/ Miftahul Jannah: 01/01/09 - 01/02/09 Sumber: Agar Posting Blog tidak bisa di Copy Paste! | jagoBlog.com

Rabu, 14 Januari 2009

PERADABAN INDONESIA KUNO

PERADABAN INDONESIA KUNA
DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI

Nurhadi Rangkuti
(Balai Arkeologi Palembang)


1. Pendahuluan

Tumbuhnya peradaban di wilayah Sumatera Selatan, erat kaitannya dengan peranan sebuah sungai besar, yaitu Sungai Musi yang bermuara di Selat Bangka. Selat Bangka dan juga Selat Malaka telah dikenal sebagai jalur perdagangan internasional sejak awal Masehi (Wolters 1974 dalam Budisantosa 2002).

Sungai Musi menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir timur Sumatera. Daerah aliran Sungai (DAS) Musi meliputi Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Batanghari Leko, Sungai Rawas, dengan anak sungai-anak sungainya. Pada DAS Musi banyak ditemukan situs-situs arkeologi yang memiliki karakteristik budaya Hindu-Buddha, seperti sisa-sisa bangunan candi, arca-arca dewa Hindu, arca-arca Buddha dan temuan prasasti-prasasti berhuruf Pallawa dan bahasa Sansekerta serta Melayu Kuna.

Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa di DAS Musi telah berkembang peradaban masa Indonesia Kuna. Masa Indonesia Kuna dikenal pula dengan istilah masa “Klasik” atau masa “Hindu-Buddha” yang meliputi masa sejak berdirinya Kerajaan Hindu pertama di Kutai Kalimantan Timur sampai berakhirnya Kerajaan Majapahit di nusantara yang meliputi rentang waktu 10 abad (abad ke-5 hingga abad ke-15 Masehi).

Peradaban Indonesia Kuna di DAS Musi ditandai dengan adanya arsitektur publik yang monumental (candi, kanal, kolam), artefak-artefak komoditi perdagangan internasional, peraturan dan hukum secara tertulis, spesialisasi kerja dan hirarki masyarakat yang diketahui dari isi prasasti. Dengan mengamati luas wilayah persebaran dan banyaknya situs arkeologis, menggambarkan adanya pusat peradaban yang berciri urban di tepi Sungai Musi, dan tempat-tempat upacara keagamaan serta permukiman lainnya di luar pusat, yaitu pada cabang-cabang sungai Musi.

Pusat peradaban di tepi Sungai Musi dikenal juga dengan nama Kerajaan Sriwijaya, sebuah nama yang diabadikan dalam prasasti-prasasti dari abad ke-7 Masehi. Palembang yang terletak di tepi Sungai Musi pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan yang berlangsung sejak abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi.

Prasasti Kedukan Bukit memberitakan bahwa pada 16 Juni tahun 682 Masehi, Dapunta Hyang (raja Sriwijaya) mendirikan wanua, setelah melakukan perjalanan dari Minanga menuju Mukha Upang membawa tentara sebanyak 20.000 orang dengan perbekalan 200 peti naik perahu, sedangkan yang berjalan kaki 1312 tentara. Boechari (1993) berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya mula-mula ada di Minanga, kemudian pada tanggal 16 Juni 682 Dapunta Hyang mendirikan sebuah ibukota baru di Palembang untuk dijadikan pusat kerajaan yang baru. Peristiwa pendirian wanua oleh Dapunta Hyang merupakan awal pembangunan kota, yang sekurang-kurangnya terdiri atas istana raja, rumah para pejabat kerajaan dan peribadatan (Boechari 1993).

2. Situs-Situs Pra-Sriwijaya

Di wilayah pantai timur Sumatera Selatan, terdapat situs-situs arkeologi yang diperkirakan berasal dari masa pra-Sriwijaya dan berlanjut hingga masa Sriwijaya. Situs-situs itu antara lain Air Sugihan di Kabupaten Banyuasin dan Situs Karangagung Tengah di Kabupaten Musi Banyuasin.

Situs Air Sugihan

Pusat Penelitian Arkeologi Nasional telah menemukan sebuah guci keramik Cina dari Dinasti Sui (abad ke-6 – 7 Masehi) di Situs Air Sugihan. Bersama dengan artefak tersebut ditemukan pula manik kaca Indo-Pasifik dan manik kaca emas serta manik batu karnelian (Budisantosa ). Manik-manik kaca tersebut berasal dari Mesir atau Asia Barat abad ke 4 – 11 Masehi dan diduga barang impor.

Situs Karangagung Tengah

Situs ini terletak di Kecamatan Sungai Lalan (sebelumnya Kec. Buyung Lincir), Kabupaten Musi Banyuasin. Lokasi situs terletak di DAS Banyuasin, yang bermuara di Selat Bangka, seperti halnya Sungai Musi. Sungai Lalan yang merupakan cabang Sungai Banyuasin merupakan akses utama menuju lokasi permukiman kuna itu.

Serangkaian penelitian di Situs Karangagung Tengah sejak tahun 2000 sampai 2005 oleh Balai Arkeologi Palembang, memberikan gambaran bahwa situs-situs ini bekas permukiman kuna di daerah aliran Sungai Lalan, tepatnya di daerah rawa pasang surut (tidal swamp). Jenis-jenis tinggalan arkeologis yang ditemukan adalah tiang rumah kayu, kemudi perahu, wadah tembikar, pelandas (anvil), bata, manik-manik, anting, gelang kaca, batu asah, tulang, gigi dan tempurung kelapa. Penduduk sekitar banyak menemukan tinggalan-tinggalan lainnya seperti gelang batu, cincin emas, anting emas, dan liontin perunggu (Budisantosa 2002).

Analisis laboratorium terhadap dua potong sampel tiang rumah kayu dari Situs Karangagung Tengah berumur 1624 – 1629 BP, kira-kira sama dengan tahun 373 – 376 Masehi atau pada masa pra-Sriwijaya (Soeroso MP 2002). Berdasarkan jenis-jenis artefak yang ditinggalkan, komunitas Karangagung pada masa lalu bersandar pada perdagangan internasional. Sisa-sisa tiang rumah kayu banyak ditemukan, memberi gambaran adanya bangunan-bangunan rumah kayu yang dibangun sepanjang sungai lama yang menghubungkan Sungai Lalan dan Sungai Sembilang.

3. Situs-Situs Sriwijaya

3.1. Pusat Sriwijaya

Penelitian arkeologi yang intensif di Palembang sejak tahun 1970-an sampai tahun 1990-an oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Palembang, telah memperkuat bukti bahwa Palembang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya. Situs-situs masa Sriwijaya meliputi Situs Talang tuo, Sungai Tatang,Telaga Batu, Boom Baru, Bukit Siguntang, Karanganyar, Lorong Jambu, Tanjungrawa, Talangkikim, Padangkapas, Lebak Kranji, Kambangunglen, Ladangsirap, Museum Badaruddin, Candi Angsoka, Sarangwati, Gedingsuro, Kolam Pinisi, Sungai Buah dan Samirejo. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan meliputi prasasti, arca, sisa-sisa bangunan batu dan bata (candi atau bangunan lain), kanal-kanal,kolam-kolam, sisa perahu, sisa-sisa industri manik-manik, stupika tanahliat dan cetakan stupika, tembikar,dan keramik. Secara keseluruhan tinggalan arkeologis tersebut berasal dari abad ke-7 – 13 Masehi.

Terkait dengan lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, Situs Karanganyar diperkirakan lokasi Dapunta Hyang mendirikan perkampungannya (wanua) yang kemudian berkembang jadi ibukota kerajaan. Situs Karanganyar dikelilingi oleh kanal atau parit buatan dan di dalamnya terdapat kolam-kolam buatan. Parit yang terpanjang adalah Suak Bujang yang memotong meander Sungai Musi sepanjang 3300 meter. Selain itu ada parit- parit lainnya yang saling berhubungan.

3.2. Situs-situs di Luar Pusat Sriwijaya

Candi Bumiayu

Situs Candi Bumiayu terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang, Kabupaten Muara Enim. Lokasi situs terletak dekat dengan Sungai Lematang. Keberadaan situs percandian ini pertama kali dilaporkan oleh Tombrink pada tahun 1864, sedangkan penggalian arkeologis pertama kali dilakukan pada tahun 1990 oleh oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Bambang Budi Utomo 1993) dan penggalian mutakhir dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang pada tahun 2005.

Pada situs terdapat 12 gundukan tanah yang mengandung runtuhan bangunan, yang dikelilingi oleh sungai-sungai kecil yang saling berhubungan dengan luas 110 ha. Penggalian arkeologis yang dilakukan oleh Pusat Penelitian arkeologi Nasional tahun 2002 dan Balai Arkeologi Palembang pada tahun 2002 hingga 2004 membuka 6 gundukan tanah, sedangkan candi yang telah ditampakan secara jelas adalah Candi Bumiayu 1,2 dan 3 (Siregar 2004)

Gugusan Candi Bumiayu merupakan candi agama Hindu, dengan ditemukannya arca-arca Agastya, Siwa Mahadewa, arca Nandiswara dan Mahakala. Pada kompleks percandian Bumiayu 1 terdiri dari sebuah candi induk dan empat candi perwara, yang dikelilingi oleh pagar. Berdasarkan denah dan bentuk perbingkaian berpelipit sisi genta (padma) dan setengah lingkaran (kumuda) menunjukkan ciri-ciri candi abad ke-8 Masehi, sedangkan bangunan induknya diduga didirikan dalam tiga tahap. Tahap pertama dibangun sekitar abad ke-8 – 9 Masehi dan masih berfungsi hingga abad ke-12 Masehi (Herrystiadi 1993 dalam Siregar 2004).

Tata ruang gugusan candi Bumiayu diperkirakan melambangkan jagad raya yang terdiri dari jambudwipa (benua berbentuk lingkaran yang terletak di pusat) dikelilingi tujuh samudera dan tujuh benua lain. Di luar itu jagad ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah jambudwipa berdirilah Gunung Meru, yaitu gunung kosmis yang diedari oleh matahari, bulan dan bintang-bintang. Di puncaknya terletak kota dewa-dewa yang dikelilingi oleh tempat tinggal dari delapan dewa lokapala (Geldern 1982 dalam Siregar 2004).

Dikaitkan dengan gugusan Candi Bumiayu, Candi induk Bumiayu 1 melambangkan Gunung Meru, sedangkan parit keliling candi melambangkan 7 samudera dan 7 benua yang masing-masing berbentuk cincin (Siregar 2004).

Situs Binginjungut

Situs terletak di Kecamatan Muarakelingi, Kabupaten Musi Rawas, di kanan dan kiri tepi Sungai Musi. Schnitger (1937) melaporkan adanya sebuah arca batu di sekitar situs, yaitu arca Awalokiteswara bertangan empat dan tinggi arca 172 cm. Keempat tangannya telah patah dan hilang. Di bagian pung¬gungnya terdapat tulisan //daŋ ācāryya syuta// (Bambang Budi Utomo tt).

Dari sejumlah ciri yang dapat dijadikan sebagai penanda untuk mengetahui gaya arca, yaitu dari penggambaran pakaian dan tatanan rambut yang mencirikan adanya penga¬ruh gaya seni arca pada masa Śailendra. Sesuai dengan gaya seni yang terlihat, maka dapat dikatakan bahwa arca Awalokiteśwara ini ditempatkan ke dalam periode abad ke-8-9 Masehi yang merupakan masa berkembangnya seni Śailendra (Bambang Budi Utomo tt).

Pada lokasi yang sama ditemukan sebuah arca batu yang belum selesai, yaitu arca Buddha dalam posisi duduk bersila. Tinggi arca 153 cm. Kondisi arca yang tampak belum selesai dipahat menja¬di¬kan suatu kesulitan untuk mengetahui ciri-ciri ataupun gaya arca yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menempat¬kan arca pada periodenya. Oleh karena arca Buddha ini ditemu¬kan di Situs Bingin¬jungut, dimana dijumpai pula arca Bodhisattwa Awaloki¬teś¬wa¬ra , kemungkinan arca Buddha dapat dimasuk¬kan ke dalam periode antara abad ke-8-9 Masehi (Bambang Budi Utomo tt).
Balai Arkeologi Palembang telah melakukan eksvasi pada tahun 1997 dan 1998 dengan tujuan untuk mengungkapkan arsitektur Candi Binginjungut agar diketahui persamaan dan perbedaan candi itu dengan candi-candi lainnya di DAS Musi. Dari hasil ekskavasi belum diketahui secara pasti bentuk dan arah hadap candi. Meskipun demikian sisa-sisa bangunan candi ini memiliki persamaan dengan Candi Tingkip dan Candi Bumiayu I, yaitu pada profil candi berupa profil sisi genta. Selain itu lantai batu kerakal pada sisa bangunan Candi Binginjungut memiliki persamaan dengan lantai batu kerakal yang ditemukan pada Candi Telukkijing di Kabupaten Musi Banyuasin.
Ekskavasi juga memperoleh artefak lain, yaitu tembikar, keramik dan manik-manik. Tembikar yang ditemukan memiliki persamaan tipe dengan tembikar dari Karanganyar (Palembang), sedangkan keramik yang ditemukan berasal dari Cina masa Dinasti Song abad ke-10 – 13 Masehi.

Situs Teluk Kijing
Situs Teluk Kijing terletak di Desa Kijing, Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasing, berada di antara pertemuan Sungai Batanghari Leko dan Sungai Musi. Keberadaan situs ini pertama kali diberitakan oleh Westenenk (1920) yang menggambarkan situs dikelilingi oleh sebuah parit di dalamnya dengan temuan batubata dan sisa besi.

Pada tahun 1995 tim gabungan yang terdiri dari Balai Arkeologi Palembang, CNRS dan EFEO Perancis dan Museum Sumatera Selatan Balaputra Dewa melakukan survey dan menemukan pecahan-pecahan keramik dari abad ke-12 – 13 Masehi, dan sebuah benteng tanah dengan saluran di bagian sisi dalamnya, panjang saluran 1,5 km, lebar 2,5 meter dan tebal 2 meter.

Ekskavasi di Situs Teluk Kijing menemukan hamparan bata-bata yang bersusun tidak beraturan dan di bagian bawahnya ditemukan susunan batu kerakal yang teratur dan diduga bekas lantai. Selain itu ditemukan pula sebuah pecahan relief candi yang menggambarkan seorang penari atau pemusik yang membawa gendang, tetapi bagian kepala telah hilang.

Situs Candi Tingkip

Situs Tingkip terletak di Desa Sungaijauh, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musirawas. Situs ini berada dekat Sungai Tingkip yang bermuara di Sungai Kijang, yaitu salah satu cabang Sungai Lemurus Besar. Di kota Binginteluk Sungai Lemurus Besar bertemu dengan Sungai Rawas, yaitu salah satu cabang Sungai Musi (Budi Santosa 1998).

Temuan yang menarik dari situs ini adalah sebuah arca batu berbentuk Buddha dengan tinggi 172 cm. Arca ditemukan pada sebuah runtuhan candi bata di sekitar Sungai Tinggkip pada tahun 1981.

Suleiman (1983: 209) menafsirkan arca ini dari penggambaran wajah yang menci¬rikan wajah arca-arca dari masa seni Dwarawati yang berkembang pada abad antara 6-9 Masehi. Pendapat yang sama mengenai gaya arca diajukan pula oleh Shuhaimi, namun cenderung me¬nem¬patkan arca pada abad ke-7 Masehi (Nik Hassan Shuhaimi 1992: 24). Berdasarkan peng¬amatan ciri yang menun¬jukkan bahwa arca Buddha dari Candi Tingkip dipahat dalam gaya mengikuti seni arca Dwa¬rawati, maka diduga arca tersebut ber¬asal dari abad ke-7-8 Masehi (Bambang Budi Utomo tt).

Penggalian arkeologis (ekskavasi) dilakukan pada tahun 1998 dan 1999 oleh Balai Arkeologi Palembang untuk mengungkap arsitektur Candi Tingkip. Candi Tingkip tinggal bagian dari pondasi atau batur candi, bagian lantai atau selasar dan tangga pintu masuk candi. Candi menghadap ke arah timur. Dua sisi candi, yaitu sisi barat dan sisi timur berukuran 7,60 meter. Walau belum diketahui panjang dari sisi-sisi yang lain, tetapi diperkirakan denah bangunan berbentuk bujursangkar (7,60 meter X 7,60 meter).

Berdasarkan bentuk profil dan arah hadap candi Tingkip yang memiliki persamaan dengan candi-candi di Jawa Tengah, Candi Tingkip mempunyai profil candi yang berkembang pada tahun 750-850.

Situs Candi Lesung Batu

Candi ini terletak di wilayah Desa Lesung Batu, Kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas. Candi yang berada di dekat Sungai Rawas ini ditemukan sisa bangunan candi dari bata. Situs ini telah dilakukan ekskavasi oleh Pusat Penelitian arkeologi Nasional tahun 1992 dan Balai Arkeologi Palembang.

Di situs ini terdapat sebuah yoni dari batuan breksi, tinggi 70 cm, lebar 75 cm, dan panjang 94 cm.Hiasan yang terdapat pada bagian dinding yoni berupa padma di pelipit bagian atas, ghana di keempat sudut, dan makhluk lain yang dipahatkan dalam posisi berdiri seperti ghana. Hiasan makhluk lain yang bukan ghana itu dipahatkan pada sisi belakang dan kiri cerat. Lubang tempat lińga atau arca berdenah empat per¬segi panjang, ukurannya sudah tidak dapat diketahui lagi kare¬na telah dirusak penduduk setempat.

4. Penutup

Proses pertumbuhan peradaban Indonesia Kuna di Sumatera Selatan, tidak lepas dari letak geografis yang strategis dari segi pelayaran dan perniagaan. Tentunya awal peradaban itu bermula dari kelompok-kelompok permukiman di daerah pantai di sepanjang Selat Bangka. Situs permukiman Karangagung Tengah, misalnya, berdasarkan beragamnya jenis artefak yang ditinggalkan serta luasnya persebaran situs di sepanjang sungai lama, memberikan gambaran pada sekitar abad ke-4 Masehi terdapat masyarakat yang telah mengenal perdagangan internasional, serta spesialisasi pekerjaan dan stratifikasi sosial (Budisantosa 2002).

Berkembangnya pusat peradaban di Palembang sejak abad ke-7 didukung oleh masyarakat di DAS Musi yang telah mapan dalam bidang perniagaan pada abad-abad sebelumnya. Dapunta Hyang memilih lokasi ibukota Sriwijaya yang baru di wilayah kota Palembang sekarang, berdasarkan pertimbangan lokasi Palembang yang strategis, yaitu titik simpul jalur perdagangan dari hilir ke hulu dan sebaliknya. Pusat-pusat komunitas (wanua) yang bermukim di luar Palembang, baik di daerah hulu maupun hilir, apabila melakukan hubungan social-budaya dan juga perniagaan, dipastikan melalui Palembang. Dengan kondisi demikian Palembang berkembang menjadi pusat peradaban di Sumatera Selatan, dibandingkan dengan lokasi lain termasuk di daerah pantai dekat dengan Selat Bangka, yang pernah menjadi pusat permukiman pra-Sriwijaya.


DAFTAR PUSTAKA


Boechari,1993, Hari Jadi Kota Palembang Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, 1993a, Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, 1993a, Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Bambang Budi Utomo, tt, Arca-Arca di Sumatera, (tidak diterbitkan)
Budisantosa, Tri Marhaeni S, 2002 “Permukiman Pra-Sriwijaya di Karang Agung Tengah: Sebuah Kajian Awal” dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra, vol 7, No.2 Nov. 2002, halaman 65-89, Palembang; Balai Arkeologi
Koestoro, Lucas Partanda, 1993, Tinggalan Perahu di Sumatera Selatan Perahu Sriwijaya?, dalam Sriwijaya Dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.
Rangkuti, Nurhadi, 1989, “Struktur Kota Sriwijaya di Daerah Palembang, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, Yogyakarta 4-7 Juli 1989, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Soeroso, 2002, “Pesisir Timur Sumatera Selatan Masa Proto Sejarah: Kajian Permukiman Skala Makro” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX, Kediri 23-27 Juli 2002.

KOLONIAL

Arsitektur Masa Kolonial di Sumatera Selatan
Oleh: Aryandini Novita (Balai Arkeologi Palembang)


Pendahuluan

Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, arsitektur adalah ilmu dan seni merancang bangunan, kumpulan bangunan dan struktur-struktur lain yang fungsional, terkonstruksi dengan baik, memiliki nilai ekonomi serta nilai estetika (2004: 272). Arsitektur tercipta karena adanya kebutuhan manusia untuk melindungi dirinya dari bahaya alam sehingga dapat dikatakan arsitektur merupakan salah satu bentuk seni tertua karena telah ada sejak jaman prasejarah.

Bentuk arsitektur pada jaman prasejarah tercermin pada tempat tinggal manusia pada masa itu yang berupa ceruk dan gua. Semakin berkembangnya peradaban, ilmu dan teknologi arsitektur berkembang dalam kehidupan manusia untuk memenuhi tuntutan yang semakin meningkat. Dalam hal ini arsitektur terwujud dalam bentuk bangunan-bangunan yang kuat dan berkesan indah bila dipandang.

Dalam perkembangan sejarah kebudayaan di Sumatera Selatan, wilayah ini memiliki banyak situs-situs arkeologi yang mewakili bentuk arsitektur dari masa prasejarah hingga kolonial . Bentuk arsitektur masa prasejarah dapat ditemui di situs Gua Putri, Gua Penjagaan dan Gua Pondok Selabe, Kabupaten Ogan Komering Ulu. Pada masa Hindu-Buddha, seperti umumnya arsitektur yang ditemukan di Indonesia dari masa itu, bentuk arsitekturnya merupakan bangunan keagamaan. Situs-situs tersebut antara lain terdapat di Bumiayu, Kabupaten Muaraenim; Telukkijing, Kabupaten Musibanyuasin; Tingkip, Lesungbatu dan Binginjungut, Kabupaten Musirawas.

Dalam perkembangan berikutnya, ketika Agama Islam masuk dan berkembang di Sumatera Selatan, wilayah ini merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Bentuk-bentuk arsitektur dari masa tersebut berupa masjid-masjid kuno dan beberapa rumah tinggal yang dapat ditemui di hampir seluruh wilayah Sumatera Selatan.

Ketika Bangsa Eropa masuk ke Sumatera Selatan, arsitektur di wilayah ini juga mendapat pengaruh kebudayaan Eropa yang terlihat pada bangunan-bangunan yang didirikan pada masa itu. Pengaruh tersebut terlihat dari penerapan gaya arsitektur Eropa pada bangunan-bangunan tersebut baik pada bentuk bangunan atau pada ornamen dekoratifnya.

Meskipun pembabakan masa dalam sejarah kebudayaan di Sumatera Selatan terlihat jelas, tidak serta merta tinggalan-tinggalan budaya yang telah ada pada masa yang lebih muda menjadi hilang dikarenakan adanya perkembangan-perkembangan baru. Pada kenyataannya banyak tinggalan-tinggalan arkeologi yang dipakai dari masa yang lebih muda tetap digunakan pada masa selanjutnya. Hal ini juga terlihat di situs-situs arkeologi di Sumatera Selatan, seperti di Kota Palembang.

Penelitian arkeologi menunjukan bahwa beberapa lokasi situs dari masa Kerajaan Sriwijaya dimanfaatkan kembali oleh penguasa Palembang pada masa pra Kesultanan Palembang Darussalam, seperti Situs Geding Suro, Sabokingking dan Candi Angsoka. Umumnya situs-situs tersebut pada masa pra kesultanan digunakan sebagai lokasi makam para penguasa yang saat itu telah beragama Islam dan merupakan cikal bakal Kesultanan Palembang Darussalam. Di situs-situs tersebut terlihat bahwa masih dipakainya ornamen-ornamen dekoratif yang telah ada sejak masa Hindu-Buddha.

Pada masa Kolonial, hal ini juga dapat dilihat pada beberapa bangunan-bangunan rumah tinggal yang berbentuk limas atau rumah panggung biasa serta bangunan masjid yang didirikan pada masa itu. Bentuk bangunan-bangunan tersebut telah ada sejak masa Kesultanan tetapi pada ragam hiasnya menggunakan ornamen dekoratif bergaya Eropa.

Bentuk arsitektur yang lain di Sumatera Selatan dalam perkembangan sejarah kebudayaan di Sumatera Selatan adalah benteng. Di wilayah ini terlihat bahwa benteng merupakan bentuk arsitektur dari masa prasejarah yang tetap digunakan hingga masa kolonial, seperti yang yang dapat ditemukan di situs Ulak Lebar, Kota Lubuklinggau.


Permasalahan

Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Sumintardja, de Haan, dan van de Wall, penulis membagi bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial menjadi 3 tipe. Tipologi ini dibagi berdasarkan gaya arsitektur yang diterapkan pada bangunan-bangunan tersebut. Melihat ciri khusus dan kronologi pendiriannya bangunan-bangunan tersebut berkembang sejak masa awal bermukimnya bangsa Belanda di Indonesia hingga masa pendudukan Jepang. Secara umum tipe-tipe bangunan tersebut mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Bangunan tipe 1 dan 2 umumnya berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal sedangkan bangunan tipe 3 berfungsi sebagai bangunan pemerintahan.

Ketiga tipe bangunan tersebut adalah:
Tipe 1
Bangunan tanpa halaman, berjejer padat seperti di Belanda. Berlantai dua, lebar rumah sempit tetapi sangat panjang ke belakang dengan atau tanpa halaman kecil di dalamnya. Kekhususan bangunan ini adalah pintu masuk yang berdaun pintu ganda, terdapat cerobong asap semu dan adanya bentuk seperti tangga.
Tipe 2
Bangunan yang mempunyai serambi depan yang luas dilengkapi tiang-tiang bergaya Eropa. Bagian dalam bangunan terdapat lorong yang di kiri dan kanannya terdapat serambi, dan bangunan-bangunan samping yang berfungsi sebagai dapur, kamar mandi, kamar pelayan dan sebagainya.
Tipe 3
Bangunan yang didirikan mengikuti gaya arsitektur yang sedang berkembang di Eropa pada saat itu.

Berdasarkan ketiga tipe yang telah diuraikan sebelumnya, terlihat adanya perubahan pola pikir Bangsa Belanda dalam mewujudkan tempat bernaung di daerah koloninya. Bagaimana dengan yang terjadi di Sumatera Selatan? Karena meskipun hubungan Bangsa Belanda dengan Kesultanan Palembang Darusallam sudah berlangsung sejak abad XVII M tetapi secara kronologis bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial Belanda di Kota Palembang berasal pada awal abad XX M.

Tujuan

Kebudayaan pada dasarnya juga merupakan tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Dalam beradaptasi dengan lingkungannya manusia bertindak sedemikian rupa untuk melindungi dirinya. Datangnya Bangsa Eropa ke Indonesia secara tidak langsung akan mempengaruhi juga kebudayaan yang bangsa tersebut di daerah koloninya yang kondisi geografis dan iklim yang sangat jauh berbeda dengan negara asalnya.

Dalam sejarah kebudayaan manusia, hubungan antar kelompok masyarakat memungkinkan terjadinya kontak budaya atau yang dikenal dengan istilah akulturasi. Akulturasi sendiri mempunyai definisi suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat 1983: 251). Berdasarkan hal tersebut tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan sejauh mana kebudayaan Eropa dan kebudayaan lokal di kawasan Sumatera Selatan saling mempengaruhi yang terlihat pada bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kolonial.

Kerangka Teori

Secara umum kebudayaan mempunyai definisi keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 1983: 182). Berdasarkan hal tersebut maka terlihat kebudayaan memiliki tiga wujud yang saling berkaitan menjadi suatu sistem, ketiga wujud kebudayaan tersebut yaitu ide dan gagasan yang membentuk pola pikir dalam suatu masyarakat; aktivitas serta tindakan berpola dari suatu masyarakat; serta benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat 1983: 189). Kebudayaan juga dapat dikatakan merupakan tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Deetz 1967: 7).

Dalam kaitannya dengan ilmu arkeologi, sejarah kebudayaan merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam penelitiannya. Sejarah kebudayaan adalah gambaran kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang terjadi pada masa lalu. Upaya ini dilakukan dengan cara mendeskripsi dan mengklasifikasi bukti-bukti kehidupan masa lalu. Tujuan ini melahirkan sejarah kebudayaan yang mencoba menyusun kerangka pertumbuhan dan perkembangan bentuk kebudayaan masa lalu. Dalam usaha untuk mencapai tujuan pertama ini, para peneliti berusaha untuk menemukan, mengenali, dan melukiskan bentuk-bentuk kebudayaan materi, baik yang ditemukan dalam keadaan utuh maupun fragmentaris.

