Dalam UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah disebutkan bahwa wujud otonomi daerah (otoda) dalam pelaksanaannya adalah otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang luas artinya mencakup kewenangan semua bidang kecuali hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, politik luar negeri, dan kewenangan lainnya. Otonomi yang nyata artinya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang nyata ada dan diperlukan serta tumbuh dan berkembang di daerah. Bertanggung jawab artinya pertanggung jawaban daerah sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam sujud tugas dan kewajiban daerah.
Adanya otonomi daerah, menyebabkan terjadi pula otonomi dalam bidang pendidikan. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah, berarti kewenangan pengelolaan pendidikan sebagian besar diserahkan ke pemerintah daerah. Pemerintah melaksanakan desentralisasi pendidikan yang bertumpu pada pemberdayaan sekolah disemua jenjang pendidikan. Hal ini berdampak pada terdapatnya sebagian sekolah yang menuntut untuk diberi otonomi untuk mengelola sokolahnya sendiri. Akan tetapi hal tersebut dapat berpengaruh pada mutu sekolah itu sendiri. Juran dalam Husaini Usman (2008:573) berpendapat bahwa mutu,85 % ditentukan oleh manajemennya, sisanya oleh faktor lain. Sallis masih dalam Husaini Usman (2008:572) sependapat, bahwa sebagian besar rendahnya mutu disebabkan oleh buruknya manajemen dan kebijakan pendidikan, sedangkan warga sekolah hanyalah pelaksana yang melaksanakan kebijakan dari atasannya.
Dengan adanya otonomi tersebut, Depdiknas melakukan reorientasi manajemen sekolah dari manajemen pendidikan berbasis pusat menjadi Manajemen Berbasis Sekolah(MBS).
2. Manajemen Pendidikan
Kata manajemen berasal dari Bahasa Latin, yaitu dari asal kata manus yang berarti tangan dan agree yang berarti melakukan. Kata-kata itu digabung menjadi kata managere yang artinya menangani. Managere diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dengan kata benda management, dan manager untuk orang yang melakukan kegiatan manajemen. Dengan demikian, management diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan. Sedangkan manajemen menurut Parker (Stoner&Freman,2000) dalam Husaini Usman (2008:4) adalah seni melaksanakan pekerjaan melalui orang-orang. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Dengan demikian, manajemen pendidikan adalah seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (Husaini Usman, 2008:9).
Adanya perubahan dalam penerapan sistem manajemen pendidikan, yang awalnya manajemen pendidikan berbasis pusat menjadi Manajemen Berbasis Sekolah(MBS) hal ini dimuat dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 51 ayat (1) bahwa pengelolaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah. Dengan demikian, MBS harus diketahui dan diamalkan dalam dunia pendidikan.
Adanya MBS ini memerlukan penyesuaian, baik teknis maupun budaya. Penyesuaian teknis dapat dilaksanakan melalui penataran, workshop, seminar, dan diskusi. Sedangkan penyesuaian budaya dilakukan dengan melalui pemahaman pemikiran, kebiasaan, tindakan sampai terbentuknya karakter MBS pada semua warga sekolah.
Menurut Husaini Usman (2008:574), Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan MBS antara lain:
1. Komitmen, kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk menjalankan mbs.
2. Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental.
3. Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.
4. Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
5. Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti tentang pendidikan.
6. Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum.
7. Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.
8. Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders sekolah.
Selain diterapkan manajemen berbasis sekolah, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, harus juga didukung oleh pemerintah yang bersih dan terbuka sehingga dapat tercapai cita-cita dari Undang-Undang Otonomi Daerah. Suatu manajemen yang baik memerlukan pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Oleh sebab itu, demokrasi dalam era reformasi menuntut pemerintah yang bersih dan terbuka.
Sistem pendidikan nasional yang telah mematikan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam manajemen pendidikan berbasis pusat perlu diubah, antara lain dengan melihat kembali lembaga-lembaga pendidikan agar merupakan suatu bagian dari good governance.
8 ciri dari good governance, antara lain:
1. Partisipasi
Ditandai dengan apakah pengambilan keputusan guna merespon masalah public di lakukan secara partisatif,melibatkan stekholders atau secara elitis dan otoritarian.
2. Efisiensi
Ditandai apakah pengelolaan sumber daya public dilakukan secara berdaya dan apakah pemerintah (state) dan pasar bekerja secara efisien. Tidak ada kebocoran dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah.
3. Efektifitas
Ditandai dengan apakah pemerintah melaksanakan kebijkan dan program secara efektif, dalam pengertian terjadi ketepatan waktu, biaya dan alokasi SDM. Apakah tujuan dan sasaran bisa dicapai, bagaimanakah tingkat keberhasilan program atau proyek dan realisasi outputnya.
