/ Miftahul Jannah: 01/10/08 - 01/11/08 Sumber: Agar Posting Blog tidak bisa di Copy Paste! | jagoBlog.com

Selasa, 28 Oktober 2008

Belajar dan Faktor Yang Mempengaruhinya

Pada umumnya setiap individu ingin mencari dan menggali pengetahuan sebanyak-banyaknya. Pengetahuan ini didapatkan tidaklah mudah karena untuk mendapatkannya cukup memakan waktu yang lama dan memerlukan daya dan upaya. Seperti yang kita ketahui bahwa belajar merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hayat. Hampir semua kecakapan, ketrampilan, pengetahuan, kebiasaan, kegemaran dan sikap manusia terbentuk, dimodifikasi dan berkembang karena belajar.

Dengan demikian, belajar merupakan proses penting yang terjadi dalam kehidupan setiap orang. Karenanya pemahaman yang benar tentang konsep belajar sangat diperlukan, terutama bagi kalangan pendidik yang terlibat langsung dalam proses pembelajaran.

Dalam kehidupan sehari-hari, istilah belajar digunakan secara luas. Hal ini disebabkan karena aktivitas yang disebut belajar itu muncul dalam berbagai bentuk.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan membahas mengenai : “Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar”.

1. DEFINISI BELAJAR

Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hayat. Hampir semua kecakapan, ketrampilan, pengetahuan, kebiasaan kegemaran dan sikap manusia terbentuk, dimodifikasi dan berkembang karena belajar. Dengan demikian belajar merupakan proses penting yang terjadi dalam kehidupan setiap orang. Dibawah ini akan diuraikan beberapa definisi belajar menurut ahli :

  • learning is shown by a change in behavior as a result of experience (Cronbach, 1954: 47).
  • learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction (Spears, 1955: 94)
  • learning is a change in performance as a result of practice (Skinner, 1958: 109).
  • learning is process by which an activity originates or is change through training procedures (whether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from change by factors not attributable to training (Hilgard, 1948: 4).
  • Learning is the process by which human being acquire a vast variety of competencies, skills, and attitudes (Bell-Gredler; 1986).
  • Lester D. Crow and Alice Crow (1958; 225).
  • Learning is the set of cognitive processes that transforms the stimulation from the environment into the several phases of information processing required for acquiring a new capability (Gagne and Briggs; 1979).
  • Sumardi Suryabrata(2002) belajar adalah suatu proses yg mempunyai 3 ciri: 1. membawa perubahan 2. didapatkanya kecakapan baru 3. perubahan tersebut karena usaha.
  • Learning is a change in a person’s mental structure that provides the capacity to demonstrate change in behavior (Paul Eggen and Don Kauchak; 1997).
  • Learning is view as a self regulatory process of struggling with the conflict between existing personal models of the world and discrepant new insight, constructing new representation and models of reality as a human meaning- making venture with culturally developed tools and symbols, and further negotiating such meaning through cooperative social activity, discourse and debate (Catherine Twomey Fosnot dkk; 1996).

Dari berbagai pengertian belajar yang dikemukakan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa :

· Belajar adalah sebuah proses yang memungkinkan seseorang memperoleh dan membentuk kompetensi, keterampilan dan sikap yang baru.

· Proses belajar melibatkan proses-proses mental internal yg terjadi berdasarkan latihan, pengalaman dan interaksi social.

· Hasil belajar ditunjukkan oleh terjadinya perubahan perilaku(kognitif, afektif, psikomotorik).

· Perubahan yang dihasilkan dari belajar bersifat relatif permanent.


Ciri-Ciri Perubahan Sebagai Hasil Belajar

Dilihat dari definisi belajar di atas, maka tidak semua perubahan perilaku yang terjadi pada individu dapat dikatakan sebagai hasil belajar. Menurut Ahmadi dan Supriyono (dalam Khodijah : 2006), suatu proses perubahan baru dapat dikatakan sebagai hasil belajar jika memiliki ciri-ciri :

  • Terjadi secara sadar
  • Bersifat fungsional
  • Bersifat aktif sementara
  • Bersifat aktif dan positif
  • Bukan bersifat sementara
  • Bertujuan dan terarah
  • Mencakup seluruh aspek tingkah laku.

BENTUK-BENTUK BELAJAR

Menurut Muhibbin Syah (dalam Khodijah : 2006), bentuk-bentuk belajar yang umum dijumpai dalam proses pembelajaran antara lain :

· Belajar Abstrak

Belajar abstrak ialah belajar yang menggunakan cara-cara berfikir abstrak. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang abstrak.

· Belajar Ketrampilan

Belajar ketrampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan.

· Belajar Sosial

Belajar sosial pada dasarnya adalah memahami masalah-masalah sosial dan teknik-teknik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok dan masalah-masalah lain yang bersifat kemasyarakatan.

· Belajar Pemecahan Masalah

Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode ilmiah atau berfikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. Tujuannya adalah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas dan tuntas.

· Belajar Rasional

Belajar rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan berfikir secara logis dan sistematis. Tujuannya adalah untuk memperoleh berbagai kecakapan mengunakan prinsip-prinsip dan konsep-konsep. Belajar ini erat kaitannya dengan belajar pemecahan masalah.

· Belajar Kebiasaan

Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras secara kontekstual, serta selaras dengan norma-norma dan tata nilai moral yang berlaku.

· Belajar Apresiasi

Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah afektif .

· Belajar Pengetahuan

Belajar pengetahuan adalah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya.

(Khodijah : 2006).

Dengan demikian, belajar merupakan sebuah proses yang memungkinkan seseorang memperoleh dan membentuk kompetensi, ketrampilan dan sikapyang baru, dimana proses belajar juga melibatkan proses-proses mental internal yang terjadi berdasarkan latihan, pengalaman dan interaksi sosial.


TAHAPAN-TAHAPAN DALAM BELAJAR

Menurut Albert Bandura (dalam Khodijah : 2006), dalam proses belajar siswa menempuh empat tahapan, yaitu :

· Tahap Perhatian (attentional phse)

Pada tahap perhatian, siswa memusatkan perhatian pada objek materi. Pada umunya siswa lebih memusatkan perhatian pada stimulus yang menonjol atau menarik bagi mereka.

· Tahap Penyimpanan Dalam Ingatan (retention phase)

Pada tahap penyimpanan dalam ingatan, informasi materi yang disajikan ditangkap, diproses, dan kemudian disimpan dalam memori.

· Tahap Reproduksi (reproduction phase)

Pada tahap reproduksi, semua informasi dalam bentuk kode-kode simbolis yang tersimpan dalam memori diproduksi atau dimunculkan kembali.

· Tahap Motivasi (motivation phase)

Pada tahap motivasi, semua informasi yang telah tersimpan dalam memori diberi penguatan (reinforcement).

(Khodijah : 2006).

Berdasarkan pengertian tahapan-tahapan belajar diatas, maka secara tidak langsung terdapat kesinambungan antara proses tahapan-tahapan tersebut, yang akan mempengaruhi pada proses belajar siswa, karena tahapan-tahapan tersebut merupakan bagian dalam sebuah proses belajar.


2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR

Secara garis besar, Suryabrata (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua yaitu : faktor eksternal (faktor dari luar diri siswa) dan faktor internal (faktor dari dalam diri siswa).

Klasifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi belajar :

A. Faktor Eksternal (faktor dari luar diri siswa), yakni kondisi lingkungan disekitar siswa. Faktor eksternal sendiri meliputi 2 aspek :

1. Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non sosial ialah gedung sekolah, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor –faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa (Sumadi ;2002).

Khusus mengenai waktu yang disenangi untuk belajar (study time preference) seperti pagi atau sore hari, seorang ahli bernama J. Biggers (1980), berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih efektif daripada belajar pada waktu-waktu lainnya (Syah : 2004).

Namun menurut penelitian beberapa ahli learning style (gaya belajar), hasil belajar itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu yang cocok dengan kesiapsiagaan siswa Diantara siswa ada yang siap belajar pagi hari, ada pula yang siap pada sore hari, bahkan tengah malam. Perbedaan antara waktu dan kesiapan belajar siswa inilah yang menimbulkan perbedaan study time preference antara seorang siswa dengan siswa lainnya. (Dunn,dkk, dalam Syah : 2004).

Namun demikian, menurut hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading performance) sekelompok mahasiswa di sebuah universitas Amerika Selatan, tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil membaca pada pagi hari dan sore hari. Bahkan mereka yang lebih senang belajar pada pagi hari dan di tes pada sore hari, ternyata hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada pula di antara mereka yang lebih suka belajar pada sore hari dan di tes pada saat yang sama, namun hasilnya tidak memuaskan (Syah : 2004).

Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, tidak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang penting dalam belajar melainkan kesiapan system memori siswa dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa tersebut.

2. Faktor-faktor yang termasuk lingkungan sosial ialah : orang tua, guru, teman-teman, tetangga dan masyarakat (Khodijah : 2006).

Orang tua diakui sangat berperan penting dalam belajar anak. Siswa yang belajar akan menerima pengaruh dari keluarga berupa : cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga. Faktor orang tua sangat menentukan bagi kepribadian anak karena orang tua (kelurga) adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama.

Selanjutnya yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan disekitar lingkungan rumah siswa tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh (slum area) yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur misalnya akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi (Syah :2004).

B. Faktor Internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani siswa. Faktor internal meliputi dua aspek :

1. Faktor Fisiologis

Menurut Khodijah (2006), faktor-faktor fisiologis yang mempengaruhi belajar mencakup dua hal yaitu :

- Keadaan tonus jasmani

Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. Keadaan tonus jasmani ini sangat berkaitan dengan asupan gizi, pola istirahat dan olahraga. Hal ini penting sebab kesalahan pola makan-minum dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental siswa itu sendiri (Khodijah : 2006).

- Keadaan fungsi fisiologi tertentu

Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dalam penglihatan siswa yang rendah, umpamanya akan menyulitkan sensory resister dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan iconic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh sistem memori siswa tersebut (Syah : 2004)

2. Faktor Psikologis

Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi belajar mencakup lima hal yaitu : intelegensi, minat, motivasi, memori dan emosi (Khodijah : 2006).

1. Intelegensi

Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psikofisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Reber dalam Suryabrata, 2002). Menurut Wechler dalam Dimyati dan Mudjiono (2002), intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berfikir secara baik dan bergaul dengan lingkungan secara efisien.

J.P. Chaplin (dalam Khodijah : 2006), mendefinisikan intelegensi sebagai : (a) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif, (b) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif dan (c) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, jadi harus diakui bahwa peranan otak dalam hubungannya dengan intelegensi manusia lebih menonjol daripada peranan organ-organ tubuh lainnya lantaran otak merupakan “menara pengontrol” hampir seluruh aktivitas manusia.

Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses.

2. Minat

Minat merupakan komponen psikis yang berperan mendorong seseorang untuk meraih tujuan yang diinginkan, sehingga ia bersedia melakukan kegiatan berkisar objek yang diminati (Khodijah : 2006).

Secara sederhana minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keingintahuan yang besar terhadap sesuatu. Minat tidak termasuk istilah populer dalam psikolog karena ketergantungannya yang banyak pada faktor-faktr internal lainnya, seperti pemusatan, perhatian, keingintahuan, motivasi dan kebutuhan (Reber dalam Syah, 2004).

Namun terlepas dari masalah populer atau tidak, minat seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaurhi kualitas pencapaian hasil belajar dalam bidang-bidang studi tertentu. Anak yang mempunyai minat terhadap suatu bidang studi memungkinkan anak untuk belajar lebih giat dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.

3. Motivasi

Motivasi sebagai faktor inner (batin), berfugsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga semakin besar motivasinya akan semakin besar kesuksesan belajar yang dicapai seseorang. (Ahmadi dan Supriyono, 2004:83).

Menurut Davis dan Newstrom (dalam Khodijah : 2006), motivasi yang mempengaruhi cara-cara seseorang dalam bertingkah laku, termasuk belajar, terbagi atas empat pola, yaitu : (1) motivasi berprestasi, yaitu dorongan untuk mengatasi tantangan, untuk maju dan berkembang, (2) motivasi berafiliasi, yaitu dorongan untuk berhubungan dengan orang lain secara efektif, (3) motivasi berkompetensi, yaitu dorongan untuk mencapai hasil kerja dengan kualitas tinggi dan (4) motivasi berkuasa, yaitu dorongan untuk mempengaruhi orang lain dan situasi. Keempat pola motivasi tersebut menggerakkan dan mendorong seseorang untuk belajar, baik secara simultan maupun secara terpisah.

Motivasi dibedakan menjadi 2 macam :

1. Motivasi intrinsik

Hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorong melakukan tindakan belajar.

2. Motivasi ekstrinsik

Hal dan keadaan yang berasal dari luar individu siswa, yang juga mendorongnya untuk melakukan tindakan belajar.

Proses motivasi merupakan aktivitas yang sifatnya sangat individual. Seorang siswa mungkin termotivasi pada situasi tertentu dan siswa yang lainnya mungkin tidak termotivasi pada situasi yang sama dan sebaliknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi juga memegang peranan penting dalam keberhasilan belajar siswa. Jika siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi, maka siswa tersebut akan mencapai prestasi yang tinggi.

4. Memori

Menurut Kartono (dalam Khodijah : 2006), memori atau ingatan adalah kemampuan untuk mencamkan, menyimpan dan mereproduksi kembali hal-hal yang pernah diketahui.

Memori adalah kemampuan untuk merekam, menyimpan dan mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajari akan sangat membantu dalam proses belajar dan mencapai hasil belajar yang lebih baik (Khodijah, 2006).

Dengan demikian, memori mempunyai peran penting bagi seorang siswa untuk mencapai prestasi. Kuat atau lemahnya memori seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah kelelahan kondisi fisik, akan mengalami kesulitan untuk mengingat sesuatu. Jadi memori memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam belajar apabila diikuti dengan kondisi fisik yang sehat.

5. Emosi

Definisi emosi dirumuskan secara bervariasi oleh para psikolog, dengan orientasi teoritis yang berbeda-beda. Goleman (dalam Khodijah :2006) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

Bagi manusia emosi tidak hanya berfungsi sebagai survival atau sekedar untuk mempertahankan hidup, seperti pada hewan. Akan tetapi, emosi juga berfungsi sebagai ernegizer atau pembangkit energi yang memberikan kegairahan dalam kehidupan manusia. Selain itu emosi juga merupakan messenger atau pembawa pesan (Martin dalam Khodijah : 2006).

Dengan demikian, emosi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam keberhasil belajar seorang siswa. Jika seorang siswa mengalami emosi positif, maka sel-sel akan mengirim impuls-impuls positif dan proses belajar pun dapat terjadi. Sebaliknya, jika siswa mengalami emosi negatif , maka tertutup kemungkinan untuk timbulnya impuls-impuls yang mendorong siswa untuk belajar.

Apa yang telah dikemukakan diatas hanyalah sekedar penyebutan sejumlah aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi belajar yang tentu saja dapat ditambah lagi, aspek-aspek tersebut tidaklah lepas satu sama lain, melainkan sebagai suatu keseluruhan (suatu kompleks) yang dapat mendorong keinginan anak untuk belajar.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan makalah, maka dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut :

· Belajar adalah sebuah proses yang memungkinkan seseorang memperoleh dan membentuk kompetensi, keterampilan dan sikap yang baru.

· Proses belajar melibatkan proses-proses mental internal yg terjadi berdasarkan latihan, pengalaman dan interaksi sosial.

· Hasil belajar ditunjukkan oleh terjadinya perubahan perilaku(kognitif, afektif, psikomotorik).

· Perubahan yang dihasilkan dari belajar bersifat relatif permanent.

· Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar ada 2 yaitu: faktor eksternal, meliputi : faktor non sosial dan faktor sosial, faktor internal meliputi : faktor fisiologis dan faktor psikologis.


Dimyati dan Mudjiono. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta.

Khodijah, Nyayu. 2006. Psikologi Belajar. Palembang IAIN Raden Fatah Press.

Sunarto dan Hartono, Agung. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta.

Suryabrata, Sumadi. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Senin, 27 Oktober 2008

otonomi sekolah

1. Otonomi Daerah

Dalam UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa wujud otonomi daerah (otoda) dalam pelaksanaannya adalah otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang luas artinya mencakup kewenangan semua bidang kecuali hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, politik luar negeri, dan kewenangan lainnya. Otonomi yang nyata artinya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang nyata ada dan diperlukan serta tumbuh dan berkembang di daerah. Bertanggung jawab artinya pertanggung jawaban daerah sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam sujud tugas dan kewajiban daerah.

Adanya otonomi daerah, menyebabkan terjadi pula otonomi dalam bidang pendidikan. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, berarti kewenangan pengelolaan pendidikan sebagian besar diserahkan ke pemerintah daerah. Pemerintah melaksanakan desentralisasi pendidikan yang bertumpu pada pemberdayaan sekolah disemua jenjang pendidikan. Hal ini berdampak pada terdapatnya sebagian sekolah yang menuntut untuk diberi otonomi untuk mengelola sokolahnya sendiri. Akan tetapi hal tersebut dapat berpengaruh pada mutu sekolah itu sendiri. Juran dalam Husaini Usman (2008:573) berpendapat bahwa mutu,85 % ditentukan oleh manajemennya, sisanya oleh faktor lain. Sallis masih dalam Husaini Usman (2008:572) sependapat, bahwa sebagian besar rendahnya mutu disebabkan oleh buruknya manajemen dan kebijakan pendidikan, sedangkan warga sekolah hanyalah pelaksana yang melaksanakan kebijakan dari atasannya.

Dengan adanya otonomi tersebut, Depdiknas melakukan reorientasi manajemen sekolah dari manajemen pendidikan berbasis pusat menjadi Manajemen Berbasis Sekolah(MBS).


2. Manajemen Pendidikan

Kata manajemen berasal dari Bahasa Latin, yaitu dari asal kata manus yang berarti tangan dan agree yang berarti melakukan. Kata-kata itu digabung menjadi kata managere yang artinya menangani. Managere diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dengan kata benda management, dan manager untuk orang yang melakukan kegiatan manajemen. Dengan demikian, management diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan. Sedangkan manajemen menurut Parker (Stoner&Freman,2000) dalam Husaini Usman (2008:4) adalah seni melaksanakan pekerjaan melalui orang-orang. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Dengan demikian, manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Husaini Usman, 2008:9).

Adanya perubahan dalam penerapan sistem manajemen pendidikan, yang awalnya manajemen pendidikan berbasis pusat menjadi Manajemen Berbasis Sekolah(MBS) hal ini dimuat dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 51 ayat (1) bahwa pengelolaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian, MBS harus diketahui dan diamalkan dalam dunia pendidikan.

Adanya MBS ini memerlukan penyesuaian, baik teknis maupun budaya. Penyesuaian teknis dapat dilaksanakan melalui penataran, workshop, seminar, dan diskusi. Sedangkan penyesuaian budaya dilakukan dengan melalui pemahaman pemikiran, kebiasaan, tindakan sampai terbentuknya karakter MBS pada semua warga sekolah.

Menurut Husaini Usman (2008:574), Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan MBS antara lain:

1. Komitmen, kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk menjalankan mbs.

2. Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental.

3. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.

4. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.

5. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti tentang pendidikan.

6. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum.

7. Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.

8. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders sekolah.

Selain diterapkan manajemen berbasis sekolah, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, harus juga didukung oleh pemerintah yang bersih dan terbuka sehingga dapat tercapai cita-cita dari Undang-Undang Otonomi Daerah. Suatu manajemen yang baik memerlukan pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Oleh sebab itu, demokrasi dalam era reformasi menuntut pemerintah yang bersih dan terbuka.

Sistem pendidikan nasional yang telah mematikan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam manajemen pendidikan berbasis pusat perlu diubah, antara lain dengan melihat kembali lembaga-lembaga pendidikan agar merupakan suatu bagian dari good governance.

8 ciri dari good governance, antara lain:

1. Partisipasi

Ditandai dengan apakah pengambilan keputusan guna merespon masalah public di lakukan secara partisatif,melibatkan stekholders atau secara elitis dan otoritarian.

2. Efisiensi

Ditandai apakah pengelolaan sumber daya public dilakukan secara berdaya dan apakah pemerintah (state) dan pasar bekerja secara efisien. Tidak ada kebocoran dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah.

3. Efektifitas

Ditandai dengan apakah pemerintah melaksanakan kebijkan dan program secara efektif, dalam pengertian terjadi ketepatan waktu, biaya dan alokasi SDM. Apakah tujuan dan sasaran bisa dicapai, bagaimanakah tingkat keberhasilan program atau proyek dan realisasi outputnya.

4. Transparansi

Ditandai oleh apakah kebijakan, regulasi, program, anggaran dan kegiatan pemerintah terbuka pada public, seberapa besar upaya yang dilakukan untuk membuat publik memahami apa yang diputuskan dan dilakukan oleh pemerintah.

5. Responsivitas

Ditandai dengan apakah kebijakan, program dan tindakan pemerintah menjawab kebutuhan dan kepentingan public, seberapa banyak anggaran di alokasikan dan bagaimana keluhan atau kepuasan yang dating dari masyarakat.

6. Akuntabilitas

Ditandai dengan bagaimana tingkat pertanggung jawaban pemerintah dalam menjalankan tugas, apakah ada praktek KKN.

7. Penegakan Hukum

Ditandai oleh jumlah kasus pelanggaran hokum, apakah penyelesaian kasus pelanggaran diselesaikan menurut hukum, dan bagaimana persamaan perlakuan di muka umum.

8. Keadilan

Ditandai dengan ada tidaknya kesamaan antara semua warga Negara, antara penduduk asli dengan pendatang, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas atas-menengah dan bawah untuk mendapatkan hak yang sama sebagai warga.

Hal ini berarti lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, haruslah berada pada suatu organisasi yang transparan, serta mengikut sertakan masyarakat yang memilikinya. Dengan demikian, pendidikan merupakan bagian dari proses demokratisasi di dalam masyarakat Indonesia.

Disamping itu, peran kepemimpinan kepala sekolah juga berhubungan dengan proses kegiatan disekolah. Kepemimpinan yang kuat berarti kemampuan yang mampu menyejahterakan bawahannya, mampu memberdayakan bawahannya, pandai merasakan bawahannya. Kepemimpian yang kuat juga menurut Gutrie& Reed dalam Husaini Usman( 2008 : 576) berarti kepemimpinan yang mempunyai vision (visi) yang jelas. Vision juga merupakan singkatan dari setiap pemimpin harus memiliki Vision (visi), Inspiration (memberi ilham), strategy orientation (orientasi jangka panjang), Integrity (integritas), Organizational sophisticated (memahami dan berorganisasi dengan canggih), dan Nurturing (memelihara keseimbangan, keharmonisan antara tujuan sekolah dengan tujuan individu warga sekolah atau peka terhadap tujuan individu bawahannya).

Di samping komitmen kuat pemerintah, masyarakat pun harus makin kuat memberdayakan diri untuk membangun pendidikan. Asumsinya adalah bahwa pendidikan yang bermutu itu berbasis pada masyarakat, untuk masyarakat, dan keluaran sekolah akan kembali pada masyarakat. Sementara urusan manajemen internal sekolah yang mendukung proses pendidikan dan pembelajaran dikreasi secara relatif otonom oleh komunitas sekolah sendiri. Format kerja manajemen sekolah seperti inilah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).

Organization Chart

Gambar 1.1. Skema berfikir kebijakan MBS di Indonesia.

Berkaitan dengan topik yang tengah kita persoalkan, terdapat dua nama yang popular, yaitu MBS dan MPMBS. Terminologi MBS atau pendidikan berbasis masyarakat (PBM) dimuat dalam undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas. Menurut undang-undang ini, MBS dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Perwujudan school community-based education ini ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota.

Dilingkungan Depdiknas dan Dinas Diknas, terminologi yang popular adalah MPMBS. MPMBS pada intinya adalah otonomi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Titik tekan MPMBS adalah perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan juga menggamit purnalulus. (Danim,2006).

Meski MBS dan MPMBS memiliki kaitan yang sangat erat, namun MBS memiliki cakupan yang lebih luas. Jika MBS benar-benar diterapkan, kewenangan untuk merekrut tenaga guru, merekrut dan mengangkat kepala sekolah, sistem pembayaran gaji, penetapan kalender sekolah, penetapan biaya pendidikan di sekolah, bahkan juga kurikulum, semuanya menjadi kewenangan sekolah.

Dengan demikian, semua ini dapat dilaksanakan melalui apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan pendidikan berbasiskan masyarakat (community based education). Didalam manajemen pendidikan berbasis sekolah, harus mengikutsertakan stakeholders di dalam sekolah tersebut. Dan selanjutnya, di dalam pendidikan berbasis masyarakat harus ikut serta di dalam penyelenggaraan dalam semua aspek manajemennya.

MASYARAKAT SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN

Pendidikan dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi hanya oleh lembaga persekolahan. Untuk melaksanakan program-progamnya, sekolah perlu mengundang berbagai pihak (keluarga, masyarakat, dan dunia usaha/industri) untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai program pendidikan. Partisipasi ini perlu dikelola dan dikoordinasikan dengan baik, agar lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam meningkatkan mutu dan efektifitas pendidikannya. Partisipasi masyarakat tidak seharusnya hanya dalam bentuk dana, melainkan juga sumbangan pemikiran dan tenaga (Rochaety, dkk, 2006).

Pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/sekolah dan Komite Sekolah di tingkat persekolahan merupakan salah satu bentuk bahwa pendidikan berbasis masyarakat menjadi isu sentral kita. Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan pendidikan dasar dan menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/community-based education), dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan (dalam UU ini disebut Dewan sekolah) ditingkat Kabupaten/Kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah (Danim, 2006).

Tujuan berdirinya komite sekolah adalah untuk membantu sekolah dalam memperlancar penyelenggaraan pendidikan. Selain komite sekolah, dewan pendidikan, sekolah, dan Dinas Pendidikan di daerah merupakan mitra kerja yang saling mendukung untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang ideal.

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)

Awalnya MBS telah diterapkan dinegara-negara maju dan berhasil, tetapi untuk penerapan konsep MBS ini masih baru dalam manajemen pendidikan di Indonesia.Oleh karena itu tidak dapat berlangsung dengan cepat untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Sehingga untuk penyempurnaannya, praktisi pendidikan dapat merevisinya sesuai kebutuhan sekolah.

Adanya MBS ini memerlukan penyesuaian, baik teknis maupun budaya. Penyesuaian teknis dapat dilaksanakan melalui penataran, workshop, seminar, dan diskusi. Sedangkan penyesuaian budaya dilakukan dengan melalui pemahaman pemikiran, kebiasaan, tindakan sampai terbentuknya karakter MBS pada semua warga sekolah.

Menurut Husaini Usman (2008:574), Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan MBS antara lain:

  1. Komitmen, kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk menjalankan MBS.
  2. Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental.
  3. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.
  4. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
  5. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti tentang pendidikan.
  6. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum.
  7. Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.
  8. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders sekolah.

Inti kegiatan manajemen pendidikan persekolahan adalah pembuatan keputusan untuk peningkatan mutu kinerja sekolah. Sejalan dengan pemikiran ini, inti manajemen partisipatif yang dituntut dalam MBS adalah pembuatan keputusan secara partisipatif. Keputusan dalam bidang manajemen itu berasal dari manusia secara melembaga dan untuk kepentingan manusia yang melembaga pula atau yang mempunyai kepentingan dengan lembaga tersebut.

Sekolah yang menjalankan MBS berarti harus berbudaya mutu. Budaya mutu dalam Husaini Usman (2008:586) adalah semua pikiran, perasaan, dan tindakan diarahkan untuk meningkatkan mutu.

MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU SEKOLAH

Menurut Sagala dalam Akdon (2006:227) Sekolah dapat dikatakan bermutu apabila prestasi sekolah khususnya prestasi siswa menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam:

  1. Prestasi akademik yaitu nilai raport dan nilai Ebtanas murni yang sesuai dengan standar
  2. Memiliki nilai-nilai kejujuran, ketakwaan, kesopanan, dan mampu mengapresiasi nilai-nilai budaya
  3. Memiliki tanggung jawab yang tinggi dan kemampuan yang mewujudakan dalam bentuk keterampilan sesuai dasar ilmu yang diterima disekolah.

Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, salah satunya adalah perencanaan. Dalam rangka memberikan pendidikan yang berkualitas, perencanaan pendidikan harus dirumuskan secara menyeluruh, mulai dari tingkat nasional (makro), tingkat daerah/departemen (meso), sampai pada tingkat institusi/sekolah (mikro).

Selain dari perencanaan, peningkatan mutu pendidikan sangat mutlak diperlukan pengelolaan pendidikan. Maka dari itu, pemerintah menetapkan kebijakan dalam meningkatkan kualitas pendidikan yaitu diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah yang memberikan peluang bagi pengelola sekolah untuk merancang suatu program dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki. Potensi tersebut dapat berupa manusianya, fasilitas, dan dana. Diharapkan dengan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah tersebut dapat meningkatkan mutu pendidikan.