Salah satu suatu media pencerminan kebudayaan adalah arsitektur, karena pada dasarnya arsitektur merupakan wujud dari pola tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan sebagai tempat bernaung untuk melindungi dirinya dari gangguan-gangguan dan bahaya alam. Sebagai hasil karya manusia, arsitektur sangat dipengaruhi oleh geografi, geologi, iklim, keadaan sosial, agama dan falsafah kepercayaan, serta sejarah (Oesman 1996: 5). Dengan demikian sebuah karya arsitektur yang merupakan hasil pola pikir manusia masa lalu adalah salah satu obyek penelitian arkeologi.

Pembahasan

Hubungan Bangsa Belanda dengan Kesultanan Palembang Darussalam dimulai pada awal abad XVII M ditandai dengan penandatanganan kontrak perdagangan komoditi lada dan timah dimana pihak Belanda memiliki hak sepenuhnya atas perdagangan kedua komoditi tersebut sementara untuk pengelolaan perkebunan lada dan penambangan timah dibawah pengawasan Kesultanan Palembang Darussalam. Meskipun perjanjian mengenai hak monopoli dagang tersebut telah ditandatangani, pihak kesultanan terkadang juga melakukan transaksi dagang dengan pihak lain. Kenyataan ini yang memicu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Palembang Darussalam menjadi tidak baik (Hanafiah (ed.) 2002).

Pada masa awal monopoli Belanda dalam perdagangan lada dan timah di Sumatera Selatan tersebut sering terjadi konflik-konflik di kawasan tersebut yang akhirnya mengakibatkan diserang dan dibakarnya Keraton Kutogawang oleh pihak Belanda. Penyerangan ini menyebabkan dipindahkannya keraton ke wilayah lain, yaitu di Beringin Janggut pada tahun 1675 (Hanafiah (ed.) 2002).

Selama terjalinnya hubungan dagang antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan Bangsa Eropa baik Belanda maupun Inggris telah terjadi beberapa konflik senjata yang dikarenakan kenyataan bahwa pihak Kesultanan Palembang Darussalam berkeberatan akan hak monopoli dagang yang dikuasai oleh bangsa-bangsa tersebut. Puncak dari konflik tersebut adalah penyerahan kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1823 kepada pemerintah Hindia-Belanda (Hanafiah (ed.) 2002).

Setelah dihapuskannya Kesultanan Palembang Darussalam, wilayah Sumatera Selatan dijadikan daerah administrasi Hindia-Belanda yang dipimpin oleh seorang residen. Pusat administrasi dilokasikan di sekitar Benteng Kuto Besak, yaitu bekas Keraton Kuto Lamo. Di lokasi ini didirikan sebuah bangunan baru yang diperuntukan sebagai kediaman residen. Pada masa ini Benteng Kuto Besak dialihfungsikan menjadi instalasi militer dan tempat tinggal komisaris Hindia-Belanda, pejabat pemerintahan dan perwira militer. Pemukiman di dekat keraton yang dulunya merupakan tempat tinggal bangsawan Kesultanan pada masa ini ditempati oleh perwira-perwira dan pegawai Hindia-Belanda (Sevenhoven 1971: 14).

Pembangunan fisik Kota Palembang yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dimulai pada awal abad XX M. Berdasarkan UU Desentralisasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda, Palembang ditetapkan menjadi Gemeente pada tanggal 1 April 1906 dengan Stbl no 126 dan dipimpin oleh seorang burgemeester, yang dalam struktur pemerintahan sekarang setara dengan walikota. Meskipun demikian burgemeester pertama Kota Palembang baru diangkat pada tahun 1919, yaitu L G Larive.

Secara khusus bangunan-bangunan dari masa kolonial masih dapat ditemukan di sepanjang Jl Merdeka dan kawasan Talangsemut. Bangunan-bangunan pada masa itu, baik bangunan rumah tinggal maupun bangunan umum terutama didirikan dengan gaya arsitektur Art Deco yang merupakan tren pada saat itu. Ciri-ciri gaya arsitektur tersebut adalah berbentuk kaku dan bagian depannya dihiasi oleh bentuk-bentuk geometris yang cukup dominan (Blumenson 1977: 77). Selain gaya arsitektur art deco, beberapa bangunan juga dibangun dengan gaya arsitektur de Stijl, yaitu gaya arsitektur ini mempunyai ciri pada atap yang berupa plat beton yang mendatar. Pada bagian bawah atap terdapat plat beton yang berfungsi sebagai teritis yang mengelilingi badan bangunan. Bangunan bergaya arsitektur de Stijl umumnya tidak memiliki elemen dekoratif (Heuken dan Pamungkas 2001: 63).

Bangunan-bangunan umum yang memiliki gaya arsitektur art deco antara lain dapat dilihat pada Kantor Walikota Palembang, Kantor Telkom, Balai Pertemuan, Hotel Musi, Balai Prajurit (Societeit), Gedung ex BP7, Kantor Keuangan Kodam II Sriwijaya, Markas Kodim 044 Garuda Dempo. Sedangkan bangunan umum yang bergaya arsitektur de Stijl adalah Gereja Siloam dan Kantor PMI.

Bangunan rumah yang bergaya arsitektur art deco umumnya terbagi dua bagian yaitu bangunan induk dan bangunan tambahan yang berada di bagian belakang atau samping bangunan induk. Secara keseluruhan bentuk dasar dari atap bangunan di Talangsemut berupa tipe atap perisai, hipped-roof, gambrel-roof dan atap pelana. Pada beberapa rumah yang memiliki atap perisai dibagian puncak atap terdapat hiasan kemuncak yang berbentuk balok. Sebagian rumah yang beratap hipped-roof ada yang memiliki hiasan gable di bagian depannya. Pada bagian tengah gable terdapat lubang angin berbentuk persegi atau lubang-lubang persegi yang disusun secara vertikal.

Rumah tinggal yang mempunyai gaya arsitektur de Stijl umumnya mempunyai bentuk dasar kotak dan berlantai dua atau tiga. Selain itu rumah-rumah tersebut tidak memiliki hiasan yang ramai sehingga terkesan sederhana.

Elemen-elemen yang mendominasi bangunan-bangunan kolonial di Kota Palembang adalah bentuk lubang angin dan tiang. Bentuk lubang angin pada bangunan-bangunan tersebut umumnya berupa lubang persegi yang bagian tengahnya dipasang profil beton yang mendatar atau profil yang berbentuk melengkung yang dipasang tegak lurus. Pada beberapa bangunan, lubang anginnya berupa hiasan kerawangan bermotif geometris yang berbentuk persegi atau bujursangkar. Tiang pada bangunan-bangunan tersebut biasanya berbentuk persegi. Pada bagian atas tiang atau bagian tengah tubuh tiang terdapat hiasan profil. Keberadaan tiang ini berfungsi sebagai penyangga atap kanopi teras depan. Selain itu ornamen dekoratif yang umum terdapat pada bangunan bergaya art deco adalah kaca patri.

Selain Art deco dan de Stijl terdapat juga gaya arsitektur yang merupakan perpaduan gaya arsitektur lokal dan gaya arsitektur Eropa yang dikenal dengan istilah gaya Indis. Yang dimaksud gaya arsitektur lokal adalah gaya arsitektur yang berkembang di suatu daerah sebelum bangsa Eropa datang ke daerah tersebut (Sukiman, 2000).

Tidak hanya di Kota Palembang saja tetapi hampir di seluruh bagian Sumatera Selatan gaya arsitektur ini cukup berkembang pesat. Gaya Indis di Sumatera Selatan terlihat dari bentuk rumah yang berupa rumah limas atau rumah panggung biasa tetapi ornamen-ornamen dekoratifnya bergaya Eropa.Bangunan-bangunan bergaya Indis yang terdapat di Kota Palembang terdapat di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II; rumah-rumah tinggal di pemukiman kelompok etnis Arab di Kelurahan Kuto Batu, Kecamatan Ilir Timur I dan Kelurahan 11 Ulu, 12 Ulu, 13 Ulu, 14 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II; rumah Kapiten Cina di Kelurahan 7 Ulu Kecamatan seberang Ulu II serta beberapa rumah di Kecamatan Seberang Ulu II, Kota Palembang.

Penutup

Seperti yang kita ketahui kebudayaan dapat dikatakan sebagai tindakan manusia dalam usahanya untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Keadaan lingkungan suatu wilayah merupakan salah satu faktor dalam menentukan pola tingkah laku manusia yang menempatinya.

Sebagai contoh yang menggambarkan bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumahnya. Rumah dapat dikatakan juga sebagai salah satu dari wujud kebudayaan karena merupakan hasil karya manusia. Sebagai bagian dari suatu sistem selain merupakan hasil karya manusia terdapat juga norma-norma yang mempengaruhi tingkah laku manusia dalam mendirikan sebuah rumah.

Terjadinya kontak budaya dengan bangsa asing pada akhirnya memperkaya khasanah budaya setempat. Di kawasan Sumatera Selatan perpaduan budaya Eropa dengan budaya setempat tersebut antara lain dapat dilihat pada penerapan gaya arsitektur Eropa pada bangunan-bangunannya. Berdasarkan tipologi seperti yang diuraikan sebelumnya bangunan rumah tinggal tidak termasuk dalam tipe manapun; sedangkan bangunan yang berfungsi sebagai bangunan umum di Kota Palembang masih termasuk dalam tipe 3. Tipologi bangunan rumah tinggal di Sumatera Selatan tersebut sebenarnya merupakan tipologi tersendiri yang berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia pada awal abad XX M.

Adanya perubahan tersebut membuktikan bahwa keadaan lingkungan juga mempengaruhi pola tingkah laku manusia yang menempatinya. Pola tingkah laku tersebut terlihat pada penerapan gaya art deco dan de Stijl pada bentuk bangunan yang dipadukan dengan lubang angin yang berbentuk persegi yang bagian tengahnya dipasang profil beton yang mendatar atau profil yang berbentuk melengkung yang dipasang tegak lurus. Pada beberapa bangunan, lubang anginnya berupa hiasan kerawangan bermotif geometris yang berbentuk persegi atau bujursangkar. Penggunaan lubang angin ini dikarenakan kondisi iklim Indonesia yang merupakan daerah tropis sehingga jelas terlihat bahwa bangsa Eropa tidak serta merta menerapkan gaya arsitektur Eropa pada rumah tinggalnya tetapi juga beradaptasi dengan kondisi lingkungan setempat.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya kontak budaya yang terjadi antara dua kelompok masyarakat yang saling berbeda dapat juga menghasilkan corak tertentu dalam kebudayaan masyrakat setempat tanpa menghilangkan kebudayaan aslinya. Pada masa kolonial hal tersebut terlihat pada munculnya gaya Indis, yaitu berpadunya kebudayaan lokal dengan kebudayaan Eropa. Pada bangunan rumah tinggal di Sumatera Selatan, perpaduan itu terlihat pada bentuk rumah yang berupa rumah limas atau rumah panggung biasa tetapi ornamen-ornamen dekoratifnya bergaya Eropa.

Bangunan-bangunan umum di Kota Palembang pada dasarnya sama seperti bangunan-bangunan umum lainnya di Indonesia yang didirikan pada awal abad XX M. Bangunan tersebut umumnya menerapkan gaya arsitektur Eropa secara utuh. Hal ini dikarenakan kepemilikan yang merupakan milik pemerintah Hindia-Belanda maka dibangun sedemikian rupa sehingga mencerminkan kewibawaan dan kekuasaan Bangsa Eropa di daerah koloninya. Hal ini dapat dianggap sebagai salah satu bentuk legitimasi kekuasaan Kerajaan Belanda di Indonesia.

Daftar Pustaka

Blumenson, John J G, 1977, Identifying American Architecture. New York: WW Norton & Company.
Deetz, James, 1967, Invitation to Archaeology. New York: The Natural History Press.
Fagan, Brian M, 1991, In The Beginning: An Introducing to Archaeology. 7th edition. New York: Harper Collins Publisher.
Hanafiah, Djohan, 1988, Palembang Zaman Bari. Citra Palembang Tempo Doeloe. Palembang: Humas Pemerintah Kotamadya Daerah Tk II Palembang.
-----------(ed.), 2002, Perang Palembang Melawan VOC. Jakarta: Millennium Publisher.
Heuken S J, Adolf dan Grace Pamungkas, 2001, Menteng, 'Kota taman' pertama di Indonesia. Jakarta Yayasan Cipta Loka Caraka.
Koentjaraningrat, 1983, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
nn, 2004, Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT Delta Pamungkas.
Oesman, Osrifoel, 1996, "Rekonstruksi Bangunan Hunian di Situs Trowulan. Suatu Kajian terhadap Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhinya" dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII, Cipanas, 12 - 16 Maret 1996.
Purwanti, Retno dan Eka Asih P T, 1995, " Situs-Situs Keagamaan di Palembang: Suatu Tinjauan Kawasan dan Tata Letak" dalam Berkala Arkeologi tahun XV - Edisi Khusus - 1995 hal. 65-69.
Sevenhoven, J.L. van, 1971, Lukisan Tentang Ibukota Palembang. Jakarta: Bhratara.
Shahrer, Robert J. dan Wendy Ashmore, 1979, Fundamental of Archaeology. California: Benjamin/Cumming Publishing Company Inc.
Sukiman, Djoko, 2000, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVII - Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Sumintardja, Jauhari, 1978, Kompendium Sejarah Arsitektur Jilid I. Bandung: Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.
Tim Penelitian Arkeologi Palembang, 1992. Himpunan Hasil Penelitian Arkeologi di Palembang tahun 1984 - 1992 (belum diterbitkan).
Utomo, Bambang Budi, 1993, "Belajar Menata Kota Dari Dapunta Hyang Sri Jayanasa", dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah, hal. B4-1 - B4-9.