4. Transparansi
Ditandai oleh apakah kebijakan, regulasi, program, anggaran dan kegiatan pemerintah terbuka pada public, seberapa besar upaya yang dilakukan untuk membuat publik memahami apa yang diputuskan dan dilakukan oleh pemerintah.
5. Responsivitas
Ditandai dengan apakah kebijakan, program dan tindakan pemerintah menjawab kebutuhan dan kepentingan public, seberapa banyak anggaran di alokasikan dan bagaimana keluhan atau kepuasan yang dating dari masyarakat.
6. Akuntabilitas
Ditandai dengan bagaimana tingkat pertanggung jawaban pemerintah dalam menjalankan tugas, apakah ada praktek KKN.
7. Penegakan Hukum
Ditandai oleh jumlah kasus pelanggaran hokum, apakah penyelesaian kasus pelanggaran diselesaikan menurut hukum, dan bagaimana persamaan perlakuan di muka umum.
8. Keadilan
Ditandai dengan ada tidaknya kesamaan antara semua warga Negara, antara penduduk asli dengan pendatang, antara laki-laki dan perempuan, antara kelas atas-menengah dan bawah untuk mendapatkan hak yang sama sebagai warga.
Hal ini berarti lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, haruslah berada pada suatu organisasi yang transparan, serta mengikut sertakan masyarakat yang memilikinya. Dengan demikian, pendidikan merupakan bagian dari proses demokratisasi di dalam masyarakat
Disamping itu, peran kepemimpinan kepala sekolah juga berhubungan dengan proses kegiatan disekolah. Kepemimpinan yang kuat berarti kemampuan yang mampu menyejahterakan bawahannya, mampu memberdayakan bawahannya, pandai merasakan bawahannya. Kepemimpian yang kuat juga menurut Gutrie& Reed dalam Husaini Usman( 2008 : 576) berarti kepemimpinan yang mempunyai vision (visi) yang jelas. Vision juga merupakan singkatan dari setiap pemimpin harus memiliki Vision (visi), Inspiration (memberi ilham), strategy orientation (orientasi jangka panjang), Integrity (integritas), Organizational sophisticated (memahami dan berorganisasi dengan canggih), dan Nurturing (memelihara keseimbangan, keharmonisan antara tujuan sekolah dengan tujuan individu warga sekolah atau peka terhadap tujuan individu bawahannya).
Di samping komitmen kuat pemerintah, masyarakat pun harus makin kuat memberdayakan diri untuk membangun pendidikan. Asumsinya adalah bahwa pendidikan yang bermutu itu berbasis pada masyarakat, untuk masyarakat, dan keluaran sekolah akan kembali pada masyarakat. Sementara urusan manajemen internal sekolah yang mendukung proses pendidikan dan pembelajaran dikreasi secara relatif otonom oleh komunitas sekolah sendiri. Format kerja manajemen sekolah seperti inilah yang disebut dengan manajemen berbasis sekolah (MBS).
Gambar 1.1. Skema berfikir kebijakan MBS di Indonesia.
Berkaitan dengan topik yang tengah kita persoalkan, terdapat dua nama yang popular, yaitu MBS dan MPMBS. Terminologi MBS atau pendidikan berbasis masyarakat (PBM) dimuat dalam undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas. Menurut undang-undang ini, MBS dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Perwujudan school community-based education ini ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota.
Dilingkungan Depdiknas dan Dinas Diknas, terminologi yang popular adalah MPMBS. MPMBS pada intinya adalah otonomi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Titik tekan MPMBS adalah perbaikan mutu masukan, proses, keluaran pendidikan, serta sepanjang memungkinkan juga menggamit purnalulus. (Danim,2006).
Meski MBS dan MPMBS memiliki kaitan yang sangat erat, namun MBS memiliki cakupan yang lebih luas. Jika MBS benar-benar diterapkan, kewenangan untuk merekrut tenaga guru, merekrut dan mengangkat kepala sekolah, sistem pembayaran gaji, penetapan kalender sekolah, penetapan biaya pendidikan di sekolah, bahkan juga kurikulum, semuanya menjadi kewenangan sekolah.
Dengan demikian, semua ini dapat dilaksanakan melalui apa yang disebut manajemen pendidikan berbasis sekolah dan pendidikan berbasiskan masyarakat (community based education). Didalam manajemen pendidikan berbasis sekolah, harus mengikutsertakan stakeholders di dalam sekolah tersebut. Dan selanjutnya, di dalam pendidikan berbasis masyarakat harus ikut serta di dalam penyelenggaraan dalam semua aspek manajemennya.
MASYARAKAT SEBAGAI BASIS PENDIDIKAN
Pendidikan dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi hanya oleh lembaga persekolahan. Untuk melaksanakan program-progamnya, sekolah perlu mengundang berbagai pihak (keluarga, masyarakat, dan dunia usaha/industri) untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai program pendidikan. Partisipasi ini perlu dikelola dan dikoordinasikan dengan baik, agar lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam meningkatkan mutu dan efektifitas pendidikannya. Partisipasi masyarakat tidak seharusnya hanya dalam bentuk dana, melainkan juga sumbangan pemikiran dan tenaga (Rochaety, dkk, 2006).
Pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/sekolah dan Komite Sekolah di tingkat persekolahan merupakan salah satu bentuk bahwa pendidikan berbasis masyarakat menjadi isu sentral kita. Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan pendidikan dasar dan menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/community-based education), dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan (dalam UU ini disebut Dewan sekolah) ditingkat Kabupaten/Kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah (Danim, 2006).
Tujuan berdirinya komite sekolah adalah untuk membantu sekolah dalam memperlancar penyelenggaraan pendidikan. Selain komite sekolah, dewan pendidikan, sekolah, dan Dinas Pendidikan di daerah merupakan mitra kerja yang saling mendukung untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang ideal.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Awalnya MBS telah diterapkan dinegara-negara maju dan berhasil, tetapi untuk penerapan konsep MBS ini masih baru dalam manajemen pendidikan di Indonesia.Oleh karena itu tidak dapat berlangsung dengan cepat untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Sehingga untuk penyempurnaannya, praktisi pendidikan dapat merevisinya sesuai kebutuhan sekolah.
Adanya MBS ini memerlukan penyesuaian, baik teknis maupun budaya. Penyesuaian teknis dapat dilaksanakan melalui penataran, workshop, seminar, dan diskusi. Sedangkan penyesuaian budaya dilakukan dengan melalui pemahaman pemikiran, kebiasaan, tindakan sampai terbentuknya karakter MBS pada semua warga sekolah.
Menurut Husaini Usman (2008:574), Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melaksanakan MBS antara lain:
- Komitmen, kepala sekolah dan warga sekolah harus mempunyai komitmen yang kuat dalam upaya menggerakkan semua warga sekolah untuk menjalankan MBS.
- Kesiapan, semua warga sekolah harus siap fisik dan mental.
- Keterlibatan, pendidikan yang efektif melibatkan semua pihak dalam mendidik anak.
- Kelembagaan, sekolah sebagai lembaga adalah unit terpenting bagi pendidikan yang efektif.
- Keputusan, segala keputusan sekolah dibuat oleh pihak yang benar-benar mengerti tentang pendidikan.
- Kesadaran, guru-guru harus memiliki kesadaran untuk membantu dalam pembuatan keputusan program pendidikan dan kurikulum.
- Kemandirian, sekolah harus diberi otonomi sehingga memiliki kemandirian dalam membuat keputusan pengalokasian dana.
- Ketahanan, perubahan akan bertahan lebih lama apabila melibatkan stakeholders sekolah.
Inti kegiatan manajemen pendidikan persekolahan adalah pembuatan keputusan untuk peningkatan mutu kinerja sekolah. Sejalan dengan pemikiran ini, inti manajemen partisipatif yang dituntut dalam MBS adalah pembuatan keputusan secara partisipatif. Keputusan dalam bidang manajemen itu berasal dari manusia secara melembaga dan untuk kepentingan manusia yang melembaga pula atau yang mempunyai kepentingan dengan lembaga tersebut.
Sekolah yang menjalankan MBS berarti harus berbudaya mutu. Budaya mutu dalam Husaini Usman (2008:586) adalah semua pikiran, perasaan, dan tindakan diarahkan untuk meningkatkan mutu.
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU SEKOLAH
Menurut Sagala dalam Akdon (2006:227) Sekolah dapat dikatakan bermutu apabila prestasi sekolah khususnya prestasi siswa menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam:
- Prestasi akademik yaitu nilai raport dan nilai Ebtanas murni yang sesuai dengan standar
- Memiliki nilai-nilai kejujuran, ketakwaan, kesopanan, dan mampu mengapresiasi nilai-nilai budaya
- Memiliki tanggung jawab yang tinggi dan kemampuan yang mewujudakan dalam bentuk keterampilan sesuai dasar ilmu yang diterima disekolah.
Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, salah satunya adalah perencanaan. Dalam rangka memberikan pendidikan yang berkualitas, perencanaan pendidikan harus dirumuskan secara menyeluruh, mulai dari tingkat nasional (makro), tingkat daerah/departemen (meso), sampai pada tingkat institusi/sekolah (mikro).
Selain dari perencanaan, peningkatan mutu pendidikan sangat mutlak diperlukan pengelolaan pendidikan. Maka dari itu, pemerintah menetapkan kebijakan dalam meningkatkan kualitas pendidikan yaitu diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah yang memberikan peluang bagi pengelola sekolah untuk merancang suatu program dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki. Potensi tersebut dapat berupa manusianya, fasilitas, dan dana. Diharapkan dengan diterapkannya Manajemen Berbasis Sekolah tersebut dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar