terkait dengan salah satu tujuan dari proses pembelajaran sejarah maka standar kompetensi ini, wajib diberikan kepada siswa dengan harapan siswa akan dapat memahami prinsip dasar ilmu sejarah. Karena pada konsepnya sejarah terkait dengan masa lampau. Masa lampau ini berisi peristiwa dan setiap peristiwa sejarah hanya terjadi sekali. Jadi pembelajaran sejarah adalah pembelajaran peristiwa sejarah dan perkembangan masyarakat yang telah terjadi. Sementara materi pokok pembelajaran sejarah adalah produk masa kini berdasarkan sumber-sumber sejarah yang ada.
Karena itu dalam pembelajaran sejarah harus lebih cermat, kritis, berdasarkan sumber-sumber dan tidak memihak menurut kehendak sendiri dan kehendak pihak-pihak tertentu.
Siswa Sebagai Objek Belajar
Konsep mengajar sebagai proses menyampaikan materi pelajaran menempatkan siswa sebagai objek yang harus menguasai materi pelajaran. Mereka dianggap sebagai organisme yang pasif, yang belum memahami apa yang harus dipahami, sehingga melalui proses pengajaran mereka dituntut memahami segala sesuatu yang diberikan guru. Peran siswa adalah sebagai penerima informasi yang diberikan guru. Jenis informasi dan pengetahuan yang harus dipelajari kadang-kadang tidak berpijak dari kebutuhan siswa, baik dari segi pengembangan bakat maupun dari minat siswa, akan tetapi berangkat dari pandangan apa yang menurut guru dianggap baik dan bermanfaat (Sanjaya,2008:96).
Dengan keadaan diatas, jika siswa sebagai objek belajar, kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk belajar dengan gayanya, sangat terbatas. Sebab, dalam proses pembelajaran segalanya diatur dan ditentukan oleh guru.
Namun tidak demikian perlakuan yang didapatkan oleh siswa di SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III, khususnya mata pelajaran Sejarah, disini siswa bisa memberikan pendapat tentang proses pembelajaran yang diinginkan. Apakah dengan metode ceramah atau diskusi kelompok (cooperative learning), dengan demikian diharapkan siswa akan dapat dalam merangkai satu fakta dengan fakta yang lain, dalam menjelaskan peristiwa sejarah yang satu dengan peristiwa sejarah yang lain perlu mengingat prinsip sebab-akibat, dimana peristiwa yang satu diakibatkan oleh peristiwa sejarah lain dan peristiwa sejarah yang satu akan menjadi sebab peristiwa sejarah berikutnya.
Mengapa Need Assessment dibutuhkan?
Jika berbicara mengapa need assessment dibutuhkan? ini terkait pada hasil proses pembelajaran. Pada mata pelajaran Sejarah need assessment yang dibutuhkan adalah penilaian kognitif dan afektif, karena materi pelajaran sejarah mencakup fakta, konsep, prinsip atau hukum. Pemilihan materi pembelajaran harus sesuai dengan tuntutan kompetensi. Need assessment dibutuhkan karena dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan hasil belajar, pada mata pelajaran sejarah apabila setiap siswa telah mengerjakan tugas yang diberikan akan diberi penialain sesuai dengan tingkat kognitif siswa masing-masing dengan demikian akan memotivasi siswa untuk menjadi lebih baik, hal ini dapat dilihat dari ekspresi siswa ketika mengatahui hasi dari tes maupun tugas yang diberikan.
Meliputi apa saja need assessment
Pada mata pelajaran Sejarah need assessment yang dibutuhkan adalah penilaian yang bersifat kognitif dan afektif. Seperti yang dikatakan Bloom (1977), tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berpikir disebut tujuan dalam kawasan kognitif. Kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sesuatu merupakan jenjang kemampuan dalam kawasan ini. Jika merujuk pada pendapat Bloom diatas maka siswa SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III, belum sepenuhnya memiliki tingkat kognitif yang tinggi hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang akan dibahas lebih lanjut pada bagian Identifikasi Hambatan dan Sumber.
Afektif tujuannya, berintikan pada kemampuan bersikap. Sejauh mana sikap siswa terhadap segala sesuatu baik sikap terhadap pengaplikasian hasil belajar maupun sikap terhadap lingkungan sosial, hal ini akan menambah penilaian bagi siswa, jadi tidak hanya kognitif yang diutamakan afektif juga memegang peranan penting terhadap proses pembelajaran. Dengan adanya need assessment ini diharapkan nantinya dapat menyusun Tujuan Instruksional Umum untuk mata pelajaran sejarah.