KISAH 4 KERATON

MENELUSURI JEJAK KERATON-KERATON
Sejarah Sosial Politik dan Budaya Kesultanan
Palembang Darusalam


Nama dan artinya .
Kota Palembang adalah sebuah kota tertua di Nusantara, mempunyai sejarah panjang dalam khasanah budaya Nusantara. Sebuah nama yang paling banyak memberikan catatan bahkan ilham dalam perkembangan sejarah dan kebudayaan di Nusantara. Meskipun nama ataupun toponim Palembang itu sendiri secara sederhana hanya menunjukkan suatu tempat(Pa yang berarti suatu kata awal menunjukkan tempat). Kosa kata lembang berasal dari bahasa Melayu yang artinya: tanah yang rendah, tanah yang tertekan, akar yang membengkak dan lunak karena lama terendam dalam air. Sedangkan menurut bahasa Palembang sendiri: lembeng adalah mengalir , menetes atau kumparan air. Selanjutnya dalam bahasa Melayu : lembang berarti: tanah yang berlekuk, tanah yang menjadi dalam karena dilalui air, tanah yang rendah. Ada pengertian lain dari lembang yan cukup menarik, yaitu : tidak tersusun rapi, berserak-serak.
Pengertian Pa-lembang adalah tempat yang berkumparan air, atau tanah yang berair dicatat pertama kali oleh pelapor Belanda pada tahun 1824 didalam bukunya Proeve Eener Beschrivijng van het Gebied van Palembang . Diterbitkan oleh J.Oomkens, Groningen tahun 1843, dan penulis atau pelapor tersebut adalah W.L.de Sturler(Pensiunan Mayor pada tentara Belanda). Dengan demikian pengertian orang-orang Palembang pada waktu itu tentang nama kotanya adalah ‘tempat yang tergenang air’. Gambaran topografi Palembang pada tahun 1990 tergambar jelas dalam angka statistik dibawah ini(Kantor Statistik Kotamadya Palembang,1990)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Drainase tamah Luas(ha) %
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1. Tak tergenang air 10.009,4 47,76
2. Tergenang sehari setelah hujan 444,3 2,12
3. Tergenang pengaruh pasang surut 308,1 1,47
4. Tergenang musiman 2,366,1 11,29
5. Tergenang terus menerus 7,829,8 37,36



Letak dan bentuk kota.
Kota Palembang terletak sekitar 75 mil dari muara Sungai Musi, dimana muara tersebut terletak di Selat Bangka. Kota itu sendiri terletak dipinggir sungai Musi diantara muara sungai Ogan dan sungai Komering(dua sungai besar yang bermuara di sungai Musi). Kota ini diyakini telah berumur 1320 tahun, berdasarkan atas tafsir dan analisa prasasti Kedukan Bukit .
Dalam penelitian sejarah dan arkeologi yang panjang dan berlarut(sejak tahun 1918), maka setelah berpolemik dalam tulisan-tulisan dan seminar-seminar yang hangat, para pakar dan sarjana berkesimpulan adanya kerajaan besar bernama Sriwijaya yang pada abad ke 7 berpusat di Palembang. Sejak tahun 1982 - 1990 penggalian arkeologi secara intensif dilakukan di kota Palembang. Hasilnya merupakan hasil analisis temuan arkeologi, antara lain: prasasti, arca, keramik, fragmen perahu dan ekskavasi pada permukiman kuno.
Bentuk kota Palembang dari abad ke 8 - 9 berdasarkan laporan dan catatan kronik Cina serta tulisan pelaut Arab dan Parsi dapat diyakini bentuknya adalah memanjang sepanjang sungai Musi mulai dari sekitar Pabrik Pupuk Sriwijaya sampai ke Karang Anyar, dimana dibagian seberang ulu tidak ada permukiman. Bentuk kota ini secara morfologi kota disebut ribbon shaped city(kota berbentuk pita). Luas kota menurut catatan saudagar Arab, Sulayman , pada tahun 815 yang mencatat beberapa gosip para pedagang, bahwa “pantas dapat dipercaya bahwa luas kota ini didengar dari kokok ayam diwaktu subuh dan terus menerus berkokok bersahutan dengan ayam jantan lainnya yang berjarak lebih dari 100 prasang(satu prasang kurang lebih 6,25 km), karena kampungnya berkesinambungan satu sama lain tanpa terputus”. Apa yang dicatat oleh saudagar Arab tersebut, tidak jauh dari anekdot yang dicatat oleh pelapor Belanda L.C.Westenenk : bahwa besarnya batas kota ini digambarkan bagaimana seekor kucing dapat berjalan tanpa memijak tanah dari Palembang Lama ke Batanghari Leko, karena cukup dengan hanya melompati dari satu atap ke atap lain dari rumah-rumah penduduk.
Dapat dibayangkan dalam kenyataan Palembang pada masa Sriwijaya tersebut dengan membandingkan letak dari prasasti Telaga Batu yang berada di kampung 2 ilir dan prasasti Kedudukan Bukit di 35 ilir, serta prasasti Talang Tuo yang berada di Kecamatan Talang Kelapa. Dan yang pasti bentuk kota Palembang orientasinya sepanjang sungai Musi dibelahan seberang ilir. Dapat pula dikatakan Palembang pada waktu berada diperairan antara muara Sungai Komering dan Sungai Ogan.
Bagaimana terserak-seraknya kota Palembang pada waktu, seperti arti kata lembang(=terserak-serak, tidak tersusun rapi), dapat dibaca dari catatan Cina abad ke 12 dan 13: “Penduduknya tinggal diluar kota, atau mereka tinggal dirakit diatas air, suatu tempat tinggal yang lantainya terdiri dari bambu. Mereka dibebaskan dari segala bentuk pajak.”
Selanjutnya catatan Cina lainnya yaitu Yeng-yai sheng-lan-chiao-chu ;
menggambarkan keadaan masa itu sebagai berikut: “Tempat ini dikelilingi oleh air dan tanah kering sedikit sekali. Para pemimpin semuanya tinggal dirumah-rumah yang dibuat diatas tanah yang kering dipinggiran sungai. Rumah-rumah rakyat biasa terpisah dari rumah pemimpin, mereka semua tinggal diatas rumah-rumah rakit yang diikatkan pada tiang ditepian dengan tali. Apabila air pasang, rakit akan terangkat dan tak akan tenggelam. Seandainya penduduk akan pindah ketempat lain, mereka memindahkan tiang dan menggerakkan rumahnya sendiri tanpa mengalami banyak kesulitan. Didekat muara sungai, pasang dan surut terjadi 2 kali dalam sehari dan semalam.”
Gambaran bagaimana kehidupan penduduk Palembang dengan air atau sungai, digambarkan dengan jelas oleh sarjana biologi Inggris yang terkenal diabad ke 19 sewaktu berkunjung ke Palembang, yaitu Alfred Wallace Russel : “Penduduknya adalah orang Melayu tulen, yang tak akan pernah membangun sebuah rumah diatas tanah kering selagi mereka masih melihat dapat membuat rumah diatas air, dan tak akan pergi kemana-mana dengan berjalan kaki, selagi masih dapat dicapai dengan perahu.”
Gambaran Alfred Wallace Russel tersebut merupakan suatu kenyataan buruk bagi Gemeente Palembang, yaitu suatu kendala saat Gemeente ingin membangun kota Palembang secara modern. Dalam laporan 25 tahun setelah Palembang menjadi Gemeente, yaitu suatu pemerintah kota yang otonom pada tahun 1906 adalah sebagai berikut: “Kesulitan untuk mendapatkan lahan pembangunan yang cocok dalam kota ini disebabkan, disatu fihak masih banyak rawa-rawa diantara tanah yang lebih tinggi, dilain fihak ditanah yang tinggi yang baik itu dipenuhi oleh terutama tanah pekuburan. Generasi-generasi terdahulu memilih tempat tinggal ditanah-tanah rendah dekat air, dan menguburkan jenazah-jenazah mereka ditanah tinggi yang kering( italic oleh penulis) .
Selanjutnya laporan pada tahun 1930 menggambarkan bahwa topografi Palembang sebagai suatu waterfront, kota yang menghadap keair dengan anak-anak sungai yang besar dan kecil memotong kedua tepiannya, sehingga membentuk kota laguna . Banyaknya anak-anak sungai memberikan kota ini julukan yang lebih indah, sebagai Indisch Venetie. Gambaran kota lebih lagi mempunyai cirinya yang jelas dengan banyaknya rumah-rumah dibangun diatas tiang-tiang kayu oleh karena permukaan tanah yang luas dari kota ini adalah rawa. Rumah-rumah ini satu dengan lainnya dihubungkan dengan jembatan layang yang sederhana dari kayu diatas tiang-tiang.
Adanya pasang surut dan lebatnya hujan, menyebabkan permukaan air berbeda sangat besar. Perbedaan tingkat pada air pasang surut di musim hujan dengan musim kemarau kira-kira 3,8 meter. Pada saat air pasang banyak tanah tenggelam dibawah air, dimana “tambangan”(perahu) berkeliling dengan lincah disekitar kota, menimbulkan suatu pemandangan bagaikan lukisan. Sebaliknya pada saat air surut, tanah dan solok(anak sungai kecil) berubah, menjadi lumpur dan solok-solok lumpur, yang memberikan pemandangan yang tidak indah dan rakyat menamakannya “kota lumpur”.

Topografi Palembang .

Telah digambarkan bahwa sejak zaman Sriwijaya sampai dengan zaman kolonial, yaitu pada saat Palembang menjadi Kotapraja(gemeente), keadaan topografinya tidak banyak perubahan. Bentuk kota yang memanjang sepanjang sungai Musi, mulai dari persimpangan muara sungai Komering sampai dengan persimpangan muara sungai Ogan.
Para arkeologis melihat Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, tidak melihat peninggalan yang menggambarkan suatu kemegahan. Barangkali Palembang sebagai pusat Sriwijaya tidak sama dengan pusat-pusat kerajaan lain, yang banyak ditemukan diwilayah Asia Tenggara, seperti di Thailand, Kamboja dan Birma. Palembang diduga bersifat “mendesa”(rural). Bahan untuk membuat bangunan-bangunannya hanyalah bahan-bahan dari kayu atau bambu yang mudah didapat disekitarnya. Namun karena bahan itu merupakan bahan yang mudah rusak termakan zaman, maka sisa rumah tinggal sudah tidak dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa permukiman kayu hanya ditemukan didaerah rawa atau sungai yang selalu terendam air. Bangunan yang dibuat dari bahan bata atau batu hanya diperuntukkan bagi bangunan sakral(bangunan keagamaan) .

Kuto Gawang, keraton pertama

Bangunan pada zaman Sriwijaya sudah rusak dan hilang, barangkali wajar saja, karena dimakan oleh waktu lebih dari seribu tahun. Akan tetapi bagaimana dengan nasib bangunan pada zaman Kesultanan Palembang pada awal dan pertengahannya, sedangkan peninggalan diakhir kesultanan Palembang (abad ke 19) nyaris hilang atau hancur tak terpelihara. Pada saat ini hanya Masjid Agung Palembang yang bernasib baik, karena telah direstorasi dan renovasi. Masjid tersebut dibangun pada tahun 1738 oleh Sultan Mahmud Badarudin I(1724-1757).
Keraton Palembang yang pertama kali dibangun oleh para priyai yang datang dari Jawa pada abad ke 16, tepatnya dari wilayah Jipang dalam lingkup kekuasaan kerajaan Demak. Para priyai ini adalah pengikut Aria Jipang, yaitu Pangeran Penangsang yang tewas dalam perebutan tahta Demak. Dengan tewasnya Pangeran Penangsang, maka para pengikutnya melarikan diri dari wilayah Demak. Pimpinan para priyai yang hijrah ke Palembang ini adalah Ki Gede ing Sura. Dari nama dan gelarnya dapat diketahui setidaknya dia adalah seorang Sura , berarti: seorang gagah berani, bersifat kepahlawanan, laki-laki perkasa. Sedangkan gelar Ki Gede menurut H.J.de Graaf :”Ki yang dipakai oleh pendahulu-pendahulu Senapati, yaitu Ki Ageng Sela, Ki Ageng Ngenis dan Kia Ageng Pemanahan, dan bukan raden , menunjukkan bahwa mereka itu berasal dari kalangan rendahan. Tetapi memang benar mereka itu merupakan pemuka-pemuka didaerahnya, terbukti mereka itu mempergunakan predikat ageng atau gede dibelakang sebutan Ki.”

Peran dan fungsi keraton

Keraton pertama yang didirikan oleh Ki Gede ing Sura adalah Keraton Kuta Gawang, situsnya sekarang menjadi kompleks pabrik Pupuk Sriwijaya(PUSRI). Makamnya berada diluar Kuta Gawang, yang sekarang dikenal sebagai Makam Candi Gede ing Suro. Nama kerajaan yang didirikan adalah nama Palembang, suatu nama yang kharismatis dalam dunia Melayu. Legimitasi yang mereka bawa adalah dari kerajaan Demak, yang juga merupakan “pewaris” kerajaan Majapahit. Memperkuat diri mereka ditengah orang-orang Melayu di Palembang, selain melakukan perkawinan antar keluarga keraton dengan orang-orang besar Melayu, juga mereka mengadaptasi kebudayaan Melayu.
Keraton yang menjadi inti ibukota secara kosmologis merupakan pusat kekuatan magis dari kerajaan itu . Keraton Palembang adalah pusat dari Batanghari Sembilan, yang merupakan lambang kosmologi, yaitu adanya delapan penjuru mata angin, dimana penjuru kesembilan berada di Keraton Palembang . Dengan demikian klaim Palembang atas daerah-daerah luarnya berada dibatas-batas Batanghari(sungai). Luas kerajaannya tergantung siapa yang yang menjadi rajanya. Batas kerajaan Palembang bisa besar dan bisa mengecil. Jika rajanya berpengaruh dan berdiplomasi tinggi, daerahnya akan meluas, demikian pula sebaliknya.
Kerajaan Palembang membagi wilayahnya menjadi:
Ibukota
Sebagai pusat kosmos, pusat kebudayaan, pusat politik dan kekuasaan, pusat magis dan legimitasi. Wilayah ini sepenuhnya berada dibawah Sultan Palembang.
Kepungutan
Kepungutan adalah daerah yang langsung diperintah oleh Sultan. Menurut de Brauw : “…dengan orang Kepungut, yang berarti “dipungut”(dilindungi), dimaksudkan adalah orang-orang pedalaman Palembang, yang langsung berada dibawah kekuasaan raja-raja, mereka dikenakan segala pajak. Berbeda dengan penduduk perbatasan, yang tidak dibebani dengan pelbagau macam pajak, dan hanya dianggap sekutu yang hanya dikenakan cukai.”
Sindang.
Diperbatasan wilayah Kepungutan terletak wilayah Sindang, yang merupakan wilayah paling ujung atau pinggir. Tugas Sindang adalah menjaga batas-batas kerajaan. Penduduknya tidak membayar pajak dan beban-beban lain dari Kesultanan Palembang. Mereka dianggap orang-orang merdeka dan teman dari Sultan. Mereka hanya punya suatu “kewajiban”(lebih bersifat adat), yaitu seba, setidaknya tiga tahun sekali ke Palembang. Menurut Du Bois : “Tidaklah atas dasar kewajiban, akan tetapi oleh karena adanya adat dikalangan pribumi untuk saling kunjung mengunjungi dan menjadi kebiasaan, bahwa mereka juga tidaklah datang dengan tangan hampa.”
Sikap
Diantara kedua bentuk wilayah tersebut, terdapat wilayah sikap , suatu dusun atau kumpulan dusun yang dilepaskan dari marga, dibawahi langsung oleh pamong Sultan, yaitu jenang dan raban. Dusun-dusun ini terletak di muara-muara sungai yang strategis, dan mereka mempunyai tugas-tugas khusus untuk Sultan, umpamanya sebagai tukang kayuh perahu Sultan, tukang kayu, tukang pembawa air, prajurit dan pelbagai keahlian lainnya. Mereka dibebaskan dari pelbagai bentuk pajak. Tugas yang dilakukan oleh mereka adalah gawe raja.

Luas dan tempat kedudukan keraton.
Keraton Kuta Gawang adalah sebuah keraton setidaknya telah berdiri 100 tahun, sebelum dibakar habis oleh VOC tahun 1659. Kuta Gawang berbentuk empat persegi, dikelilingi kayu besi dan unglen 4 persegi dengan ketebalan 30 x 30 cm. Panjang dan lebar benteng ini berukuran 290 Rijnlandsche roede(1093 mter). Tinggi dinding temboknya adalah 24 kaki, atau kurang lebih 7,25 m . Benteng ini menghadap ke sungai Musi, dengan pintu masuk melalui Sungai Rengas. Sedangkan kanan dan kiri benteng dibatasi oleh sungai Buah dan sungai Taligawe . Benteng ini mempunyai 3 baluarti, dimana baluarti tengah terbuat dari batu. Orang-orang asing bermukim diseberang benteng di seberang ulu sungai Musi. Mereka adalah orang-orang Portugis, Belanda, Cina, Melayu, Arab, Campa, Melayu dan lainnya.
Benteng ini mempunyai pertahanan berlapis dengan kubu-kubu yang terletak di pulau Kemaro, Plaju, Bagus Kuning dan Plaju. Disamping itu terdapat cerucuk yang memagari sungai Musi antara pulau Kemaro dan Plaju. Kuta Gawang merupakan kota yang dilindungi oleh Kuto(= pagar dinding tinggi), tipekal kota zaman madya.
Pengetahuan kita tentang kota pada zaman Kuta Gawang ini amat sangat terbatas. Selain peta yang dibuat oleh Laksamana Joan van der Laen sebelum menyerbu Palembang 1659 , juga sketsa tentang peperangan tahun 1659 di Kuta Gawang . Tidak ada naskah Palembang yang menjelaskan tentang bentuk dan isi Kuta Gawang tersebut. Oleh karena Kuta Gawang tersebut sangat tertutup, maka para penulis Eropa hanya menganalisa dari peta dan sketsa Kuta Gawang tersebut. Yang ada hanyalah laporan tentang penyerbuan ke Kuta Gawang serta pembumi hangusan Kuta Gawang yang memakan waktu beberapa hari.
Atas peristiwa ini, raja dan rakyat Palembang mengungsi keluar kota meninggalkan reruntuhan Kuta Gawang yang telah menjadi arang dan abu. Raja Palembang Seda ing Rejek mengungsi ke Sako Tiga(wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir) dan meninggal disana. Selanjutnya nasib Kuta Gawang setelah lebih dua ratus kemudian dilaporkan :”…. suatu tempat dimana satu abad lalu( sebenarnya lebih dua abad lalu, pen.), telah berdiri kraton atau dalem dari raja-raja Palembang waktu itu. Sedikit bekas bangunannya masih dapat dilihat, disana sini ada sepotong dinding ditumbuhi tumbuhan yang memanjat dan bunga-bunga warna-warni yang biasa tumbuh dipadangan. Reruntuhan gerbang, dinaungi dan dilindungi dibawah beringin yang menarik, adalah segala-galanya sebagai sisa kenangan yang hidup, dari suatu tempat, dimana pernah ada suatu kerajaan, kemegahan dan perlakuan despotisme. Didekatnya atau sekitar reruntuhan berdiri suatu pendopo yang indah, pada saat musim kemarau kepala-kepala(pejabat) bangsa Melayu yang bertugas, ambtenar-ambtenar dan perwira-perwira bangsa Eropa berkumpul, untuk melatih diri dalam menembak dengan mengunakan senapan dan yang serupanya(buks). Tempat ini diperkaya oleh alam dengan pohon-pohonan, flora dan fauna memberikan banyak manfaat. Gerombolan monyet bergelantungan dari satu pohon ke lain pohon, dari ranting kelain ranting, bahkan suara tembakan senapan tidak memaksa mereka meninggalkan tempat itu, karena banyaknya buah-buahan dan bunga-bunga-bunga yang tersedia.”
Pada tahun 1960-an tempat ini kemudian dibuka untuk pendirian fabrik pupuk, yaitu Pupuk Sriwijaya. Pada waktu penggalian untuk konstruksi fabrik banyak sekali terdapat balok-balok kayu bekas dinding kuto, juga temuan lainnya. Akan tetapi pada waktu itu kita belum memperdulikan masalah “kesejarahan”, temuan-temuan tersebut tidak menjadi perhatian.






Inilah kota Palembang pada 1659 dibuat oleh Laksamana J.van der Laen. Peta ini dibuat sebelumPalembang dihancurkan oleh VOC pada tahun 1659.
















Palembang diserang, dihancurkan dan kemudian dibakar oleh VOC pada tahun 1659.












Kuta Tengkuruk(Kuta Batu/Kuta Lama).

Perkembangan kota Palembang pada masa Sultan Mahmud Badaruddin I mengalami kemajuan dan juga modernisasi. Dia adalah tokoh kontroversial, seorang tokoh pembangunan yang modern, realistis dan pragmatis, tapi juga seorang petualang yang kompromistis. Dia adalah tokoh utama dalam pembangunan Palembang, baik dibidang ekonomi, politik maupun tatanan sosial. Dia membangun pengairan sepanjang sungai Mesuji, Ogan, Komering dan Musi, bukan saja untuk pertanian, melainkan sekaligus juga untuk jalan pertahanan.
Tiga buah bangunan monumental dididirikannya, dengan visi, arsitektur dan fungsi yang berlainan satu sama lain. Prioritas utama dalam pembangunan itu adalah makam yang berbentuk kubah untuk dirinya dan keluarganya. Makam ini dibangunnya tahun 1728 diatas perbukitan dipinggir Sungai Musi. Tempat itu bernama Lemabang. Nama ini dapat diindikasikan kalau perbukitan itu memang suatu tempat tanah yang tinggi atau ditinggikan. Untuk mencapai makamnya dari sungai Musi kita harus melewati beberapa gapura dan pagar yang pintunya melengkung ditopang tiang-tiang gaya Eropa. Dari tempat peristirahatan terakhirnya itu, seolah-olah Sultan masih ingin tetap mengawasi kehidupan perkembangan dan perkembangan rakyat dikota Palembang. Bangunan ini adalah bangunan berkubah yang pertama dibangun. Kubah merupakan ciri aristek Islam. Makam Lemabang adalah makam Kesultanan Palembang yang terbesar dan jenasah yang berkubur juga mulai Mahmud Badaruddin I, putra-putranya termasuk Sultan Ahmad Najamudin I(1754-1774) dan cucu Badarudin I yaitu Mohamad Bahaudin(1774-1803).
Pada tahun 1737 dibangun pula keraton yang berada ditepi sungai Tengkuruk, dikenal sebagai keraton Tengkuruk atau Kuta Batu. Kuta ini mempunyai 4 baluwarti(bastion), panjang dan lebarnya adalah 164 m . Kuta ini terletak diatas “pulau” yang dikelilingi oleh: depannya sungai Musi, dibelakangnya sungai Kapuran, disamping sebelah hulu adalah sungai Sekanak dan sebelah hilir sungai Tengkuruk. Kuta ini merupakan keratin ketiga dari Kesultanan Palembang.
Masjid Agung didirikan diatas “pulau” yang sama, berada di utara dari Kuta Tengkuruk, dengan posisi disudut sungai Tengkuruk dan sungai Kapuran. Nama sungai Tengkuruk ini menerbitkan spekulasi, apakah asal kata: Teng atau Te menunjukkan keadaan yang di “urug”. Dalam hal ini arti “urug” menurut bahasa Jawa Kuno adalah timbun, artinya sungai itu digali untuk di”urug” ke lahan yang dibangun untuk Keraton ataupun Masjid. Kelihatan sekali pada saat ini lantai Masjid tingginya lebih dari 1,50 m dari lantai pekarangan. Kemungkinan pada awalnya keadaan lantai masjid ini lebih tinggi lagi. Sedangkan menurut bahasa Kawi, “urug” artinya asri atau indah. Pengertian ini mungkin saja dapat diterima, karena sepanjang sungai tersebut terdapat dua bangunan monumental, yaitu Keraton dan Masjid.
Masjid ini dibangun pertama kali tahun 1738 dan rampung setelah tahun 1748. Sebuah bangunan sangat monumental pada zaman itu, membuat kekaguman orang Eropa, antara lain adalah Dr. Otto Mohnike seorang Jerman yang berkunjung ke Palembang tahun 1874, menyatakan sie ist eine der grossen und schonsten in Niederlandisch-Indien(sebuah masjid terbesar dan terindah di Hindia Belanda)
































Kuto Tengkuruk atau Kuto Batu
















Masjid Agung Palembang setelah direstorasi nampak jelas
bentuk asli, yaitu bentuk sewaktu dibangun pada tahun 1738





Kuto Baru atau Kuto Besak

Setelah masa Sultan Mahmud Badarudin I, Kesultanan Palembang Darusalam terus berkembang pesat. Ekonomi Palembang, terutama dalam perdagangan hasil bumi(lada dan hasil hutannya) dan timah memberikan masukan kepada pasar Nusantara, Eropa dan Cina. Dalam keadaan ekonomi yang baik tersebut, perkembangan siyar agama Islam terus meningkat. Bahkan Palembang menjadi Pusat sastra Islam di Nusantara setelah Aceh mengalami kemunduran diabad ke 17. Nama-nama besar para ulama dari Palembang sangat dikenal di Nusantara, antara lain Abdul.Somad al Palimbani, Syihabudin bin Abdallah Muhamad, Kemas Fachrudin, Muhamad Muhyiddin bin Syaikh Syihabudin .














Kuto Besak pada saat dikuasai Inggris pada tahun 1812.











Kekayaan dan kejayaan Keraton Palembang saat itu membuat kekaguman tokoh-tokoh Eropa antara lain Thomas Raffles sendiri menyatakan kepada atasannya Lord Minto dalam suratnya tanggal 15 Desember 1810, bahwa:
“ Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dolar dan emas yang telah ditimbun oleh para leluhurnya” .
Dengan kekayaannya ini maka Sultan Muhamad Bahaudin sanggup mengeluarkan uangnya sendiri dari koceknya seperti yang ditulis oleh pelapor Belanda untuk membangunan sebuah Kuto yang baru, yang kemudian dikenal sebagai Kuto Besak. Kedua nama tersebut yaitu Kuto Baru dan Kuto Besak adalah sebagai pandanan terhadap bangunan Kuto yang dibangun oleh Mahmud Badaruddin I, yang dianggap sebagai Kuto Lama dan Kuto Kecik. Fihak Belanda menyebut kedua kraton ini sebagai de nieuwe kraton dan de oude kraton.
Ukuran dan luas serta isi keraton ini ditulis oleh I.J.Sevenhoven seorang Komisaris Belanda di palembang th 1821.:” Kuto Besak berukuran lebar 77 dan panjang 49 roede(Amsterdam roede = kurang lebih 3,75 m, atau panjangnya ialah 288,75 m. dan lebarnya 183,75 m), dengan keliling tembok yang kuat dan tingginya 30 kaki serta lebarnya 6 atau 7 kaki. Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion(baluarti). Didalam masih ada tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang kuat, sehingga dapat dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama dapat didobrak.”
Komentar orang-orang Eropa pada waktu itu yang mekagumi Benteng Kuto Besak, antara lain ambtenar Belanda J.A.van Rijn van Alkemede : “Benteng ini adalah salah satu yang terbesar di Kepulauan Hindia(maksudnya Indonesia sekarang, pen) dan tidak dapat dikalahkan oleh musuh dari pedalaman." Kemudian Mayor M.H.Court, Residen Inggris untuk Palembang, kemudian menjadi Residen dan Komandan di Bangka, menyatakan: “ Kraton Sultan adalah bangunan yang sangat indah(magnificient structure) dibuat dari bata serta dikelilingi oleh dinding yang kuat Tempat tinggal para pemimpinnya sangat luas dan nyaman, meskipun demikian tidak ada menunjukkan kemewahan.” .
Atas komentar-komentar tersebut Sultan Mohamad Bahaudin boleh berbangga hati, dan lebih lagi dia boleh berbangga, karena puteranya Sultan Mahmud Badarudin II membuktikan ketangguhan benteng tersebut pada waktu Perang Palembang I dan II ditahun 1819. Pada perang tersebut peluru-peluru korvet Belanda tidak dapat menggetarkan dinding-dinding Kuto Besak. Dua kali serangan di lakukan pada tahun 1819, membuat armada Belanda frustrasi dan mengundurkan diri ke Batavia. Peristiwa ini ditulis dalam suatu syair yang indah yaitu Syair Perang Palembang atau lebih populer dengan sebutan Syair Perang Menteng.
Terhadap suatu serbuan yang berkelebihan(overmacht) dari fihak Belanda, dimana ratusan kapal perang dan 5.000 pasukan terlatih baik, yang sebagian didatangkan dari Eropa, maka pada tahun 1821 Kuta Besak dapat ditaklukan oleh Belanda. Pada tahun 1823 Kesultanan Palembang dihapuskan dalam peta Nusantara. Kuta Besak dijadikan markas tentara Belanda. Sedangkan Kuta Lama(Kuta Tengkuruk) pada tahun 1825 dibongkar dan bahan-bahan bangunannya dibuat bangunan rumah Komisaris Belanda.
Atas pendudukan Kuta Besak dan penghancuran Kuta Lama, maka konsentrasi kota berada diwilayah ini. Pasar dan kantor-kantor berdiri dilingkungan Kuta Besak, bahkan perahu-perahu pun menjadikannya tempat berlabuh yang ideal.


Keraton Beringin Janggut

Jikalau situs ataupun tapakan keraton Palembang yang pertama jelas tempatnya, bahkan petanya ada; demikian pula keraton terakhir Kesultanan Palembang masih wujud keberadaannya. Menjadi pertanyaan dimana situs atau tapakan Keraton Kedua, yaitu Keraton Sultan Abdurahman berada?
Catatan dari keraton Palembang tidak diketemukan sama sekali mengenai letak keraton tersebut. Laporan dari fihak kolonial mungkin juga, belum sempat kita gali dan bongkar. Akan tetapi dengan tulisan yang dibuat oleh J.W.J.Wellan tentang dimana keraton tersebut, membuat kita juga pesimis untuk menemukannya. Mengapa demikian? Jawabannya mari kita simak apa yang ditulis oleh J.W.J.Wellan dalam upaya dia mencari tapak kawasan Masjid Lama: Eertijds meende ik, dat het centrum van de nieuwe stad Palembang, in 1662, waarschijnlijk gezocht moest worden achter de Kampong Soero, in de buurt van de tegenwoordige politiekazerne, maar derde brief, thans van den Opperkoopman te Palembang, Nicolaus Jan de Beveren, gedagteekend 22 Juli 1721, heeft mijn vermoeden aan het wankelen gebracht.( Dahulu saya mengira, bahwa pusat dari kota Palembang yang baru, dalam tahun 1662, mungkin harus dicari dibelakang kampung Suro, disekitar asrama polisi yang sekarang, tetapi surat ketiga dari Pedagang Kepala di Palembang, Nicolaus Jan de Beveren, tertanggal 22 Juli 1721, membuat perkiraan saya menjadi goyang).
Kenapa pernyataan J.W.J.Wellan tersebut mempengaruhi saya, karena Tuan Wellan adalah seorang Archivaris(ahli arsip) dari Zuid Sumatra-Institut. Dimana dia menerbitkan bibliografi tentang Zuid Sumatra(Sumatra Selatan termasuk Jambi, Bengkulu dan Lampung) yang berjudul Zuid Sumatra overzicht van de literatur der gewesten Bengkoelen, Djambi, De Lampongsche Districten en Palembang terdiri dari dua jilid dicetak di s’Gravenhage – Holland pada tahun 1923 dan 1930. Isinya terdiri ribuan judul buku-buku yang diterbitkan mengenai Zuid Sumatra, buletin, majalah, surat-surat resmi dan Dagh Register sejak tahun 1624, peta-peta, photo-photo, gambar serta segala sesuatu mengenai Zuid Sumatra. Dengan modal yang ada padanya sebagai seorang archivaris dia menerbitkan beberapa buku, makalah dan tulisa-tulisan lainnya, baik tentang sejarah, sosial, ekonomi dan politik. Sayangnya dia tidak menulis mengenai Keraton Sultan Abdulrahman !
Artinya kita harus mencoba menyusun dari segala serpihan tulisan yang ada tentang Palembang dizaman Sultan Abdulrahman, cerita tutur yang ada, dan kenyataan tentang adanya situs serta toponimi yang masih wujud di Palembang pada saat ini.

Menghimpun catatan sejarah tentang masa Sultan Abdurahman.
Catatan sejarah tentang tokoh ini mencukupi, baik dari arsip kolonial maupun naskah tulisan tangan dari para priyai Palembang. Beliau adalah seorang Sultan yang amat dikenal terutama di daerah pedalaman dan dihormati oleh Belanda. Bagi raja-raja di Jawa, baik di Banten dan Mataram, nama Sultan ini sangat disegani. Akibat semua ini menjadikan dia sebagai suatu mitos orang hebat. Bahkan dalam catatan keraton Surakarta abad ke 19 beliau dianggap sebagai “king with magic power” . Pernyataan itu dituliskan sebagai: Stories spoke of Sultan Cinde Balang’s special qualities, his powers of meditation, his gift of second sight, his prowess in war; “people say that he gained the love and respect of his subjects, that he was mild tempered, wise and fair, and that under him the land blossomed and prospered.”
Sultan Abdulrahman adalah seorang tokoh yang menyelamatkan Kesultanan Palembang, yaitu setelah kejatuhan Palembang oleh serangan VOC 1659, karena pada saat itu terjadilah semacam perebutan pengaruh untuk menjadi penerus tampuk Kesultanan Palembang. Ternyata dia dapat diterima oleh segala fihak, termasuk Jambi dan VOC. Dalam melanjutkan kepemimpinan Palembang setelah kehancuran keraton Kuta Gawang, ekonomi dan politik, maka Abdulrahman memindahkan keratonnya. Inilah pertanyaannya kemana pindahnya dan dimana letak keraton tersebut.
Untuk itu mari kita kumpulkan “data”, atau bahan-bahan yang ada sebagai berikut:

1. Menurut cerita tutur Keraton Palembang setelah terbakar pada tahun 1659 pindah disekitar wilayah Beringin Janggut sekarang ini.
2. Barbara Watson Andaya, seorang sejarahwan dari Amerika menuliskan dalam bukunya sebagai berikut: For its part, the VOC’s expectation of a lasting economically rewarding future in Palembang is attested by the gradual expansion of its lodge, situated on the Aor River opposite royal palace.
3. Disebutkannya loji VOC berseberangan dengan istana, adalah suatu kesepakatan antara raja Palembang dengan VOC , bahwa VOC dapat mendirikan loji diseberang istana. Untuk ukuran besar loji, personalia serta persenjataannya, serta syarat-syarat lainnya juga telah ditetapkan. Di Kuta Gawang belum sempat didirikan loji, baru berupa rakit dan kapal-kapal. Pelaksanaan pendirian loji sebenarnya baru pada tahun 1662. Pembangunan loji ini bersifat bertahap dan tempatnya adalah di sungai Aur, berhadapan dengan keraton Sultan. Menurut naskah Palembang , pada masa awal pemerintahan Sultan Ahmad Najamudin I(1756-1774), VOC meminta kepada Sultan untuk membangun lojinya dari batu, karena selama ini hanya terbuat dari kayu dan bambu.
4. Bagaimana gambaran loji di sungai Aur dituliskan oleh J.S.Gramberg :”Benteng dengan gerbang induk yang menghadap ke sungai Musi, membuat penampilannya mengesankan. Berbentuk persegi empat, terdiri dari dinding batu-batu besar dengan panjang dan lebar kurang lebih 450 kaki(kira-kira 140 m), sehingga mempunyai luas 1400 roede persegi(kira-kira 19.600 m). Didalamnya terdapat gudang persenjataan, gudang untuk barang dagangan, barak rumah sakit serta rumah-rumah untuk pegawai. Dari lubang-lubang tembak mencuat 8 moncong meriam besar, melongok keluar mengancam.”
5. Jikalau ukuran dan bentuk loji sekitar 2 ha, maka setidaknya Keraton Sultan Abdurahman akan sama ukurannya atau bahkan lebih besar. Posisi atau letaknya akan berhadapan dengan loji Sungai Aur, maka keraton itu sekitar Pasar 16 ilir – Jalan Pasar Baru. Kalau disekitar tersebut adalah keratonnya, maka masjidnya terletak disebelah utaranya, kira-kira di Jalan Masjid Lama sekarang ini. Letak masjid ini tidak terlalu jauh dengan sungai Tengkuruk, seperti letak Masjid Agung. Masjid ini dibangun sekitar tahun 1663. Tahun pendirian masjid ini berdasarkan laporan dari Opperkoopman(Pedagang Kepala) Jonathan Claessen dengan suratnya tanggal 30 Juni 1663 ke Batavia . Menurut dia dalam “usahanya membangun loji di Sungai Aur, dia tidak kebagian tenaga kerja, karena diserap untuk pembangunan masjid”. Dapat pula ketiga bangunan itu dibangun secara bersamaan, sehingga sulit memperoleh tenaga kerja dan bahan bangunan.
6. Mari kita mencoba membaca beberapa peta tua baik dari fihak Inggris maupun fihak Belanda.
A. Peta tertua adalah yang dibuat oleh Mayor William Thorn sewaktu meyerbu Palembang th 1811, judulnya: Sketch of the Palaces, Forts and Batteries of Palembang.
B. Peta koleksi KITLV dengan no.H.54.1595 sebuah peta yang digambar dengan pensil: Plattegrond van de hoofdplaats Palembang in 1823,
C. Peta yang dibuat oleh C.F.Stemler, Amsterdam 1877 berjudul Platte grond van Palembang
D. Peta no E 38 dibuat tahun 1819 berjudul Platte grond van Stad Palembang.
Dua peta yaitu peta B dan peta D sangat informatif, karena ada petunjuk mengenai yang diperkirakan tapakan keraton Sultan Abdulrahman, berada juga diatas “pulau”, yaitu yang dibatasi oleh sungai Musi, Sungai Tengkuruk disebelah barat, disebelah timur adalah sungai Rendang/Karang Waru, sedangkan disebelah utara adalah sungai Penedan. Sungai Penedan ini adalah terusan yang menghubungkan Sungai Kemenduran, sungai Kapuran dan sungai Kebun Duku(ketiganya bertemu kira-kira dipersimpangan Jalan Rustam Effendi dan Jalan Sudirman sekarang). Keadan sungai Penedan sejajar dengan jalan Rustam Effendi memotong jalan Sayangan dan Terusan terus ke Sungai Rendang.
Ada indikasi yang jelas digambarkan oleh kedua peta tersebut, yaitu adanya jalan melingkar, kalau digambarkan pada sekarang yaitu dari persimpangan Airmancur – Jalan Masjid Lama melingkar ke jalan Sayangan kembali ke jalan Sudirman melalui jalan Rustam Effendi. Jalan itu adalah satu-satunya jalan dibahagian Palembang timur dan berada di “pulau” katakanlah pulau “beringin janggut”.
Peta D tersebut menuliskan jalan itu sebagai oude kassei, yang saya harapkan tertulis oude kasteel(=istana benteng). Namun biarpun begitu dengan oude kassei(=jalan lama, jalan bebatuan lama) sudah mengindikasikan bahwa setidaknya jalan itu melingkari bekas bangunan besar atau bisa saja merupakan tapakan fondasi bangunan.
7. Marilah kita inventaris toponimi yang masih ada disekitar wilayah tersebut: Sayangan – Kepandean – Pelengan – Kuningan. Toponimi ini menggambarkan suatu latar belakang sejarah, dimana Palembang pada zaman Kesultanan mempunyai lembaga sosial yang disebut “gugu”(guguk – yang dipatuhi). Guguk suatu institusi sosial dalam masyarakat feodal, dimana seorang pangeran memperoleh anugerah tanah dari Sultan untuk berproduksi. Pangeran sebagai tokoh guguk mempunyai lingkungan masyarakat yang terdiri dari keluarga, alingan(orang-orang dilindungi, biasanya dari strata miji atau senan, yaitu orang-orang yang merdeka, bukan budak, akan tetapi tidak punya kemampuan ekonomis, hanya mempunyai tenaga dan kepandaian). Institusi guguk ini dapat menghasilkan barang yang bernilai ekonomis, seperti guguk:
Sayangan - pandai atau pengrajin tembaga.
Kepandean - tempat pandai besi.
Pelengan - tempat pengrajin membuat minyak.
Kuningan - tempat perajinan kuningan
Pelampitan - perajin pembuat lampit/tikar
Rendang - pembakaran.
Disamping nama-nama tempat berdasarkan keahlian dan kerajinan, juga ada nama jabatan seorang pejabat tinggi:
Kebumen - tempat Mangkubumi
Kedipan - tempat Adipati
Ketandan - tempat Tandha, kepala perbendaharaan Kesultanan.
Ada pula kedudukan etnis:
Kebalen - tempat orang Bali
Kebangkan - tempat orang Bangka.
Nama-nama tempat yang menunjukkan fungsinya adalah:
Segaran - nama ini adalah nama yang tua sekali, seperti terda-
pat di Trowulan(zaman Majapahit). Segaran adalah
kolam besar bagaikan “segara”(laut)untuk tempat
menyegarkan diri.
Penedan - tempat yang terpelihara atau tempat indah.
Karang Waru – kumpulan pohon-pohon.
Terusan - saluran, kanal.
Beringin Janggut – Pohon ini biasanya menjadi lambang keraton.














Sketsa situs Keraton Beringin Janggut. Keraton itu diperkirakan terletak diantara Sungai Tengkuruk, Sungai Musi, Sungai Penedan Sungai Karang Waru/s.Rendang.










Perkembangan kebudayaan dan politik pada setiap keraton

Setiap Raja atau Sultan mempunyai pandangan politiknya sendiri, dimana dia hidup dalam suasana perkembangan sosial budaya dan ekonomi yang harus dia jawab atas segala tantangan yang dihadapinya. Oleh karena itu Raja/Sultan serta lingkungannya yaitu elite yang berada dikeraton, mempunyai sikap tersendiri atas perkembangan kerajaannya. Meskipun sebagai Raja/Sultan dia mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, namun negosiasi dengan pendukungnya termasuk rakyatnya tetap dilakukannya.
Apalagi sebagai Raja/Sultan dia hanya mendapat jaminan dari rakyat bentuk setia dan bakti, sepanjang Raja/Sultan memberi jaminan pula kepada rakyatnya atas hidup yang tenteram. Oleh karena itu sangat menarik disimak bahwa disetiap keraton terjadi banyak perbedaan atas sikap, kebijakan dan produk budaya dan politik yang dihasilkan.
Buku yang akan diterbitkan ini akan menggambarkan masalah-masalah ini. Barangkali inilah buku yang pertama secara thematik membahas tentang produk-produk budaya setiap keraton Palembang.


Palembang, 27 Maret 2005




Djohan Hanafiah

KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH

______________________________________________________________________________

KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH
DI SITUS - SITUS ARKEOLOGI WILAYAH SUMATERA SELATAN

Latar Belakang.

Arkeologi sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari sisa masa lalu selalu berusaha untuk mengungkapkan kehidupan masyarakat masa lalu serta berusaha untuk merekonstruksi tingkah laku masyarakat masa lalu tersebut dan perubahan kebudayaannya ( Binford, 1972; 80). Persebaran peninggalan arkeologi yang merupakan petunjuk atau bukti dari okupasi manusia beserta kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan itu diasumsikan sebagai perwujudan dan gagasan tindakan masa lalu. Salah satu cara untuk memahami gagasan dan tindakan manusia tersebut adalah dengan menggunakan data persebaran peninggalan arkeologi di muka bumi. Pola persebaran dari bukti-bukti kegiatan manusia tersebut dapat menjadi pola pikir dan pola tindakan masyarakat masa lalu ( Mundardjito, 1990 ). Mempelajari persebaran tinggalan arkeologis dengan cara menghubung-hubungkan benda-benda arkeologis yang satu dengan yang lain dalam suatu situs adalah penting untuk mengetahui cara-cara hidup manusia masa lalu dalam lingkup budaya tertentu yang tertuang dalam suatu situs.

Di wilayah Sumatera Selatan, potensi tinggalan – tinggalan budaya dalam wacana kearkeologian prasejarah Indonesia telah berlangsung pada kala Plestosen yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan tingkat lanjut, yang berlangsung sekitar 20.000 tahun yang lalu, pada masa ini gua (cave) ataupun ceruk (rock shelter) telah berfungsi sebagai tempat berlindung dan sebagai tempat untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. Setelah masa berburu dan mengumpulkan makanan dengan cara berpindah-pindah tempat ( nomaden ) terlampaui kemudian berlanjut pada masa kehidupan menetap. Dengan adanya kemajuan dalam tingkat pengetahuan dan tehnologi yang mereka kuasai maka terjadi perubahan dalam cara-cara hidup dari tingkatan kehidupan food gathering menjadi food producing. Pada masa ini orang sudah mengenal becocok tanam dan beternak, dan adanya pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan dalam ikatan kerjasama itu. Kerajinan tangan seperti menenun, mengasah peralatan, membuat periuk sudah mereka kuasai..

Salah satu segi yang menonjol dalam masyarakat adalah kepercayaan akan adanya hubungan antara orang yang hidup dan yang mati. Kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan dan kesuburan tanaman, mendorong didirikanlah bangunan-bangunan megalitik (mega = besar, lithos berarti batu ). Bangunan ini kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah dan sekaligus menjadi lambang si mati. Oleh karena itu, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian tersebut, selalu diusahakan memelihara hubungan baik dengan dunia arwah dengan diwujudkan dalam pendirian bangunan-bangunan megalitik, seperti dolmen, menhir, altar batu, lumpang batu, dan batu dakon.

Bangunan – bangunan megalitik tersebar luas di daerah Asia Tenggara seperti di Laos, Tonkin, Indonesia, Pasifik serta Polinesia. Tradisi megalitik yang masih hidup hingga kini antara lain di Assam, Birma (suku Naga, Khasi, Ischim) dan beberapa daerah di Indonesia ( Nias, Toraja, Flores, Sumba). Selain tradisi pendirian batu - batu besar, mereka juga mengenal salah satu upacara pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap tokoh terkemuka, pelaksanaan penguburan ini dilakukan dengan cara langsung atau tidak langsung dan disertai dengan bekal kubur.,

Sejumlah permasalahan muncul berkaitan dengan peninggalan budaya di beberapa situs arkeologi diwilayah Sumatera Selatan seperti:
1.Bagaimanakah perkembangan budaya Prasejarah pada beberapa situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan ?
2.Bagaimanakah bentuk, keletakan dan distribusi situs-situs masa Prasejarah di
wilayah Sumatera Selatan ?
3.Jenis-jenis tinggalan budaya masa prasejarah yang pernah berlangsung di wilayah Sumatera Selatan

Tujuan Penulisan
Tujuan secara umum adalah untuk mengetahui gambaran kehidupan manusia pada masa prasejarah di wilayah Sumatera Selatan dalam upayanya merekonstruksi sejarah budaya masa lalu berdasarkan tinggalan materialnya.
Tujuan secara khusus mengklasifikasikan hasil-hasil budaya di situs – situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan dalam upayanya menjawab kronologi perkembangan budaya sekaligus menjawab dan menentukan fungsi dan karakteristik situs-situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan.

Sasaran Penulisan
1.Diperolehnya gambaran yang jelas mengenai kehidupan masa prasejarah di wilayah Sumatera Selatan.
2.Teridentifikasinya hasil-hasil budaya di beberapa situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan.
3. Diketahuinya kronologi budaya yang berlangsung di situs-situs arkeologi di Sumatera Selatan.

Kerangka Pikir

Dalam sejarah kehidupan manusia selalu terjadi hubungan yang dinamis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Antara manusia dan lingkungan dapat saling mempengaruhi dan kondisi tersebut menyebabkan manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan segala kemampuan yang ada dengan lingkungan sekitarnya. Cara-cara penyesuaian inilah yang kemudian dinamakan dengan “kebudayaan atau budaya.”Mewngingat lingkungan adalah salah satu komponen yang membentuk budaya masyarakat maka dalam membicarakan masalah kehidupan manusia tidak terlepas dari aspek lingkungan alam, manusia dan budaya yang dihasilkan. (Hardesty,1977:1-17)

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap situs-situs dari masa prasejarah, karena pada masa ini manusia cenderung untuk memanfaatkan atau melakukan strategi subsistensinya pada tempat-tempat yang dekat dengan sumber air, sumber makanan dan pada tempat-tempat yang aman dan nyaman. Dengan demikian kondisi lingkungan dapat dianggap sebagai salah satu faktor penentu dalam pemilihan lokasi situs ( Butzer, 1964).


KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH DI SUMATERA SELATAN

Jauh sebelum adanya peradaban yang berbentuk kerajaan, di daerah pedalaman terutama di hulu sungai – sungai yang bermuara di Palembang telah ada komunitas masyarakat yang tinggal di dataran tinggi, di lereng dan di kaki pegunungan, selain itu juga mereka hidup dengan mendiami gua-gua dan ceruk-ceruk alam atau di tepi-tepi sungai. Dalam kehidupannya cara hidup manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana atau masa Paleolitik masih dipengaruhi oleh faktor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah serta keadaan binatang. Dalam kehidupannya mereka masih bergantung sepenuhnya pada alam lingkungannya, tempat-tempat yang menarik untuk didiami pada waktu itu adalah cukup mengandung bahan makanan serta persediaan air. Tempat - tempat semacam itu berupa padang rumput dengan semak belukar dan hutan yang terletak berdekatan dengan sungai mereka hidup cukup dengan dengan berburu binatang yang berkeliaran di tempat-tempat tersebut, menangkap ikan, mencari kerang dan siput dan mengumpulkan makanan dari alam di sekitarnya, misalnya umbi-umbian seperti keladi, buah-buahan, biji-bijian dan daun-daunan.

Dalam kehidupan yang sangat bergantung sepenuhnya kepada alam lingkungannya mereka hidup dengan cara berkelompok dan membekali dirinya dalam menghadapi lingkungan alam disekitarnya dan pada masa itu mereka belum menetap di suatu tempat sehingga masih berpindah-pindah tempat sesuai dengan sumber daya fauna dan flora yang tersedia. Diantara sisa hunian manusia tertua yang masih hidup pada taraf berburu dan mengumpulkan makanan dapat kita temukan kembali jejak-jejak kehidupannya pada beberapa situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan. Seperti di desa Bungamas sekitar 20 km sebelah Barat Laut Lahat dan di aliran sungai Kikim, Sedangkan di wilayah OKU situs-situs arkeologinya ditemukan di Sungai Ogan serta anak cabangnya.

Pada masa berlangsungnya corak kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut keadaan lingkungan hidup pada masa Pasca Plestosen tidak banyak berbeda dengan keadaan sekarang ini. Pada masa ini mulai tampak usaha – usaha untuk bertempat tinggal di dalam gua-gua alam dan ceruk-ceruk payung. Kesadaran mulai timbulnya pemikrian bahwa cara hidup dengan berpindah-pindah tempat sebagimana yang mereka lakukan pada masa sebelumnya banyak mendatangkan kesulitan , kurang nyaman dan tidak efisien sehingga diperlukan tempat khusus untuk menjalani kehidupannya sehingga dipilihlah gua-gua untuk mereka melangsungkan kehidupannya selama di daerah sekitarnya terdapat sumber - sumber hidup yang mencukupi kebutuhan mereka dan akan ditinggalkan dan berpindah ketempat yang baru apabila bahan-bahan makanan sudah berkurang.

Mereka hidup dengan berburu binatang di dalam hutan, menangkap ikan, mencari kerang dan mengumpulkan umbi-umbian. Pada tehnologi alat alat untuk keperluan hidupnya masih melanjutkan tehnologi yang lama khususnya dalam pembuata alat-alat batu dan alat tulang. Di beberapa wilayah Indonesia pada masa ini sudah dikenal lukisan dinding yang dituangkan pada dinding – dinding gua seperti di Sulawesi Selatan, Di Irian dan Di Nusa Tenggara. Lukisan – lukisan tersebut menggambarkan harapan hidup mereka agar berhasil membunuh binatang buruan. Selain itu lukisan_lukisan tersebut menceritakan kehidupan sehari_hari dan upacara yang bertalian dengan penghormatan roh nenek moyang.

Di Sumatara Selatan beberapa gua telah dilakukan penelitian seperti Gua Ulu Tiangko, Tiangko Panjang provinsi Jambi, dan di Kompleks Gua Putri, Gua Penjagaan, Gua Pondok Selabe wilayah Ogan Komering Ulu.

Penelitian tentang hunian masa prasejarah telah dilakukan oleh tim dari Balai Arkeologi Palembang serta tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Jakarta yang bekerja sama dengan IRD Perancis , semenjak tahun 2002 sampai sekarang di situs Gua Putri, kabupaten OKU dan telah berhasil ditemukan sejumlah alat-alat batu dan beberapa fragmen gerabah yang merupakan bukti bahwa Goa Putri telah dimanfaatkan sebagai tempat hunian yang berlangsung utuk beberapa periode waktu yaitu dari tingkat budaya Paleolitik, (Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana) yang masih hidup di sekitar pinggiran sungai dan masih belum menetap sampai ke tahap Neolitik awal, sudah tinggal menetap dan mengenal tehnologi pembuatan gerabah.
Dan dari hasil survei di anak-anak sungai Ogan berhasil ditemukan alat-alat batu berupa kapak perimbas ( chopper), kapak genggam (hand axe), kapak penetak (chopping tool), proto kapak genggam (proto hand axe), alat serpih dll.
Selain itu pada penggalian yang dilakukan di lantai gua Putri selama beberapa tahapan pada bagian teras gua Putri dapat diketahui pula bahwa dalam kehidupannya manusia prasejarah yang mendiami gua Putri tersebut telah melakukan aktivitas tertentu dalam menyiasati hidupnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan peralatan yang berupa alat-alat batu seperti kapak perimbas, kapak genggam, serpih , batu pelandas, batu pukul, serpih dari bahan rijang, lancipan, bor, fragmen gerabah hias , gerabah polos, serta ditemukan sisa-sisa moluska yang dipotong ujungnya serta fr tulang terbakar yang menunjukkan aktivitas pengolahan makanan.

Pemanfatan gua Putri untuk tempat penguburan dapat dijumpai juga di teras gua Putri yang berada dekat pintu masuk wisatawan , Disini kita dapat menemukan juga temuan artefaktual seperti serpih, fragmen gerabah, sisa-sisa moluska dan fragmen tulang-tulang manusia serta fragmen tengkorak yang merupakan bukti bahwa gua ini juga difungsikan sebagai tempat penguburan bagi manusia pendukung gua.

Selain di gua Putri masih terdapat lagi gua Pondok Selabe . Berdasarkan hasil penggalian yang dilakukan di teras gua Pondok Selabe yang merupakan satu kesatuan dengan Gua Putri juga dijumpai jejak-jejak aktivitas manusia yang pernah berlangsung di situs tersebut seperti temuan alat-alat batu, aktivitas perapian, perbengkelan serta penguburan dan juga gerabah hias maupun polos dan menggunakan tehnik pemakaian roda putar dan tatp pelandas. Dari hasil pengamatan gerabah-gerabah tersebut mengunakan tehnikyang hampir sam di situs Gua Putri seperti tehnik cukil, tehnik gores dan penggabungan keduanya. Dekorasi yang di[pahatkan berupa tera jala, tali, ujung kuku, hias kepang, hias titik-titik, hias kerang, garis . ( Bagyo Prasetyo, 2002)

Adapun aktivitas penguburan juga ditemukan di gua Pondok Selabe sebanyak 5 individu dengan kondisi tidak lengkap dan salah satu temuan rangka yang agak utuh ditemukan di luar gua pada kedalaman 90-128 cm. Rangka I ditemukan dengan posisi kepala di bagian selatan miring menghadap ke Timur, kondisi sudah hancur dan mempunyai tinggi 165-170 cm. Temuan Rangka ke II dan III didapatkan secara tidak lengkap hanya bagian tulang panjang dan berdampingan dengan arah bujur menyerong utara Selatan, kepala berada di Selatan. Rangka ke IV kondisi rangka tidak lengkap dan sangant rapuh serta terlihat kaki serta salah satu bagian tulang panjang. Orientasi rangka Timur Barat. Rangka ke V tidak lengkap hanya bagian kedua tulang kaki dan tulang lengan tangan yang tampak. Dan pada penguburan ini salah satunya ada yang memakai bekal kubur berupa buli-buli dan kendi. (Jatmiko dan Hubert Forestier, 2003). Dengan ditemukannya beberapa gua yang menunjukkan sisa-sisa hunian maka dapat diketahui bahwa kegiatan yang berlangsung dalam komunitas tersebut meliputi, kegiatan pengolahan hasil makan, pebengkelan, serta penguburan.

Keterangan Alat alat batu yang ditemukan di beberapa situs wilayah Sumsel:

Kapak penetak ( chopping tool ) merupakan alat batu yang dipangkas pada pinggir permukaan atas dan bawah yang saling berhadapan untuk memperoleh tajamannya sehingga tajaman berbentuk berkelak-kelok
Kapak Genggam, merupakan alat batu yang dipangkas pada kedua permukaan (bifasial), pemangkasan dilakukan tanpa meninggalkan kerak pada permukaan.
Kapak Perimbas (chopper) yang dicirikan oleh pemangkasan pada salah satu sisi permukaan (monofasial) di salah satu mukanya dalam upaya mendapatkan sisi tajaman.tajaman
Batu Pukul (perkutor) merupakan sebungkal batu yang digunakan sebagai alat pemangkas dalam pembuatan alat batu inti dan alat serpih. Ciri-ciri perkutor adalah memiliki luka pukul di bagian tertentu.
Alat Serpih : merupakan alat yang dihasilkan dari serpihan yang sengaja dilepaskan dari batu inti lewat pemangkasan.
Serpih adalah pecahan-pecahan batu yang terlepas secara tidak sengaja di kala pemangkasan. Pinggiran serpih digunakan untuk tajaman, yang berfungsi sebagai pisau, serut, penusuk .
Alat batu inti (core tool) merupakan alat yang dibuat dari bahan baku lewat pengurangan.
Batu Pelandas. Ciri-ciri tehnologis terletak pada pangkasan – pangkasan manusia dan primping sebagai akibat pemakaian.

Selanjutnya setelah Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan terlampui, maka mulai menginjak ke Masa Tinggal Menetap dan Mulai Berladang secara sederhana, dan mengenal domestikasi hewan hal ini dapat ditemukan di beberapa situs wilayah Sumatera Selatan seperti di daerah hulu Musi, dan di lereng pegunungan Bukit Barisan yang biasa dikenal dengan kebudayaan Pasemah. Tinggalan budaya pada masa ini dikenal dengan “budaya megalitik. Perlu diketahui bahwa tinggalan tradisi megalitik di Pasemah tidak hanya berupa bangunan-bangunan megalitik yang monumental tetapi juga menghasilkan berbagai benda kebutuhan yang lain seperti kerajinan menenun, membuat alat-alat kerja yang umumnya diasah atau diupam seperti beliung persegi, dan belincung dan mengenal pembuatan gerabah, gerabah diproduksi karena diperlukan untuk menunjang kebutuhan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya untuk menyiapkan, menghidangkan dan menyimpan bahan makanan. Benda-benda tersebut selain berfungsi sebagai peralatan sehari-hari wadah gerabah di beberapa situs arkeologi juga digunakan untuk kepentingan keagamaan baik sebagai bekal kubur maupun sebagai wadah kubur. Gerabah yang dipakai sebagi kelengkapan upacara dapat berupa cawan berkaki dan kendi, periuk sebagai bekal kubur dan tempayan biasa digunakan sebagai wadah kubur.

Konsepsi pemujaan nenek – moyang lebih berkembang pada masa itu dan telah melahirkan tata cara untuk menjaga tingkah laku masyarakat di dunia fana supaya sesuai dengan tuntutan hidup di akhirat di samping ituuntuk menjaga kesejahteraan di dunia . Pada masa ini organisasi masyarakat telah teratur, pengetahuan tentang teknologi yang berguna dan nilai-nilai hidup terus berkembang. Seluruh tinggalan budaya dari masa prasejarah tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa pada masa lampau, di daerah hulu sungai Musi sudah terdapat hunian manusia., Kehidupan Neolitik yang mendiami situs-situs terbuka baik di wilayah Lahat , Pagar Alam, mencapai puncaknya hingga masa perundagian
Pada masa Perundagian manusia hidup dengan tatanan yang lebih teratur, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di tujukan untuk mesejahteraan hidup dan akibat dari surplus bahan makanan maka pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara-upacara yang melambangkan permintaan akan kesuburan tanah dan kesejahteraan hidup. Binatang-binatang seperti babi, kerbau, anjing dan jenis-jenis unggas mulai dipelihara untuk persediaan makanan serta keperluan lain seperti dalam pertanian dan upacara-upacara. Perdagangan dilakukan dengan cara tukar menukar barang yang diperlukan masing-masing pihak. Dengan tampilnya arca-arca megalitik yang dipahatkan bersama dengan nekara perunggu di beberapa situs di wilayah Pasemah menunjukkan bahwa telah adanya perdagangan dengan Asia Tenggara. ( R.P.Soejono,1984 ).

Tersusunnya masyarakat yang teratur dengan terbentuknya golongan - golongan undagi telah mengenalkan kepada kita akan tehnologi tuang logam seperti temuan belati, gelang, mata tombak serta belati. Yang sangat menonjol pada masa ini adalah segi kepercayaan kepada pengaruh arwah nenek moyang yang telah meninggal terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakatnya. Karena itu arwah nenek moyang harus selalu diperhatikan dan diberi penghormatan dan persajian selengkap mungkin. Penguburan terhadap orang yang mati dapat dilaksanakan secara primer atau langsung dan sekunder atau tidak langsung. Hal ini dapat dilihat pada beberapa situs penguburan di wilayah Sumatera Selatan.

Beberapa situs megalitik pernah dilakukan penelitian oleh Balai Arkeologi Palembang serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi di Jakarta. antara lain meliputi;

1. Survei situs-situs megalitik di wilayah Lahat meliputi situs-situs megalitik yang tersebar di dataran tinggi Pasemah di antara Bukit Barisan dan di lereng Gunung Dempo, meliputi

Menhir berupa batu tegak yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan secara tunggal atau berkelompok dan mempyai fungsi profan dan sacral.
Arca megalitik berupa patung orang dibelit Ular; Muara Danau ; arca ibu memegang tangan anak, Tinggi hari, patung Imam, Tanjung Telang orang membopong anak ; Tebing tinggi orang naik kerbau berupa arca - arca megalitik yang berbentuk tokoh manusia dan binatang ditemukan di situs – situs di daerah Lahat, Karangindah, Tinggihari, Tebatsibentur, Tinggihari, Tanjungsirih, Tanjungmenang, Batugajah, Pulaupanggung dsb.
Dolmen, meja batu, susunan batu yang terdiri dari sebuah batu lebar yang ditopang oleh beberapa buah batu lain sehingga menyerupai meja; berfungsi sebagai sebagai tempat untuk mengadakan kegiatan dalam hubungan dengan pemujaan arwah leluhur. Kata ini berasal dari dol”berarti meja, dan men” berari batu. Ditemukan di beberapa situs seperti : situs Tanjung Aro, Gunung Megang, Muara Payang, Muara Betung, dll
Batu Dakon, di situs Tinggi hari, Pematang Panjang dengan lubang sekitar 4-6 buah.
Lumpang Batu ditemukan di Pulau pinang, Sinjar Bulan, serta Gunung Megang,
berfungsi sebagai :
a.Tempat menumbuk biji-biji
b.Untuk umpak rumah
c.Keperluan religius dan upacara-upacara tertentu. seperti upacara musim tanam
d,Upacara pemujaan roh nenek moyang.
Lesung Batu merupakan sebongkah batu yang diberi lubang antara lain ditemukan di situs Bandar Aji. Tanjung Sirih, Tanjung Aro, Gunung Megang, Pajarbulan
Kursi batu : Merupakan sebongkah batu berbentuk menyerupai kursi yang difungsikan untuk tempat duduk ketua suku dalam memimpin upacara.
Kubur batu atau Peti Kubur Batu berupa susunan papan – papan batu yang terdiri dari dua sisi panjang, dua sisi lebar , sebuah lantai dan sebuah penutup peti. Di Sumatera Selatan temuan peti kubur batu terdapat di Tegurwangi, Menurut Van der Hoop yang pernah mengadakan penggalian di sebuah kubur batu ditemukan manik-manik berjumlah 4 buah berwarna kuning keemasan, biru serta fragmen perunggu . ( Van Der Hoop, 1932 ).Selanjutnya De Bie pernah membuka peti kubur batu di Tanjung Aro yang terdiri dari 2 buah ruangan yang dipisahkan oleh dinding yang dilukis dengan warna hitam, kuning, merah yang pada masyarakat megalitik menganggap warna-warna tersebut berkaitan dengan magis religius, putih melambangkan kesucian, merah yang melambangkan keberanian dan kuning berkaitan dengan simbol keagungan dan lukisan pada kubur batu tersebut menggambarkan manusia dan binatang yang distilir, antara lain gambar sebuah tangan dengan 3 jari, kepala kerbau, tanduk kerbau dan mata kerbau. Selain di Tanjung Aro Kubur batu juga ditemukan di situs Kota Raya Lembak yang terdapat lukisan burung hantu, manusia, kepala kerbau, tumbuhan dan ragam hias geometri.
Hiasan Cadas didapatkan antara lain di situs Tegurwangi Lama yaitu di Bukit Selayar yang menggambarkan bentuk , dan di dinding kubur batu seperti di situs megalitik Tanjung Aro, Kota raya Lembak Jarai

Batu Gores ditemukan di Tebat Sibentur, Tinggihari, Gunung Megang. dan di kecamatan Pulau Pinang. Benda -benda yang dijadikan obyek dalam lukisan meliputi manusia, fauna, flora, benda buatan manusia, benda alam.


Ekskavasi kubur tempayan situs Muara Betung, kec.Ulu Musi, kab.Lahat,
Penelitian situs Muara Betung ditemukan 14 buah tempayan sepasang yang terdiri dari bagian wadah dan tutup, serta tempayan tunggal. Yang posisi keletakannya berada didekat dolmen . Berdasarkan pola penguburan dengan tempayan ini terlihat dapat diketahui adanya penguburan primer tanpa menggunakan wadah dan penguburan sekunder dengan menggunakan tempayan. Rangka manusia yang ditemukan dalam penguburan primer berorientasi Tenggara-Barat Laut dengan posisi kepala pada bagian baratdaya. Dalam penguburan primer ini 3 diantaranya dilengkapi dengan bekal kubur berupa pisau dari logam dan manik-manik. Posisi penempatan pisau berada di antara tulang kaki sementara yang lain berada di bawah tengkorak. Adanya perbedaan cara penguburan diduga berkaitan erat dengan stratifikasi sosial.(Retno Purrwanti, 2002)






Penelitian pemukiman megalitik di situs Muara Payang, kab Lahat,
Berdasarkan data arkeologis yang ditemukan di lapangan situs Muara Payang yang terletak di kecamatan Jarai, kabupaten Lahat merupakan salah satu situs arkeologi yang memiliki tinggalan yang cukup variatif dalam seperti : benteng tanah, kompleks situs pemujaan berupa tetralith yaitu menhir yang disusun membentuk denah empat persegi, meja batu ( dolmen), kursi batu, rangka manusia dengan bekal kubur berupa tempayan dan periuk, dan beliung persegi ( gigi petir ) fragmen gerabah maupun keramik. ( Kristantina I, 2003 )



PENUTUP

Kehidupan masa prasejarah di wilayah Sumatera Selatan merupakan perjalanan panjang dalam membentuk Kebudayaan bangsa. Kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang dari masa berburu dan megumpulkan makanan. tingkat sederhana sampai ke masa perundagian telah memberikan gambaran kepada kita tentang corak keh.idupan di Sumatera Selatan pada masa lampau sebelum mereka mengenal peradaban. Perjalanan. sejarah kebudayaan dalam kurun waktu yang cukup panjang dan cukup lama ini dapat kita temuan kembali jejak-jejak budayanya di beberapa situs-situs arkeologi di wilayah Sumatera. Penelitian situs-situs arkeologi yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan menunjukkan pemukiman yang ditempati oleh sekelompok komunitas dengan hasil budayanya yang bercorak Paleolitik, Mesolitik, Neolitik sampai Perundagian. Artefak-artefak tersebut selain berkaitan dengan kebutuhan untuk mempertahankan kebutuhan hidup, difungsikan juga untuk kepentingan sosio-teknik maupun ideoteknik seperti pendirian bangunan megalitik dan penguburan dengan bekal kubur berupa tempayan, beliung, belincung dan wadah keperluan sehari-hari merupakan bentuk-bentuk ungkapan rasa terimakasih kepada arwah yang meninggal agar selalu menjaga kehidupan mereka .
Pola persebaran pemukiman masa Prasejarah di beberapa situs-situs arkeologi tersebut telah mencerminkan usaha mereka dalam melangsungkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan makanan yang telah disediakan oleh alam lingkungannya. Dalam rangka usaha mencari makan tersebut manusia dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peralatan pendukungnya. Dalam kehidupannya masyarakat Prasejarah yang mempunyai pola hidup mengelompok disebabkan oleh adanya pola subsistensi mereka sebagai suatu strategi dalam menyiasati kondisi alam yang menjadi sumber – sumber subsistensi mereka.
Jejak-jejak budaya tersebut telah memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kehidupan manusia pada masa lampau sekaligus sebagai kontributor dalam pembentukan budaya inti bangsa yang patut dilestarikan dan digali lebih mendalam lagi sebagai warisan nenek moyang kita sekaligus sebagai sumberdaya wisata alam, wisata budaya dan wisata pendidikan. Dan peran pemerintah daerah, masyarakat dan instansi terkait sangat diperlukan untuk saling menjaga dan memelihara kelestarian situs-situs tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Wiyana, 1996. Survei Situs-situs Megalitik di wilayah Lahat. Laporan Penelitian
Arkeologi. Balai Arkeologi Palembang.

Butzer, Karl. W, 1964, Environment and Archaeology: An Introduction toPlestocene Geography. London Chicago.

Haris Sukendar. 2003. Megalitik Bumi Pasemah. Peranan Serta Fungsinya. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Budaya Pusat Penelitian Arkeologi. Jakarta.

Hardesty, Donald L.1997.Ecological Anthropology, John Willey 7 SONS, Inc, United
State of America.

Hoop, Van der, ANJ.TH.A.Th 1932, Megalithic Remains in South Sumatera. Translated
by Wiliiam Shirlaw, Netherland: W.I.Thieme & Cie –Zutphen.

Jatmiko, 1995,”Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Martapura dan Baturaja,
Kabupaten OKU, Sumatera Selatan’,LPA Bidang Prasejarah, PuslitArkenas, Jakarta.
………,2002b,”Eksploitasi Tentang Kehidupan Prasejarah di Situs Gua Pondok Selabe-1
Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, kabupaten OKU, Provinsi Sumatera Selatan”, LPA Bidang Prasejarah, Puslit Arkeologi.Jakarta.

Kristantina Indriastuti. 2002. Laporan Penelitian Arkeologi, Survei dan Ekskavasi Situs Gua Putri, kab O.K.U. Balai Arkeologi Palembang. Palembang.

Kristantina Indriastuti, 2003. Karakteristik Budaya Dan PemukimanSitus Muara Payang.
Tinjauan Ekologi dan Keruangan . Berita Penelitian Arkeologi No 8. Balar Palembang

Kristantina Indriastuti, 2004, Pola Subsistensi pendukung Situs Goa Putri, kab, OKU,
Prov. Sum sel, LPA Balai Arkeologi Palembang, Palembang

Retno Purwanti, 2002. Penguburan Masa Prasejarah Situs Muara Betung , Kecamatan Ulu Musi,
Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Berita Penelitian Arkeologi No 7 . Balar Palembang.

R.P. Soejono (ed).1992.”Jaman Prasejarah” Dalam Marwati D.Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid I. Jakarta:PN Balai Pustaka.