/ Miftahul Jannah: KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH Sumber: Agar Posting Blog tidak bisa di Copy Paste! | jagoBlog.com

Rabu, 14 Januari 2009

KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH

______________________________________________________________________________

KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH
DI SITUS - SITUS ARKEOLOGI WILAYAH SUMATERA SELATAN

Latar Belakang.

Arkeologi sebagai suatu disiplin ilmu yang mempelajari sisa masa lalu selalu berusaha untuk mengungkapkan kehidupan masyarakat masa lalu serta berusaha untuk merekonstruksi tingkah laku masyarakat masa lalu tersebut dan perubahan kebudayaannya ( Binford, 1972; 80). Persebaran peninggalan arkeologi yang merupakan petunjuk atau bukti dari okupasi manusia beserta kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan itu diasumsikan sebagai perwujudan dan gagasan tindakan masa lalu. Salah satu cara untuk memahami gagasan dan tindakan manusia tersebut adalah dengan menggunakan data persebaran peninggalan arkeologi di muka bumi. Pola persebaran dari bukti-bukti kegiatan manusia tersebut dapat menjadi pola pikir dan pola tindakan masyarakat masa lalu ( Mundardjito, 1990 ). Mempelajari persebaran tinggalan arkeologis dengan cara menghubung-hubungkan benda-benda arkeologis yang satu dengan yang lain dalam suatu situs adalah penting untuk mengetahui cara-cara hidup manusia masa lalu dalam lingkup budaya tertentu yang tertuang dalam suatu situs.

Di wilayah Sumatera Selatan, potensi tinggalan – tinggalan budaya dalam wacana kearkeologian prasejarah Indonesia telah berlangsung pada kala Plestosen yaitu masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana dan tingkat lanjut, yang berlangsung sekitar 20.000 tahun yang lalu, pada masa ini gua (cave) ataupun ceruk (rock shelter) telah berfungsi sebagai tempat berlindung dan sebagai tempat untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari. Setelah masa berburu dan mengumpulkan makanan dengan cara berpindah-pindah tempat ( nomaden ) terlampaui kemudian berlanjut pada masa kehidupan menetap. Dengan adanya kemajuan dalam tingkat pengetahuan dan tehnologi yang mereka kuasai maka terjadi perubahan dalam cara-cara hidup dari tingkatan kehidupan food gathering menjadi food producing. Pada masa ini orang sudah mengenal becocok tanam dan beternak, dan adanya pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan dalam ikatan kerjasama itu. Kerajinan tangan seperti menenun, mengasah peralatan, membuat periuk sudah mereka kuasai..

Salah satu segi yang menonjol dalam masyarakat adalah kepercayaan akan adanya hubungan antara orang yang hidup dan yang mati. Kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraan dan kesuburan tanaman, mendorong didirikanlah bangunan-bangunan megalitik (mega = besar, lithos berarti batu ). Bangunan ini kemudian menjadi medium penghormatan, tempat singgah dan sekaligus menjadi lambang si mati. Oleh karena itu, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian tersebut, selalu diusahakan memelihara hubungan baik dengan dunia arwah dengan diwujudkan dalam pendirian bangunan-bangunan megalitik, seperti dolmen, menhir, altar batu, lumpang batu, dan batu dakon.

Bangunan – bangunan megalitik tersebar luas di daerah Asia Tenggara seperti di Laos, Tonkin, Indonesia, Pasifik serta Polinesia. Tradisi megalitik yang masih hidup hingga kini antara lain di Assam, Birma (suku Naga, Khasi, Ischim) dan beberapa daerah di Indonesia ( Nias, Toraja, Flores, Sumba). Selain tradisi pendirian batu - batu besar, mereka juga mengenal salah satu upacara pada waktu penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap tokoh terkemuka, pelaksanaan penguburan ini dilakukan dengan cara langsung atau tidak langsung dan disertai dengan bekal kubur.,