2.Tahap Identifikasi Kesenjangan
Dalam mengidentifikasikan kesenjangan Kaufman dan English (1979), menjelaskan identifikasi kesenjangan melalui Organizational Elements Model (OEM). Dalam model OEM, Kaufman menjelaskan adanya lima elemen yang saling berkaitan. Dua elemen pertama, yaitu input dan proses adalah bagaimana menggunakan setiap potensi dan sumber yang ada; sedangkan elemen terakhir meliputi produk output dan outcome merupakan hasil akhir dari suatu proses (Sanjaya,2008:95).
Dengan demikian yang termasuk komponen input, meliputi kondisi yang tersedia diantaranya adalah guru, siswa, problem, tujuan, materi kurikulum yang ada. Jika dikaitkan dengan kategori diatas maka guru untuk mata pelajaran sejarah pada SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III terdapat dua orang guru, dengan jumlah siswa sekitar 147 orang, problem yang dihadapi adalah kekurangan sarana dan prasarana penunjang dalam proses pembelajaran, materi kurikulum yang dipakai adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), khususnya untuk mata pelajaran sejarah siswa diharapkan mampu untuk menganalisis setiap peristiwa sejarah.
Komponen proses, meliputi pelaksanaan pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan kurikulum, dalam pembelajaran sejarah indikator merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.
Komponen output, meliputi ijazah kelulusan, ketrampilan prasyarat, lisensi. Komponen outcome, meliputi kecukupan dan kontribusi individu atau kelompok saat ini dan masa depan. Outcome, merupakan hasil akhir yang diperoleh dan dapat diterima dalam masyarakat. Melalui analisis hasil, desainer dapat menentukan sejauh mana hasil yang diperoleh dapat berkontribusi pada pencapaian tujuan khususnya tujuan dari proses pembelajaran tersebut.
3. Analisis Performance
Menganalisis performance dilakukan setelah desainer memahami berbagai informasi dan mengidentifikasi kesenjangan yang ada (Sanjaya,2008:96). Analisis performance meliputi beberapa hal diantaranya adalah:
§ Mengidentifikasi guru. Bagaimana kinerja guru selama ini dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam penglolaan pembelajaran? Sejauh pengamatan saya jika berkaitan dengan kinerja dan tanggung jawab guru dalam proses pembelajaran pada SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III, sudah cukup baik, hal ini dapat dilihat dari kedatangan guru yang selalu tepat waktu dan selalu melakukan proses pembelajaran yang baik dengan harapan apa yang dijelaskan akan dipahami oleh siswa.
§ Mengidentifikasi sarana dan kelengkapan penunjang. Bagaimana kelengkapan sarana dan prasarana yang dapat menunjang keberhasilan pembelajaran? Harus diakui secara umum, jika berkaitan dengan saran dan prasarana penunjang dalam proses pembelajaran pada SMA kami masih banyak kekurangan, pada SMA ini hanya menggunakan buku paket saja. Untuk sumber belajar yang lain belum tersedia, khususnya untuk mata pelajaran sejarah.
§ Mengidentifikasi kebijakan sekolah. Bagaimana kebijakan-kebijakan sekolah dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran? Sejauh ini kebijakan-kebijakan yang ada sudah dirasakan cukup baik.
§ Mengidentifikasi iklim sosial dan iklim psikologis. Bagaimana suasana disekolah? Apakah sekolah memiliki iklim yang baik sehingga dapat mendukung keberhasilan dalam setiap program? Iklim sosial yang ada pada SMA PGRI Pulau Harapan sejauh ini sudah terjalin dengan baik antara semua unsur sekolah; sedangkan iklim psikologis yang berkaitan dengan suasana kebersamaan antara semua unsur sekolah juga sudah terjalin dengan baik.
Dengan demikian, secara keselurahan analisis performance pada SMA PGRI Pulau Harapan Bayuasin III, sudah cukup baik hanya saja masih kekurangan dalam kelengkapan sarana dan prasarana sebagai faktor pendukung keberhasilan dalam proses pembelajaran.
4. Mengidentifikasi Kendala Beserta Sumber-sumbernya
Dalam pelaksanaan suatu program berbagai kendala bisa muncul sehingga dapat berpengaruh terhadap kelancaran suatu program. Kendala pada mata pelajaran sejarah pada SMA PGRI Pulau Harapan Banyuasin III diantaranya adalah kekurangan media pembelajaran. Karena strategi pembelajaran sejarah yang biasa digunakan adalah strategi ekspositori peran guru cenderung lebih dominan. Pemilihan strategi ekspositori berdasarkan karakteristik materi yang dominan pada konsep dan prinsip, serta lebih abstrak. Sementara sumber belajar langsung berupa alat atau model yang tersedia terbatas.
5. Identifikasi Karakteristik Siswa
Tujuan utama dalam desain pembelajaran adalah memecahkan berbagai problema yang dihadapi siswa, oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan siswa adalah bagian dari need assessment. Identifikasi yang berkaitan dengan siswa diantaranya adalah; tentang usia, jenis kelamin, level pendidikan, tingkat sosial ekonomi, latar belakang, gaya belajar dan sikap (Sanjaya,2008:99).
Berdasarkan identifikasi yang berkaitan dengan siswa diatas dapat diambil secara garis besar bahwa gaya belajar siswa ada yang gaya belajar visual, auditori, kinestetik dan ada juga gabungan dari ketiga gaya belajar tersebut hanya saja biasanya satu gaya yang mendominasi. Sedangkan pada tingkat sosial ekonomi, jika dilihat dari penghasilan orang tua siswa banyak berasal dari keluarga yang mapan dengan diimbangi hubungan sosial yang baik.
6. Identifikasi Prioritas dan Tujuan
Dari kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional diperoleh jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh siswa. Jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar. Ia merupakan hasil belajar yang diharapkan dikuasai siswa setelah menyelesaikan sekolah. Karena sifatnya yang masih umum, maka disebut tujuan instruksional umum (Suparman,2001:75).
Tujuan instruksional dalam kawasan manapun harus dirumuskan dengan kata kerja operasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Dalam proses pembelajaran sejarah dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antar peserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar (KD)/TIU. Pengalaman belajar memuat kecakapan hidup yang perlu dikuasai peserta didik.
7. Merumuskan Masalah
Merumuskan masalah yang dimaksud disini adalah hasil analisis kebutuhan untuk merumuskan tujuan instruksional umum (TIU), yang sekarang disebut sebagai Kompetensi Dasar (KD), yang pada prinsipnya fungsi antara TIU dan KD sama saja hanya dalam penyebutan istilah yang berbeda. Dalam makalah ini akan lebih cenderung menggunakan istilah kompetensi dasar (KD).
Kompetensi dasar mata pelajaran sejarah dirumuskan berdasarkan struktur keilmuan sejarah dan tuntutan kompetensi lulusannya. Jika melihat pada standar kompetensi mata pelajaran sejarah adalah kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan siswa untuk mata pelajaran sejarah; kompetensi mata pelajaran sejarah yang harus dimiliki siswa; kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan SMA dalam mata pelajaran sejarah. Sesuai dengan pengertian tersebut maka standar kompetensi mata pelajaran sejarah adalah kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan siswa untuk mata pelajaran sejarah (Depdiknas,2006).
Berdasarkan penjabaran diatas maka akan dicoba untuk menyusun kompetensi dasar (KD). Dengan standar kompetensi yang telah ditentukan yaitu “Memahami Prinsip Dasar Ilmu Sejarah”. Berdasarkan langkah-langkah Analisis Kebutuhan yang telah dilakukan diatas, maka dalam merumuskan kompetensi dasar perlu diperhatikan karakteristik Standar kompetensi (SK), melalui telaah kata kerja operasional yang digunakan. Untuk kompetensi yang menuntut penguasaan konsep dan prinsip menggunakan kata kerja operasional yang sesuai dan berbeda untuk kompetensi yang menuntut kemampuan operasional atau prosedural.
Sehingga timbul pertanyaan kenapa KD diperlukan? Karena KD merupakan tolak ukur akan keberhasilan standar kompetensi (SK) mata pelajaran, melalui KD dapat diharapakan bahwa keberhasilan itu akan tercapai, dimana nantinya KD ini akan terbagi dalam sub-sub judul kecil yang disebut indikator. Indikator harus memadai sehingga mencapai kompetensi yang diperlukan. Keseluruhan indikator dalam satu KD minimal harus mencapai tingkat kompetensi dalam KD, meskipun dapat dikembangkan lebih tinggi jika kondisinya memungkinkan.
Berikut ini akan dijabarkan KD yang merujuk pada standar kompetensi “Memahami Prinsip Dasar Ilmu Sejarah”. Penjabaran standar kompetensi (SK) menjadi Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan analisis kebutuhan yang telah dilakukan sebelumnya.
Penjabaran Standar Kompetensi (SK) Menjadi Kompetensi Dasar (KD).
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami prinsip dasar
ilmu sejarah 1.1.Menjelaskan pengertian ruang lingkup
ilmu sejarah.
1.2.Mendeskripsikan tradisi sejarah dalam
masyarakat Indonesia masa pra-aksara
dan masa aksara.
1.3.Menggunakan prinsip-prinsip dasar
penelitian sejarah
Berikut ini akan dijelaskan satu perstu mengenai KD diatas kenapa harus diberikan kepada siswa? KD harus diberikan kepada siswa dengan tujuan untuk mempermudah penyampaian materi pelajaran kepada siswa karena sifatnya sebagai kompetensi dasar yang harus dicapai oleh setiap siswa yang nantinya dalam penjabaran akan menjadi indikator-indikator yang disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan sekolah.
Untuk KD yang pertama 1.1. Menjelaskan pengertian ruang lingkup ilmu sejarah kenapa KD ini harus diberikan kepada siswa?
Pada KD ini nantinya siswa akan dapat menjelaskan segala sesuatu yang termasuk dalam ruang lingkup ilmu sejarah, pada KD ini siswa akan dapat mengetahui apa pengertian sejarah baik secara umum maupun khusus, manfaat sejarah, pengertian sumber, bukti dan fakta sejarah serta periodesasi dan kronologi sejarah Indonesia. Yang nantinya ketercapaian KD ini akan dilihat dari keberhasilan yang dicapai siswa melalui indikator-indikator yang dijabarkan.
Untuk KD yang kedua 1.2. Mendeskripsikan tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra-aksara dan masa aksara kenapa KD ini harus diberikan kepada siswa?
Karena pada prinsipnya sejarah bersifat kronologis. Oleh karena itu, dalam mengorganisasikan proses pembelajaran sejarah haruslah didasarkan pada urutan kronologis peristiwa sejarah. Dengan adanya KD ini siswa akan dapat menjelaskan tradisi sejarah pada masyarakat pra-aksara dan masyarakat pada masa aksara, yang nantinya akan dijabarkan dalam indikator-indikator yang mudah dipahami siswa.
Untuk KD yang ketiga 1.3. Menggunakan prinsip-prinsip dasar penelitian sejarah, kenapa KD ini harus diberikan kepada siswa?
Dengan adanya KD ini siswa akan dapat menjelaskan mengenai prinsip-prinsp dasar penelitian sejarah, baik prinsip sebab-akibat dalam kajian sejarah maupun prinsip kronologis dalam kajian sejarah.
Berdasarkan analisis diatas maka dengan adanya KD dapat mempermudah seorang guru dalam mengembangkan bahan ajar, yang disesuaikan dengan indikator-indikator yang akan dijabarkan, karena indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Kesimpulan
Analisis kebutuhan adalah penelusuran tentang proses belajar, kebutuhan peserta didik serta harapan yang harus dicapai dalam proses belajar lanjutan. Analisis kebutuhan bermanfaat antara lain untuk :
§ Rumusan tujuan pembelajaran serta analisis tugas yang harus dilaksanakan;
§ Pengalaman belajar yang harus dimiliki
§ Dukungan dan hambatan terhadap proses belajar
Analisis kebutuhan disusun berdasarkan langkah-langkah sebagai berikut:
§ Pengumpulan informasi
§ Identifikasi kesenjangan
§ Analisis performance
§ Identifikasi hambatan dan sumber
§ Identifikasi karakteristik siswa
§ Identifikasi prioritas dan tujuan
§ Merumuskan masalah
Berdasarkan analisis kebutuhan yang telah dilakukan pada mata pelajaran sejarah, terdapat kesenjangan dalam hal ketersediaan media pembelajaran. Karena sifat pembelajaran sejarah cenderung abstrak, sehingga sangat diperlukan sarana dan prasarana penunjang dalam proses pembelajaran agar KD yang diharapkan akan dapat tercapai oleh siswa-siswa.
Daftar Pustaka
Prawiradilaga, Salma Dewi. 2007. Prinsip Disain Pembelajaran. UNJ: Jakarta
Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Kencana: Jakarta
Suparman, Atwi. 2001. Desain Instruksional. Depdiknas: Jakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)