Sejumlah permasalahan muncul berkaitan dengan peninggalan budaya di beberapa situs arkeologi diwilayah Sumatera Selatan seperti:
1.Bagaimanakah perkembangan budaya Prasejarah pada beberapa situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan ?
2.Bagaimanakah bentuk, keletakan dan distribusi situs-situs masa Prasejarah di
wilayah Sumatera Selatan ?
3.Jenis-jenis tinggalan budaya masa prasejarah yang pernah berlangsung di wilayah Sumatera Selatan

Tujuan Penulisan
Tujuan secara umum adalah untuk mengetahui gambaran kehidupan manusia pada masa prasejarah di wilayah Sumatera Selatan dalam upayanya merekonstruksi sejarah budaya masa lalu berdasarkan tinggalan materialnya.
Tujuan secara khusus mengklasifikasikan hasil-hasil budaya di situs – situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan dalam upayanya menjawab kronologi perkembangan budaya sekaligus menjawab dan menentukan fungsi dan karakteristik situs-situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan.

Sasaran Penulisan
1.Diperolehnya gambaran yang jelas mengenai kehidupan masa prasejarah di wilayah Sumatera Selatan.
2.Teridentifikasinya hasil-hasil budaya di beberapa situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan.
3. Diketahuinya kronologi budaya yang berlangsung di situs-situs arkeologi di Sumatera Selatan.

Kerangka Pikir

Dalam sejarah kehidupan manusia selalu terjadi hubungan yang dinamis antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Antara manusia dan lingkungan dapat saling mempengaruhi dan kondisi tersebut menyebabkan manusia harus dapat menyesuaikan diri dengan segala kemampuan yang ada dengan lingkungan sekitarnya. Cara-cara penyesuaian inilah yang kemudian dinamakan dengan “kebudayaan atau budaya.”Mewngingat lingkungan adalah salah satu komponen yang membentuk budaya masyarakat maka dalam membicarakan masalah kehidupan manusia tidak terlepas dari aspek lingkungan alam, manusia dan budaya yang dihasilkan. (Hardesty,1977:1-17)

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap situs-situs dari masa prasejarah, karena pada masa ini manusia cenderung untuk memanfaatkan atau melakukan strategi subsistensinya pada tempat-tempat yang dekat dengan sumber air, sumber makanan dan pada tempat-tempat yang aman dan nyaman. Dengan demikian kondisi lingkungan dapat dianggap sebagai salah satu faktor penentu dalam pemilihan lokasi situs ( Butzer, 1964).


KEHIDUPAN MASA PRASEJARAH DI SUMATERA SELATAN

Jauh sebelum adanya peradaban yang berbentuk kerajaan, di daerah pedalaman terutama di hulu sungai – sungai yang bermuara di Palembang telah ada komunitas masyarakat yang tinggal di dataran tinggi, di lereng dan di kaki pegunungan, selain itu juga mereka hidup dengan mendiami gua-gua dan ceruk-ceruk alam atau di tepi-tepi sungai. Dalam kehidupannya cara hidup manusia pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana atau masa Paleolitik masih dipengaruhi oleh faktor-faktor alam seperti iklim, kesuburan tanah serta keadaan binatang. Dalam kehidupannya mereka masih bergantung sepenuhnya pada alam lingkungannya, tempat-tempat yang menarik untuk didiami pada waktu itu adalah cukup mengandung bahan makanan serta persediaan air. Tempat - tempat semacam itu berupa padang rumput dengan semak belukar dan hutan yang terletak berdekatan dengan sungai mereka hidup cukup dengan dengan berburu binatang yang berkeliaran di tempat-tempat tersebut, menangkap ikan, mencari kerang dan siput dan mengumpulkan makanan dari alam di sekitarnya, misalnya umbi-umbian seperti keladi, buah-buahan, biji-bijian dan daun-daunan.

Dalam kehidupan yang sangat bergantung sepenuhnya kepada alam lingkungannya mereka hidup dengan cara berkelompok dan membekali dirinya dalam menghadapi lingkungan alam disekitarnya dan pada masa itu mereka belum menetap di suatu tempat sehingga masih berpindah-pindah tempat sesuai dengan sumber daya fauna dan flora yang tersedia. Diantara sisa hunian manusia tertua yang masih hidup pada taraf berburu dan mengumpulkan makanan dapat kita temukan kembali jejak-jejak kehidupannya pada beberapa situs arkeologi di wilayah Sumatera Selatan. Seperti di desa Bungamas sekitar 20 km sebelah Barat Laut Lahat dan di aliran sungai Kikim, Sedangkan di wilayah OKU situs-situs arkeologinya ditemukan di Sungai Ogan serta anak cabangnya.

Pada masa berlangsungnya corak kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut keadaan lingkungan hidup pada masa Pasca Plestosen tidak banyak berbeda dengan keadaan sekarang ini. Pada masa ini mulai tampak usaha – usaha untuk bertempat tinggal di dalam gua-gua alam dan ceruk-ceruk payung. Kesadaran mulai timbulnya pemikrian bahwa cara hidup dengan berpindah-pindah tempat sebagimana yang mereka lakukan pada masa sebelumnya banyak mendatangkan kesulitan , kurang nyaman dan tidak efisien sehingga diperlukan tempat khusus untuk menjalani kehidupannya sehingga dipilihlah gua-gua untuk mereka melangsungkan kehidupannya selama di daerah sekitarnya terdapat sumber - sumber hidup yang mencukupi kebutuhan mereka dan akan ditinggalkan dan berpindah ketempat yang baru apabila bahan-bahan makanan sudah berkurang.

Mereka hidup dengan berburu binatang di dalam hutan, menangkap ikan, mencari kerang dan mengumpulkan umbi-umbian. Pada tehnologi alat alat untuk keperluan hidupnya masih melanjutkan tehnologi yang lama khususnya dalam pembuata alat-alat batu dan alat tulang. Di beberapa wilayah Indonesia pada masa ini sudah dikenal lukisan dinding yang dituangkan pada dinding – dinding gua seperti di Sulawesi Selatan, Di Irian dan Di Nusa Tenggara. Lukisan – lukisan tersebut menggambarkan harapan hidup mereka agar berhasil membunuh binatang buruan. Selain itu lukisan_lukisan tersebut menceritakan kehidupan sehari_hari dan upacara yang bertalian dengan penghormatan roh nenek moyang.

Di Sumatara Selatan beberapa gua telah dilakukan penelitian seperti Gua Ulu Tiangko, Tiangko Panjang provinsi Jambi, dan di Kompleks Gua Putri, Gua Penjagaan, Gua Pondok Selabe wilayah Ogan Komering Ulu.

Penelitian tentang hunian masa prasejarah telah dilakukan oleh tim dari Balai Arkeologi Palembang serta tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Jakarta yang bekerja sama dengan IRD Perancis , semenjak tahun 2002 sampai sekarang di situs Gua Putri, kabupaten OKU dan telah berhasil ditemukan sejumlah alat-alat batu dan beberapa fragmen gerabah yang merupakan bukti bahwa Goa Putri telah dimanfaatkan sebagai tempat hunian yang berlangsung utuk beberapa periode waktu yaitu dari tingkat budaya Paleolitik, (Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan Tingkat Sederhana) yang masih hidup di sekitar pinggiran sungai dan masih belum menetap sampai ke tahap Neolitik awal, sudah tinggal menetap dan mengenal tehnologi pembuatan gerabah.
Dan dari hasil survei di anak-anak sungai Ogan berhasil ditemukan alat-alat batu berupa kapak perimbas ( chopper), kapak genggam (hand axe), kapak penetak (chopping tool), proto kapak genggam (proto hand axe), alat serpih dll.
Selain itu pada penggalian yang dilakukan di lantai gua Putri selama beberapa tahapan pada bagian teras gua Putri dapat diketahui pula bahwa dalam kehidupannya manusia prasejarah yang mendiami gua Putri tersebut telah melakukan aktivitas tertentu dalam menyiasati hidupnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan temuan peralatan yang berupa alat-alat batu seperti kapak perimbas, kapak genggam, serpih , batu pelandas, batu pukul, serpih dari bahan rijang, lancipan, bor, fragmen gerabah hias , gerabah polos, serta ditemukan sisa-sisa moluska yang dipotong ujungnya serta fr tulang terbakar yang menunjukkan aktivitas pengolahan makanan.

Pemanfatan gua Putri untuk tempat penguburan dapat dijumpai juga di teras gua Putri yang berada dekat pintu masuk wisatawan , Disini kita dapat menemukan juga temuan artefaktual seperti serpih, fragmen gerabah, sisa-sisa moluska dan fragmen tulang-tulang manusia serta fragmen tengkorak yang merupakan bukti bahwa gua ini juga difungsikan sebagai tempat penguburan bagi manusia pendukung gua.

Selain di gua Putri masih terdapat lagi gua Pondok Selabe . Berdasarkan hasil penggalian yang dilakukan di teras gua Pondok Selabe yang merupakan satu kesatuan dengan Gua Putri juga dijumpai jejak-jejak aktivitas manusia yang pernah berlangsung di situs tersebut seperti temuan alat-alat batu, aktivitas perapian, perbengkelan serta penguburan dan juga gerabah hias maupun polos dan menggunakan tehnik pemakaian roda putar dan tatp pelandas. Dari hasil pengamatan gerabah-gerabah tersebut mengunakan tehnikyang hampir sam di situs Gua Putri seperti tehnik cukil, tehnik gores dan penggabungan keduanya. Dekorasi yang di[pahatkan berupa tera jala, tali, ujung kuku, hias kepang, hias titik-titik, hias kerang, garis . ( Bagyo Prasetyo, 2002)

Adapun aktivitas penguburan juga ditemukan di gua Pondok Selabe sebanyak 5 individu dengan kondisi tidak lengkap dan salah satu temuan rangka yang agak utuh ditemukan di luar gua pada kedalaman 90-128 cm. Rangka I ditemukan dengan posisi kepala di bagian selatan miring menghadap ke Timur, kondisi sudah hancur dan mempunyai tinggi 165-170 cm. Temuan Rangka ke II dan III didapatkan secara tidak lengkap hanya bagian tulang panjang dan berdampingan dengan arah bujur menyerong utara Selatan, kepala berada di Selatan. Rangka ke IV kondisi rangka tidak lengkap dan sangant rapuh serta terlihat kaki serta salah satu bagian tulang panjang. Orientasi rangka Timur Barat. Rangka ke V tidak lengkap hanya bagian kedua tulang kaki dan tulang lengan tangan yang tampak. Dan pada penguburan ini salah satunya ada yang memakai bekal kubur berupa buli-buli dan kendi. (Jatmiko dan Hubert Forestier, 2003). Dengan ditemukannya beberapa gua yang menunjukkan sisa-sisa hunian maka dapat diketahui bahwa kegiatan yang berlangsung dalam komunitas tersebut meliputi, kegiatan pengolahan hasil makan, pebengkelan, serta penguburan.

Keterangan Alat alat batu yang ditemukan di beberapa situs wilayah Sumsel:

Kapak penetak ( chopping tool ) merupakan alat batu yang dipangkas pada pinggir permukaan atas dan bawah yang saling berhadapan untuk memperoleh tajamannya sehingga tajaman berbentuk berkelak-kelok
Kapak Genggam, merupakan alat batu yang dipangkas pada kedua permukaan (bifasial), pemangkasan dilakukan tanpa meninggalkan kerak pada permukaan.
Kapak Perimbas (chopper) yang dicirikan oleh pemangkasan pada salah satu sisi permukaan (monofasial) di salah satu mukanya dalam upaya mendapatkan sisi tajaman.tajaman
Batu Pukul (perkutor) merupakan sebungkal batu yang digunakan sebagai alat pemangkas dalam pembuatan alat batu inti dan alat serpih. Ciri-ciri perkutor adalah memiliki luka pukul di bagian tertentu.
Alat Serpih : merupakan alat yang dihasilkan dari serpihan yang sengaja dilepaskan dari batu inti lewat pemangkasan.
Serpih adalah pecahan-pecahan batu yang terlepas secara tidak sengaja di kala pemangkasan. Pinggiran serpih digunakan untuk tajaman, yang berfungsi sebagai pisau, serut, penusuk .
Alat batu inti (core tool) merupakan alat yang dibuat dari bahan baku lewat pengurangan.
Batu Pelandas. Ciri-ciri tehnologis terletak pada pangkasan – pangkasan manusia dan primping sebagai akibat pemakaian.

Selanjutnya setelah Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan terlampui, maka mulai menginjak ke Masa Tinggal Menetap dan Mulai Berladang secara sederhana, dan mengenal domestikasi hewan hal ini dapat ditemukan di beberapa situs wilayah Sumatera Selatan seperti di daerah hulu Musi, dan di lereng pegunungan Bukit Barisan yang biasa dikenal dengan kebudayaan Pasemah. Tinggalan budaya pada masa ini dikenal dengan “budaya megalitik. Perlu diketahui bahwa tinggalan tradisi megalitik di Pasemah tidak hanya berupa bangunan-bangunan megalitik yang monumental tetapi juga menghasilkan berbagai benda kebutuhan yang lain seperti kerajinan menenun, membuat alat-alat kerja yang umumnya diasah atau diupam seperti beliung persegi, dan belincung dan mengenal pembuatan gerabah, gerabah diproduksi karena diperlukan untuk menunjang kebutuhan masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya untuk menyiapkan, menghidangkan dan menyimpan bahan makanan. Benda-benda tersebut selain berfungsi sebagai peralatan sehari-hari wadah gerabah di beberapa situs arkeologi juga digunakan untuk kepentingan keagamaan baik sebagai bekal kubur maupun sebagai wadah kubur. Gerabah yang dipakai sebagi kelengkapan upacara dapat berupa cawan berkaki dan kendi, periuk sebagai bekal kubur dan tempayan biasa digunakan sebagai wadah kubur.

Konsepsi pemujaan nenek – moyang lebih berkembang pada masa itu dan telah melahirkan tata cara untuk menjaga tingkah laku masyarakat di dunia fana supaya sesuai dengan tuntutan hidup di akhirat di samping ituuntuk menjaga kesejahteraan di dunia . Pada masa ini organisasi masyarakat telah teratur, pengetahuan tentang teknologi yang berguna dan nilai-nilai hidup terus berkembang. Seluruh tinggalan budaya dari masa prasejarah tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa pada masa lampau, di daerah hulu sungai Musi sudah terdapat hunian manusia., Kehidupan Neolitik yang mendiami situs-situs terbuka baik di wilayah Lahat , Pagar Alam, mencapai puncaknya hingga masa perundagian
Pada masa Perundagian manusia hidup dengan tatanan yang lebih teratur, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai di tujukan untuk mesejahteraan hidup dan akibat dari surplus bahan makanan maka pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara-upacara yang melambangkan permintaan akan kesuburan tanah dan kesejahteraan hidup. Binatang-binatang seperti babi, kerbau, anjing dan jenis-jenis unggas mulai dipelihara untuk persediaan makanan serta keperluan lain seperti dalam pertanian dan upacara-upacara. Perdagangan dilakukan dengan cara tukar menukar barang yang diperlukan masing-masing pihak. Dengan tampilnya arca-arca megalitik yang dipahatkan bersama dengan nekara perunggu di beberapa situs di wilayah Pasemah menunjukkan bahwa telah adanya perdagangan dengan Asia Tenggara. ( R.P.Soejono,1984 ).

Tersusunnya masyarakat yang teratur dengan terbentuknya golongan - golongan undagi telah mengenalkan kepada kita akan tehnologi tuang logam seperti temuan belati, gelang, mata tombak serta belati. Yang sangat menonjol pada masa ini adalah segi kepercayaan kepada pengaruh arwah nenek moyang yang telah meninggal terhadap perjalanan hidup manusia dan masyarakatnya. Karena itu arwah nenek moyang harus selalu diperhatikan dan diberi penghormatan dan persajian selengkap mungkin. Penguburan terhadap orang yang mati dapat dilaksanakan secara primer atau langsung dan sekunder atau tidak langsung. Hal ini dapat dilihat pada beberapa situs penguburan di wilayah Sumatera Selatan.

Beberapa situs megalitik pernah dilakukan penelitian oleh Balai Arkeologi Palembang serta Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi di Jakarta. antara lain meliputi;

1. Survei situs-situs megalitik di wilayah Lahat meliputi situs-situs megalitik yang tersebar di dataran tinggi Pasemah di antara Bukit Barisan dan di lereng Gunung Dempo, meliputi

Menhir berupa batu tegak yang sudah atau belum dikerjakan dan diletakkan secara tunggal atau berkelompok dan mempyai fungsi profan dan sacral.
Arca megalitik berupa patung orang dibelit Ular; Muara Danau ; arca ibu memegang tangan anak, Tinggi hari, patung Imam, Tanjung Telang orang membopong anak ; Tebing tinggi orang naik kerbau berupa arca - arca megalitik yang berbentuk tokoh manusia dan binatang ditemukan di situs – situs di daerah Lahat, Karangindah, Tinggihari, Tebatsibentur, Tinggihari, Tanjungsirih, Tanjungmenang, Batugajah, Pulaupanggung dsb.
Dolmen, meja batu, susunan batu yang terdiri dari sebuah batu lebar yang ditopang oleh beberapa buah batu lain sehingga menyerupai meja; berfungsi sebagai sebagai tempat untuk mengadakan kegiatan dalam hubungan dengan pemujaan arwah leluhur. Kata ini berasal dari dol”berarti meja, dan men” berari batu. Ditemukan di beberapa situs seperti : situs Tanjung Aro, Gunung Megang, Muara Payang, Muara Betung, dll
Batu Dakon, di situs Tinggi hari, Pematang Panjang dengan lubang sekitar 4-6 buah.
Lumpang Batu ditemukan di Pulau pinang, Sinjar Bulan, serta Gunung Megang,
berfungsi sebagai :
a.Tempat menumbuk biji-biji
b.Untuk umpak rumah
c.Keperluan religius dan upacara-upacara tertentu. seperti upacara musim tanam
d,Upacara pemujaan roh nenek moyang.
Lesung Batu merupakan sebongkah batu yang diberi lubang antara lain ditemukan di situs Bandar Aji. Tanjung Sirih, Tanjung Aro, Gunung Megang, Pajarbulan
Kursi batu : Merupakan sebongkah batu berbentuk menyerupai kursi yang difungsikan untuk tempat duduk ketua suku dalam memimpin upacara.
Kubur batu atau Peti Kubur Batu berupa susunan papan – papan batu yang terdiri dari dua sisi panjang, dua sisi lebar , sebuah lantai dan sebuah penutup peti. Di Sumatera Selatan temuan peti kubur batu terdapat di Tegurwangi, Menurut Van der Hoop yang pernah mengadakan penggalian di sebuah kubur batu ditemukan manik-manik berjumlah 4 buah berwarna kuning keemasan, biru serta fragmen perunggu . ( Van Der Hoop, 1932 ).Selanjutnya De Bie pernah membuka peti kubur batu di Tanjung Aro yang terdiri dari 2 buah ruangan yang dipisahkan oleh dinding yang dilukis dengan warna hitam, kuning, merah yang pada masyarakat megalitik menganggap warna-warna tersebut berkaitan dengan magis religius, putih melambangkan kesucian, merah yang melambangkan keberanian dan kuning berkaitan dengan simbol keagungan dan lukisan pada kubur batu tersebut menggambarkan manusia dan binatang yang distilir, antara lain gambar sebuah tangan dengan 3 jari, kepala kerbau, tanduk kerbau dan mata kerbau. Selain di Tanjung Aro Kubur batu juga ditemukan di situs Kota Raya Lembak yang terdapat lukisan burung hantu, manusia, kepala kerbau, tumbuhan dan ragam hias geometri.
Hiasan Cadas didapatkan antara lain di situs Tegurwangi Lama yaitu di Bukit Selayar yang menggambarkan bentuk , dan di dinding kubur batu seperti di situs megalitik Tanjung Aro, Kota raya Lembak Jarai

Batu Gores ditemukan di Tebat Sibentur, Tinggihari, Gunung Megang. dan di kecamatan Pulau Pinang. Benda -benda yang dijadikan obyek dalam lukisan meliputi manusia, fauna, flora, benda buatan manusia, benda alam.


Ekskavasi kubur tempayan situs Muara Betung, kec.Ulu Musi, kab.Lahat,
Penelitian situs Muara Betung ditemukan 14 buah tempayan sepasang yang terdiri dari bagian wadah dan tutup, serta tempayan tunggal. Yang posisi keletakannya berada didekat dolmen . Berdasarkan pola penguburan dengan tempayan ini terlihat dapat diketahui adanya penguburan primer tanpa menggunakan wadah dan penguburan sekunder dengan menggunakan tempayan. Rangka manusia yang ditemukan dalam penguburan primer berorientasi Tenggara-Barat Laut dengan posisi kepala pada bagian baratdaya. Dalam penguburan primer ini 3 diantaranya dilengkapi dengan bekal kubur berupa pisau dari logam dan manik-manik. Posisi penempatan pisau berada di antara tulang kaki sementara yang lain berada di bawah tengkorak. Adanya perbedaan cara penguburan diduga berkaitan erat dengan stratifikasi sosial.(Retno Purrwanti, 2002)






Penelitian pemukiman megalitik di situs Muara Payang, kab Lahat,
Berdasarkan data arkeologis yang ditemukan di lapangan situs Muara Payang yang terletak di kecamatan Jarai, kabupaten Lahat merupakan salah satu situs arkeologi yang memiliki tinggalan yang cukup variatif dalam seperti : benteng tanah, kompleks situs pemujaan berupa tetralith yaitu menhir yang disusun membentuk denah empat persegi, meja batu ( dolmen), kursi batu, rangka manusia dengan bekal kubur berupa tempayan dan periuk, dan beliung persegi ( gigi petir ) fragmen gerabah maupun keramik. ( Kristantina I, 2003 )



PENUTUP

Kehidupan masa prasejarah di wilayah Sumatera Selatan merupakan perjalanan panjang dalam membentuk Kebudayaan bangsa. Kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang dari masa berburu dan megumpulkan makanan. tingkat sederhana sampai ke masa perundagian telah memberikan gambaran kepada kita tentang corak keh.idupan di Sumatera Selatan pada masa lampau sebelum mereka mengenal peradaban. Perjalanan. sejarah kebudayaan dalam kurun waktu yang cukup panjang dan cukup lama ini dapat kita temuan kembali jejak-jejak budayanya di beberapa situs-situs arkeologi di wilayah Sumatera. Penelitian situs-situs arkeologi yang tersebar di wilayah Sumatera Selatan menunjukkan pemukiman yang ditempati oleh sekelompok komunitas dengan hasil budayanya yang bercorak Paleolitik, Mesolitik, Neolitik sampai Perundagian. Artefak-artefak tersebut selain berkaitan dengan kebutuhan untuk mempertahankan kebutuhan hidup, difungsikan juga untuk kepentingan sosio-teknik maupun ideoteknik seperti pendirian bangunan megalitik dan penguburan dengan bekal kubur berupa tempayan, beliung, belincung dan wadah keperluan sehari-hari merupakan bentuk-bentuk ungkapan rasa terimakasih kepada arwah yang meninggal agar selalu menjaga kehidupan mereka .
Pola persebaran pemukiman masa Prasejarah di beberapa situs-situs arkeologi tersebut telah mencerminkan usaha mereka dalam melangsungkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan makanan yang telah disediakan oleh alam lingkungannya. Dalam rangka usaha mencari makan tersebut manusia dengan kemampuan otaknya mampu menciptakan peralatan pendukungnya. Dalam kehidupannya masyarakat Prasejarah yang mempunyai pola hidup mengelompok disebabkan oleh adanya pola subsistensi mereka sebagai suatu strategi dalam menyiasati kondisi alam yang menjadi sumber – sumber subsistensi mereka.
Jejak-jejak budaya tersebut telah memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kehidupan manusia pada masa lampau sekaligus sebagai kontributor dalam pembentukan budaya inti bangsa yang patut dilestarikan dan digali lebih mendalam lagi sebagai warisan nenek moyang kita sekaligus sebagai sumberdaya wisata alam, wisata budaya dan wisata pendidikan. Dan peran pemerintah daerah, masyarakat dan instansi terkait sangat diperlukan untuk saling menjaga dan memelihara kelestarian situs-situs tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Wiyana, 1996. Survei Situs-situs Megalitik di wilayah Lahat. Laporan Penelitian
Arkeologi. Balai Arkeologi Palembang.

Butzer, Karl. W, 1964, Environment and Archaeology: An Introduction toPlestocene Geography. London Chicago.

Haris Sukendar. 2003. Megalitik Bumi Pasemah. Peranan Serta Fungsinya. Badan
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembangan Budaya Pusat Penelitian Arkeologi. Jakarta.

Hardesty, Donald L.1997.Ecological Anthropology, John Willey 7 SONS, Inc, United
State of America.

Hoop, Van der, ANJ.TH.A.Th 1932, Megalithic Remains in South Sumatera. Translated
by Wiliiam Shirlaw, Netherland: W.I.Thieme & Cie –Zutphen.

Jatmiko, 1995,”Laporan Penelitian Arkeologi di Situs Martapura dan Baturaja,
Kabupaten OKU, Sumatera Selatan’,LPA Bidang Prasejarah, PuslitArkenas, Jakarta.
………,2002b,”Eksploitasi Tentang Kehidupan Prasejarah di Situs Gua Pondok Selabe-1
Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji, kabupaten OKU, Provinsi Sumatera Selatan”, LPA Bidang Prasejarah, Puslit Arkeologi.Jakarta.

Kristantina Indriastuti. 2002. Laporan Penelitian Arkeologi, Survei dan Ekskavasi Situs Gua Putri, kab O.K.U. Balai Arkeologi Palembang. Palembang.

Kristantina Indriastuti, 2003. Karakteristik Budaya Dan PemukimanSitus Muara Payang.
Tinjauan Ekologi dan Keruangan . Berita Penelitian Arkeologi No 8. Balar Palembang

Kristantina Indriastuti, 2004, Pola Subsistensi pendukung Situs Goa Putri, kab, OKU,
Prov. Sum sel, LPA Balai Arkeologi Palembang, Palembang

Retno Purwanti, 2002. Penguburan Masa Prasejarah Situs Muara Betung , Kecamatan Ulu Musi,
Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Berita Penelitian Arkeologi No 7 . Balar Palembang.

R.P. Soejono (ed).1992.”Jaman Prasejarah” Dalam Marwati D.Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid I. Jakarta:PN Balai Pustaka.

Tidak ada komentar: